Politik
Kekerasan Kian Mencemaskan
Fajar
Riza Ul Haq ; Direktur Eksekutif Maarif Institute for
Culture and Humanity
SUMBER
: KOMPAS,
21 Mei 2012
Sejak akhir April hingga pertengahan Mei ini
tindakan intoleran, bahkan kekerasan berlatar agama, secara beruntun mengoyak
jaring pluralisme berbangsa, terutama di Tasikmalaya, Bekasi, Solo, Jakarta,
dan Yogyakarta.
Jika eskalasi kekerasan terus dibiarkan tanpa
penanganan sistemik dan terintegrasi, Indonesia akan berada satu kelas bersama
Nigeria dan Pakistan dalam hal tingkat indeks intoleransi beragama, sebagaimana
analisis seorang peneliti dari Christian Solidarity Worldwide yang berbasis di
London.
Dalam konteks ini, sikap Gubernur Daerah
Istimewa Yogyakarta merespons pembubaran paksa satu diskusi di LKiS patut
diapresiasi. Menurut Sultan HB X, semua elemen masyarakat harus saling
menghargai, terlebih karena kekerasan atas nama agama tidak dikenal dalam
sejarah Yogyakarta.
Sebagai kepala daerah, ia meminta kepolisian
menindak tegas para pelaku kekerasan (Kompas, 12/5). Yang tidak kalah menarik
adalah pernyataan Banser Kota Yogyakarta. Organisasi sayap NU ini berkomitmen
untuk tidak melakukan aksi balasan dan mendesak aparat mengusut pelaku
kekerasan (Kedaulatan Rakyat, 12/5).
Satu minggu sebelumnya bentrokan warga
kampung dengan satu kelompok keagamaan mengguncang Kota Solo. Peristiwa ini
seakan-akan menegaskan bahwa polarisasi serta konflik santri dan abangan di
pusat kebudayaan Jawa itu belum sepenuhnya terdomestifikasi. Beberapa pihak
menengarai, akar persoalannya adalah faktor ekonomi-politik yang berbalut
dendam.
Penulis pernah mengingatkan, grafik kekerasan
komunal dan sektarian akan terus merangkak naik pada tahun ini jika pemerintah
tidak cepat belajar dan tidak memiliki kerangka kerja serta strategi pencegahan
konflik sosial-keagamaan yang terintegrasi dengan pelbagai lembaga terkait
(Kompas, 2/4).
Masih terasa relevan menghubungkan kritik
Lorraine Gesick 20 tahun lalu dengan dinamika politik kebangsaan Indonesia hari
ini. Dalam perspektif Gesick, negara seolah-olah tak diperintah atau sama
sekali tak dijalankan secara sistemik. Rakyat terpaksa bertanya, apa yang
sesungguhnya yang mengikat negara semacam itu menjadi kesatuan. Padahal,
substansi berpolitik adalah mencapai keadilan. Faktanya, nilai luhur politik
yang seharusnya direpresentasikan negara telah dirampas oleh kuasa kekerasan
nirnegara.
Menurut Henk Schulte Nordholt, peningkatan
praktik kekerasan telah mengakibatkan kesulitan untuk membedakan antara negara
dan kejahatan (2002: 21). Gejala ini ditandai oleh kemunculan
organisasi-organisasi milisi yang terlibat, bahkan bertanggung jawab terhadap
praktik kekerasan.
Dalam banyak kasus, mereka menjelma sebagai
prajurit berpakaian sipil atau dalam istilah Buya Syafii, preman berjubah yang
menjadi perantara kekerasan politik. Secara geneologis, kelompok prajurit sipil
sejenis ini merebut monopoli kekerasan dari otoritas negara karena negara gagal
mengendalikan ketidakstabilan politik dan krisis ekonomi. Ini postulat dalam
sejarah geneologi kekerasan di negeri ini.
Dengan pola yang sama, kita sekarang
menyaksikan kebangkitan gerakan-gerakan anti-imigran dan anti-Muslim di Eropa
dan Amerika Utara yang salah satu pemicunya adalah krisis perekonomian.
Namun, yang berlangsung di era kepemimpinan
SBY hari ini —lagi-lagi—adalah sebuah anomali. Mengapa? Karena gelombang pasang
intoleran dan kekerasan politik meluap di ruang publik di saat kondisi
perekonomian dan penegakan hukum kian stabil dan membaik sebagaimana klaim
pemerintah.
Kekerasan politik, seperti dipahami Nordholt,
adalah bentuk penggunaan kekerasan fisik atau pemaksaan yang dilakukan dengan
tujuan merusak pihak lain, termasuk properti, dan berhubungan dengan perjuangan
merebut kekuasaan. Kerangka ini akan membantu kita sedikit memahami mengapa
organisasi tertentu leluasa mengumbar ancaman, bahkan intimidasi di ruang
publik.
Alih-alih memberikan perlindungan, polisi
justru menekan pihak yang diancam ”mengikuti” kehendak organisasi itu. Pun
kebebasan akademik yang seyogianya menjadi jantung pengetahuan harus
dikorbankan atas nama ketertiban.
Bukan Contoh Ideal
Tahun lalu Seth Frantman menuliskan opininya
tentang demokrasi Indonesia di The Jerusalem Post. Bagi kolumnis ini, kehadiran
fanatisme keagamaan yang totaliter tidak mendukung lembaga-lembaga demokrasi
dan inilah yang terabaikan di Indonesia, yang selama ini dianggap sebagai
contoh ideal ke mana seharusnya Timur Tengah mengarah.
Secara tegas ia katakan bahwa Indonesia
bukanlah contoh ideal negara demokrasi. Meskipun penilaian Frantman masih harus
divalidasi lebih jauh, fakta-fakta intoleransi dan kekerasan di paruh pertama
tahun ini memaksa kita mengoreksi praktik demokrasi minus kepastian dan
keadilan hukum ini. Bahkan, PM Inggris David Cameron secara khusus menyebut
persoalan hak-hak minoritas dan ekstremisme sebagai salah satu tantangan serius
Indonesia.
Sebenarnya pemerintah sudah berupaya menjawab
tantangan itu. Salah satunya dengan meluncurkan agenda pendidikan karakter pada
2010. Paling tidak, ada tiga persoalan yang ingin direspons: rendahnya wawasan
kebangsaan, berkembangnya budaya kekerasan, dan meningkatnya radikalisme
keagamaan di lingkungan sekolah. Ini agenda pencegahan yang bersifat jangka
panjang.
Namun, determinasi proses penanaman
nilai-nilai toleransi, anti-kekerasan, serta keterbukaan melalui pendidikan
karakter di sekolah sangat tergantung pada ketersediaan contoh dan perilaku
aktor-aktor nirpendidikan di ruang publik. Bagaimana bisa pendidik mengajarkan
agar para muridnya tak melakukan kekerasan kalau di media-media, mereka menyaksikan
bahasa kekerasan dibiarkan mendominasi praktik demokrasi kita?
Oleh karena itu, perang melawan intoleransi
dan kekerasan harus melibatkan sinergi peran tiga unsur secara integratif: para
korban, institusi negara, dan masyarakat mayoritas yang selama ini menjadi
penonton. Pembiaran negara terhadap praktik-praktik politik kekerasan akan
menggoda publik untuk sampai pada satu simpulan, ada perselingkuhan negara dan
pelaku kejahatan berjubah agama. Aparat negara tak sepatutnya mendasarkan
logika hukumnya pada argumentasi-argumentasi keagamaan tertentu karena itu
bersifat parsial dan nonkonsensual. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar