Karena Tuhan di
Garis Finis
Jannus
TH Siahaan ; Peminat
Masalah-Masalah Sosial Keagamaan;
Tinggal di Pinggiran Bogor, Jawa
Barat
SUMBER : SINAR
HARAPAN, 15 Mei 2012
Tulisan yang sama telah dimuat di MEDIA INDONESIA 05 April 2012
:
Setelah
KH Abdurrahman Wahid menjadi presiden, agama yang hak-hak sipil penganutnya
diakui negara, bertambah dengan bergabungnya Konghucu. Ia melengkapi jumlah
agama-agama yang sudah lebih awal diakui seperti Islam, Kristen, Katolik,
Hindu, dan Buddha.
Namun
sebenarnya masih terdapat begitu banyak agama “lokal” yang jumlah penganutnya
berkisar di angka ratusan. Sebut misalnya Tolotang, Kaharingan, Waktu Telu, dan
nama-nama lain yang akan terlalu panjang daftarnya kalau disebutkan di tulisan
pendek ini.
Inilah
jalan-jalan yang jamak ditempuh umat manusia semesta dan Indonesia untuk
mencapai tujuan hidup mereka. Dalam kenyataan, sebagian penempuh pada setiap
jalan agama memiliki pendekatan yang berbeda. Bahkan perbedaan pendekatan itu
terjadi di internal masing-masing agama.
Untuk
memudahkan kategorisasi maka menjadi keniscayaan jika lantas muncul ikhtiar
mendekati agama dengan beragam alternatif seperti pendekatan “in the wall”, “at the wall”, dan “beyond the
wall” dalam pendidikan keagamaan.
Sudah
barang pasti ini hanya masalah metodologi; dan masih banyak lagi beragam
metodologi lain yang tersaji di hadapan kita. Tujuannya nyaris sama: menawarkan
alternatif kepada segenap penempuh dan pemeluk jalan agama mencapai tujuan
akhir. Hanya saja kini muncul pertanyaan mengapa begitu banyak alternatif dari
begitu banyak agama? Sejatinya, munculnya perbedaan pendekatan sangat
memperkaya khazanah kehidupan keberagamaan di negeri ini. Perbedaan menjadi
persoalan karena sering kali berbeda dikategorikan tindakan melanggar dan karena
itu divonis keluar dari konsensus.
Namun
konsensus siapa? Tak ada yang benar-benar dianggap sebagai konsensus bersama
kalau berkait dengan masalah-masalah ”cabang” yang partikular harfiah dan bukan
perkara-perkara ”pokok” yang non-eklektik menyeluruh. Terlebih, perbedaan
pendekatan berakibat pada munculnya perbedaan keyakinan sehingga hal-hal yang
cabang justru menjadi alat perpecahan antarummat beragama dan ironisnya juga di
internal umat dalam satu agama.
Dalam
konteks itulah, nama Tuhan dibawa-bawa sebagai alasan dan setiap komunitas
penempuh jalan agama merasa paling otoritatif mengatasnamakan Tuhan. Ini semua
berawal dari terjadinya perbedaan penafsiran atas teks suatu norma keagamaan.
Tetapi harus jujur diakui, semua terjadi akibat masih begitu banyak di antara
kita yang menempatkan Tuhan di garis finis. Seakan-akan Tuhan tengah berdiri di
seberang sana, lalu semua peserta masing-masing agama berembuk menentukan jalan
paling aman dan paling cepat sampai ke garis finis. Begitulah situasi yang terjadi
di garis start. Padahal perjalanan
masih panjang dan diyakini situasi sepanjang perjalanan menuju Tuhan akan
banyak yang berada di luar prediksi.
Sebanyak
apa? Sebanyak jumlah kepala para pemeluk dan penempuh masing-masing agama.
Persoalan semakin rumit karena dalam situasi semacam itu, masih muncul
keinginan sekelompok orang yang memaksakan penyatuan pandangan, pendapat,
pendekatan, metodologi, dan keyakinan. Kalau semata menegaskan identitas diri,
tentu tidaklah mengapa. Tetapi memaksakan orang lain mengenakan identitas yang
bukan identitas senyatanya dan sejatinya akan menjadi masalah. Sangat boleh
jadi, di tengah perjalanan akan terjadi gesekan. Dalam konteks besar, kerap
jalan agama menjadi altar pembantaian.
Terhadap
siapa? Bukan semata terjadi antara penempuh sebuah jalan agama terhadap yang
agama yang berbeda, tetapi tidak jarang justru terjadi antarpenganut satu
mazhab dengan mahzab lain, antarpemeluk satu sekte dengan anggota sekte
lain dalam sebuah agama.
Situasi
ini sangat mungkin terjadi jika masing-masing penempuh jalan memaksakan
keyakinannya kepada orang lain. Di sinilah bisa kita temukan kelompok yang
eksklusif sehingga memandang agama lain tak lebih hanya buatan manusia. Kitab
sucinya dianggap tidak asli karena mengalami berbagai penyimpangan sehingga
dianggap bukan wahyu Tuhan yang harus diikuti.
Keyakinan eksklusif, sejatinya pernah dialami semua agama tanpa kecuali.
Tetapi,
itu masa lalu dan telah menjadi sejarah perkembangan agama-agama dan para
penganutnya. Itulah saat-saat di mana perjalanan menuju Tuhan dipersepsikan
sebagai sebuah kompetisi besar sehingga pesertanya harus menghalalkan segala
cara untuk mendapatkan ”bonus” dan ”hadiah” begitu tiba paling awal di garis
finis.
Perjalanan
menuju Tuhan tidak mungkin ditempuh dengan mengabaikan fairness dan prinsip
ketulusan. Inilah perjalanan kebajikan menuju sumber segala kebajikan. Tuhan
tidak tengah menunggu siapa yang paling cepat sampai karena Dia akan setia
terus menunggu, hingga mereka yang datang paling akhir sekali pun.
Mengapa?
Karena Tuhan tidak berada di garis finis. Tuhan meliputi kita semua, menyertai
sejak garis start hingga garis finis. Tuhan akan terus memegang tanggung jawab
atas kehidupan saat ini hingga ke kehidupan yang dijanjikan kelak. Keberagamaan
sejati bukanlah berkompetisi untuk hadiah-hadiah, tapi inilah kafilah besar
para pecinta menuju Yang Dicinta; Tuhan Yang Maha Esa dan Maha Pengasih kepada
semua.
Mereka
yang saling mencinta tidak lagi mendasarkan perjalanannya pada motivasi bonus
dan hadiah, tetapi pada terjadinya sebuah pertemuan antara yang mencinta dengan
yang dicinta. Entah dalam jarak dekat atau jauh, entah dalam waktu cepat atau
lambat. Sesama para pecinta boleh saling mendahului tetapi pantang saling
sikut, gemar menjatuhkan, suka menyalahkan apalagi merasa bangga jika bisa
membunuh sesama pecinta. Terlebih masing-masing pencinta memiliki pendekatan
dan rasa perasaan yang berbeda dalam bercinta.
Karena
Tuhan tidak berada di garis finis maka penting bagi kita untuk merenungkan
kembali peta perjalanan keberagamaan kita. Kita harus mengubah sudut pandang
sehingga merasa aman sejak awal mula perjalanan ini kita mulai hingga tiba di
”terminal ketuhanan”. Kalau tidak, apalagi tetap menempatkan Tuhan di garis
finish maka sejak pertama menginjak garis start, kita sudah akan dihantui oleh
beragam syakwasangka karena tak mampu menafsir teks agama yang berkesesuaian
dengan konteks. Atau akibat pembacaan terhadap teks agama yang mereduksi peta
jalan Tuhan.
Karena
jalan ini diyakini sebuah peta maka akan begitu banyak ruas dan jalur jalan
tersedia untuk mengarah ke tujuan. Akan kita temukan beragam teks-teks dan
norma yang menjelaskan tentang banyak hal seperti soal skala jarak, sungai,
gunung, ngarai, dan jurang terjal, lahan pertanian, jalan arteri serta jalan
tol, landasan pesawat, atau kota-kota kecil sebelum kita sampai di Kota Tuhan.
Jadi, kini amat penting diyakini bahwa Tuhan tidak tengah menunggu di kota
tujuan, tetapi keberadaan-Nya menemani perjalanan alam semesta.
Karena yang
kita cinta adalah Tuhan maka sejak pertama hingga akhir kehidupan ini,
perjalanan akan kita penuhi dengan cinta. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar