Senin, 21 Mei 2012

Pemihakan Moral

Pemihakan Moral
M Sobary ;  Esais, Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia
SUMBER :  SINDO, 21 Mei 2012



Kajian sejarah sosial tentang gerakan protes kaum tani ditandai keresahan, gejolak,dan kemarahan yang mencapai klimaks dalam bentuk kekerasan. Bentrok fisik, dengan menggunakan senjata, ilmu silat, dan tenaga dalam, dimantapkan dengan mantra-mantra dan jimat dari kiai terkemuka.

Di pihak lawan, ada bedil,granat,mitraliur dan segenap corak senjata otomatis yang bisa memuntahkan benda-benda modern yang mematikan. Kaum tani di    pedesaan Jawa, sebagaimana dapat ditelusuri melalui karya-karya penting sejarawan Kartono Kartodirdjo, Protest Movements in Rural Java dan Banten Revolt of 1888, di abad ke-19 dan menjelang abad ke-20, hidup dalam keresahan karena tekanan politik dan ekonomi pemerintah kolonial Belanda makin tak tertahankan.

Pemberontakan mereka, sebagai kelanjutan gerakan protes tadi,berlangsung amat singkat, yang ditandai kekalahan mutlak dan jiwa yang terpukul telak, terutama karena kaum tani tersebut kurang mampu berorganisasi dan kurang pengalaman. Dengan begitu, perjuangan untuk mengembalikan kejayaan dan zaman keemasan pada masa lampau, dengan berpegang pada gagasan Ratu Adil, yaitu kerajaan surga yang bakal terwujud di bumi,berakhir porak-poranda.

Mimpi tentang masa lampau yang bakal kembali hanya tinggal— kata Ebiet—mimpi di atas mimpi. Belanda lalu mengontrol kehidupan kaum tani di perdesaan Jawa lebih ketat, lebih kejam, lebih tak berperikemanusiaan. Dan kaum tani, yang terpukul jiwa dan kekuatan barisannya yang kurang well organized mundur tak teratur, bersembunyi dan tak mau bicara apa-apa lagi kecuali kenangan getir, bahwa gagasan mistis tentang Ratu Adil tak bisa diperjuangkan kecuali dengan ilmu, yang tak bisa mereka temukan di dalam kitabkitab yang mereka baca.

Ilmu milik yang berkuasa itu ilmu modern, hasil sebuah “ijtihad” modern, yang tak bisa mereka ikuti. Ini paradoks kebudayaan yang percaya dan menjunjung tinggi ngelmu kadigdayan, kanuragan, serta ilmu batin, tapi tak dirumuskan secara terbuka dalam formula dan dalil-dalil objektif, ilmiah, sebagaimana hukum keilmuan yang dipegang kaum penjajah.

Maka sejarah gerakan protes kaum tani, dilihat dari pihak kaum tadi, mungkin bisa disebut sejarah gerakan orang-orang yang kalah dan tak akan pernah mencapai kemenangan dalam bentuk apa pun hingga sesudah abad-abad lewat, saat kita membaca tragedi gerakan mereka yang membikin kita ikut merasa pilu.

Gerakan Sosial Baru

Gerakan sosial baru, yang muncul menjelang abad ke-21, berutang pada sejarah gerakan protes tersebut, tetapi tak mengambil apa pun sebagai modal gerakan selanjutnya. Gerakan sosial baru berangkat dari luka-luka jiwa maupun kebudayaan karena intervensi berlebihan negara dan pasar— dunia bisnis—ke dalam kehidupan pribadi dan keluarga di dalam civil society kita. Gerakan ini juga membawa rasa kecewa, cemas, takut, dan frustrasi berkepanjangan karena kekejaman negara dan  Civil society tertindas dan tak berdaya, dengan terpaksa menelan tanpa mengunyah doktrin politik dan dunia bisnis yang didukung oleh para ilmuwan sosial konvensional, yang memberi pembenaran teoretis kepada para penguasa dan dunia bisnis yang menangguki untung besar karena dukungan keilmuan tadi. Ilmu yang tidak kritis, tidak manusiawi, membuat pihak lain menderita, tertekan, dan terus berada di lapis terbawah dalam masyarakat hingga ke titik hilangnya kemanusiaan mereka.

Ini dilawan dengan gigih oleh gerakan sosial baru tadi, tapi gerakan mereka tak mengakomodasi gagasan mistis tentang Ratu Adil dan kerajaan surga yang menggiurkan. Mereka pun tak bermimpi kembalinya kejayaan para penguasa lokal abad lampau. Gerakan ini modern, bersifat global, tetapi dengan jeli dan sensitif meng-address isu-isu lokal: gender, human rights, environment, poverty, women trafficking, kebijakan pemerintah yang tak adil, penistaan terhadap minoritas, dan semua jenis tindakan yang secara kebudayaan tidak sensitif, tidak adil, dan tidak akomodatif.

Gerakan ini memandang ke “depan” dengan pijakan kuat pada problem kekinian yang harus dirampungkan secara adil dan manusiawi agar kita bisa melangkah ke depan tanpa dibebani problem-problem lama yang kita anggap sebagai pending matters yang merupakan beban yang seharusnya tak perlu ada. Jika diingat ciri pokok gerakan yang selalu bersifat global tapi tak lupa memfokuskan diri pada isu-isu lokal, seperti disebut di atas, maka apakah idiom yang tepat untuk gerakan itu selain apa yang di masa lampau telah dideklarasikan dengan rasa bangga: think globally, act locally?

Orang bijak berkata, sejarah sering terulang dan kini kita menyaksikan sendiri terulangnya idiom gerakan seperti tadi. Dengan sendirinya tak mengherankan bila para pemikir gerakan sosial baru menolak teori Marx tentang kelas dan perjuangankelas. Bagi Marx, semua gerakan dalam sejarah hingga kini tak bermakna lain kecuali sejarah perjuangan kelas. Orang gerakan sosial baru meyakinkan kita, gerakan sosial baru ini bersifat lintas kelas, lintas etnik, lintas bangsa. Jadi perjuangan kelas macam apa yang muncul di situ.

Dan, sekali lagi, seglobal apa pun ciri orientasi ideologis mereka, fokus gerakannya diletakkan pada isu-isu lokal tadi. Rajendra Singh,mahaguru di bidang pekerjaan sosial,yang merumuskan teori-teori gerakan ini, membuka kesadaran ilmiah kita untuk menyikapi persoalan kekinian dengan gerakan-gerakan nyata, bukan dengan diskusi. Tapi dia melupakan satu hal: zaman ini, apa yang global dan apa yang lokal, bukanlah dua entitas yang secara absolut terpisah.

Pasar dan corak kebijakan negara sudah global sifatnya. Dengan begitu pengaruhnya juga global. Jadi apa yang terjadi di Trenggalek dan Bintuni tak pernah lepas dari konsensus yang dirumuskan PBB di New York maupun kebijakan Amerika Serikat yang global,yang dirumuskan di Gedung Putih.Global dan lokal itu dua hal yang hakikatnya sama karena diakibatkan oleh hal yang sama.Memisahkannya merupakan sikap salah yang berlebihan. Dalam isu global yang meresahkan ini, ada panggilan moral bagi kaum intelektual.

Mereka tak boleh hanya melakukan penelitian secara objektif, imparsial,tidak memihak. Tak memihak itu secara moral salah. Intelektual atau ilmuwan wajib memihak. Ada industri terhimpit kekuatan asing, yang agresif dan gigih melobi pemerintah, kita harus memihak.

Ada petani tembakau tertindas oleh kebijakan, kita harus memihak. Terkutuklah siapa pun orangnya yang tak memihak. Apalagi bila bahkan membantu kekuatan asing.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar