Kamis, 17 Mei 2012

Perempuan, Birokrasi, dan Psikologi Korupsi


Perempuan, Birokrasi, dan Psikologi Korupsi
Trisno Yulianto ;  PNS di Bapermas Kabupaten Magetan, Jawa Timur
SUMBER :  SINAR HARAPAN, 16 Mei 2012



Angelina Sondakh, mantan artis dan Puteri Indonesia akhirnya dijadikan "pesakitan" oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atas sangkaan berbagai kasus suap dan korupsi anggaran negara. Terungkapnya skandal korupsi wisma atlet berkat pengakuan Muhammad Nazaruddin menjadi bukti peran Angie dalam praktik korupsi kekuasaan.
 
Angie seolah mendapatkan posisi sebagai makelar lalu lintas negosiasi korupsi anggaran. Upaya menjadikan Angie sebagai negosiator atau "makelar" lalu lintas korupsi, seperti kesaksian banyak pihak, menegaskan tentang realitas "Perempuan dijadikan umpan dan dipaksa menjadi aktor korupsi karena identitas seksualnya".

Bukan hanya Angie saja, di lingkungan birokrasi perempuan sering dijadikan aktor korupsi oleh sistem yang menyimpang karena stereotipe gender. Perempuan di dalam birokrasi dipaksa masuk dalam mata rantai korupsi yang mengakar, karena birokrasi di Indonesia sampai kini tepat menjadi mesin kepentingan kekuasaan.

Kultur dan habitus korupsi birokrasi di Indonesia terbukti gagal diatasi dengan proyek reformasi birokrasi. Salah satu elemen reformasi birokrasi, yaitu program remunerasi gaji PNS, tidak menyurutkan perilaku korupsi, justru memperparahnya karena PNS yang bergaji tinggi tingkat korupsinya akan meningkat pesat.
 
Terbiasa dengan gaji tinggi maka standar korupsi, baik dalam bentuk suap, upeti, maupun gratifikasi, juga meningkat. Istilahnya, "gaji tinggi tidak mempan disuap ala kadarnya".

Di dalam sistem birokrasi di Indonesia di berbagai departemen atau unit kerja pelaksana pemerintahan, korupsi berlangsung sistematis dan semakin canggih. Korupsi sudah berlangsung dalam fase perencanaan anggaran kegiatan yang dibuat mark-up dan ketika dalam pelaksanaan dilakukan “efisiensi" (penyunatan) secara besar-besaran.

Tipologi Korupsi

Korupsi di dalam birokrasi memiliki tiga tipologi sejalan dengan teori sosiologi korupsi Syed Husin Alatas. Pertama, korupsi karena keserakahan, korupsi yang disebabkan oleh sifat tamak dan rakus oleh pemegang kekuasaan atas anggaran dan para pelaku yang memiliki kesempatan. Mereka sudah bergaji dan tunjangan besar namun tetap terbiasa korupsi, karena volume pendapatan dari korupsi berlipat-lipat dari gaji tinggi mereka.

Kedua, korupsi karena kebutuhan (corruption by needed), korupsi yang dilakukan pegawai birokrasi karena terdesak kebutuhan yang juga meningkat. Standar gaji pegawai birokrasi yang terbatas tidak mencukupi karena beban kebutuhan hidup menciptakan kebiasaan korupsi.
 
Ketiga, korupsi karena keterpaksaan, korupsi yang dilakukan pegawai birokrasi karena kondisi, posisi, dan status yang dimiliki. Dipaksa oleh sistem yang melanggar konstitusi dan UU untuk memuluskan kepentingan para penguasa anggaran.

Yang menyedihkan, aktor korupsi teknis di dalam lingkungan birokrasi pemerintahan kebanyakan adalah pegawai perempuan. Pegawai perempuan di dalam habitat satuan kerja pemerintahan di tingkat pusat dan daerah umumnya memegang posisi sebagai "bendahara pengeluaran", "kasir", atau juru bayar yang kesehariannya berhubungan dengan pengelolaan administrasi pengelolaan anggaran.

Para perempuan di dalam habitat satuan kerja pemerintahan, baik di tingkat pusat dan daerah yang mengelola administrasi keuangan, dipaksa oleh struktur otoritas (wewenang) dan fungsi yang terkait posisi untuk melakukan berbagai modus operandi korupsi yang diinginkan pemegang kekuasaan atas anggaran.

Mereka dipaksa dan dijadikan “alat" pelaku korupsi yang sistematis dan terus bersiklus di setiap generasi birokrasi.
 
Perempuan birokrasi yang mengelola administrasi anggaran di satuan kerja pemerintahan di tingkat pusat dan daerah dipaksa membuat daftar perencanaan anggaran, rencana kegiatan anggaran yang penuh mark-up, namun ketika waktunya implementasi dipaksa untuk menghemat sebesar-besarnya untuk kepentingan penguasa atas anggaran. Mereka dipaksa membuat pelaporan penggunaan anggaran yang bertentangan dengan nurani dan pesan moral keagamaan.

Banyak narasi dan kisah psikologi korupsi yang dialami perempuan birokrasi. Narasi dan kisah tentang perempuan birokrasi yang akhirnya berurusan dengan hukum karena harus "mengamankan" kepentingan penguasa atas anggaran. Kisah perempuan birokasi yang justru menikmati praktik korupsi anggaran karena menganggap apa yang dilakukan sesuai dengan kaidah instruktif pemimpin padahal dalam perspektif hukum dan aturan merupakan pelanggaran.

Cerita tentang perempuan birokrasi, yang selama bekerja penuh penyesalan atas "dosa sosial" (korupsi) yang dilakukan menjadi "pernak-pernik" relasi korupsi birokrasi dan perempuan.

Antigender

Penempatan perempuan dalam "jabatan" dan fungsi pengelolaan administrasi anggaran negara didasari oleh perspektif antikeadilan gender. Bahwa perempuan tidak boleh bekerja di lapangan dan tugas yang terkait dengan kemasyarakatan namun perempuan dianggap tepat dan pas bekerja di belakang meja.

Perspektif antigender yang dilandasi definisi seksual menjebak perempuan birokrasi menjadi aktor korupsi. Perempuan dipaksa oleh sistem yang menyimpang untuk bekerja dalam status, fungsi, dan posisi yang terkait dengan anggaran, karena struktur dan fungsi birokrasi di republik ini belum juga mencapai kualitas merit system.

Perempuan ketika baru masuk di dalam lingkungan satuan kerja birokrasi pasti—lazim dan umum di mana saja—diberikan tanggung jawab (beban?) menjadi pengelola administrasi anggaran. Mereka mulai menanggalkan idealisme dan suara hati nurani untuk terjebak dalam politik korupsi birokrasi.

Untuk membebaskan perempuan dari beban dan derita psikologi korupsi maka perguliran reformasi harus mengalami fase kemajuan yang progresif. Reformasi birokrasi yang tidak menyentuh akar habitat dan habitus korupsi harus ditinggalkan.
 
Untuk itulah kontrol publik harus diperkuat. Perempuan birokrasi memang tidak berdaya dijebak dalam tugas yang cenderung menyimpang, namun sesungguhnya ketika mereka memiliki keteguhan sikap dan prinsip berhak menolak apa yang dinamakan "skema instruksi korupsi".

Perempuan birokrasi dengan kompetensi non-administrasi harus bisa menunjukkan kompetensi dalam pekerjaan mengabdi pada masyarakat dan memiliki relasi fungsional dengan masyarakat. Perempuan birokrasi bisa berjejaring dengan elemen gerakan antikorupsi untuk memperkuat kapasitas dan keyakinan diri untuk menolak menjadi peranti korupsi birokrasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar