Pendidikan
Karakter Antikorupsi
Siti Muyassarotul Hafidzoh ; Peneliti pada Program Pasca
Sarjana
Universitas Negeri Yogyakarta
Universitas Negeri Yogyakarta
SUMBER : SUARA
KARYA, 15 Mei 2012
Kabar gembira datang bagi insan pendidikan di Indonesia. Ini
terkait dengan pendidikan anti korupsi yang akan mulai diberlakukan pada tahun
ajaran baru 2012/ 2013, Juni mendatang. Pendidikan anti korupsi ini akan
diberlakukan sejak pendidikan dasar sampai perguruan tinggi, tidak hanya bagi
siswa, tetapi juga bagi guru dan kepala sekolah serta diintegrasikan dengan
pendidikan karakter. Inilah yang disepakati Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan (Kemendikbud) dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), 9 Maret
2012 lalu. Mendikbud Muhammad Nuh menjelaskan bahwa kesepakatan ini ingin
menjadikan pendidikan dan kebudayaan sebagai motor pencegahan korupsi melalui
proses pembudayaan.
Kerja sama antara Kemendibud dan KPK yang dirintis sejak 2010 ini
menjadi penanda penting, baik bagi dunia pendidikan dan pemberantasan korupsi
di Indonesia. Selama ini, banyaknya kasus korupsi ternyata dilakukan kaum terdidik
yang tak lain adalah lulusan sekolah, madrasah dan perguruan tinggi di
Indonesia. Para koruptor kehilangan hati nurani, mereka tidak memiliki nilai
integritas yang tinggi.
Perguruan tinggi pun melupakan hal yang mungkin dianggap remeh
namun membahayakan, yaitu pembentukan integritas pada mahasiswanya untuk
menjadi pribadi yang jujur dan anti korupsi. Karena itu, yang terjadi sekarang
ini adalah pribadi yang melupakan hati nurani.
Krisis karakter yang mendera kaum terdidik inilah yang menjadi
perhatian serius dunia pendidikan di Indonesia saat ini, khususnya terkait
integritas kaum terdidik dalam menegakkan keadilan sosial. Kaidah keadilan
sosial yang dijunjung kaum terdidik mesti akan mampu menegakkan masa depan yang
bermartabat dan berkeadaban. Kaum terdidik yang miskin integritas ini telah
menjauh dari tujuan pendidikan, yakni menjadikan peserta didik 'manusia yang
utuh sempurna' atau 'manusia purnawan'. (Driyarkara, 2006: 269)
Tercapainya kesempurnaaan, menurut Imam Al-Ghazali, ditunjukkan
dengan terbentuknya pribadi yang bermoral atau moral characters, sehingga mampu
menjalankan perbuatan yang utama. Pribadi yang bermoral adalah yang memiliki
kemampuan untuk mengelola hidupnya sesuai nilai-nilai luhur kemanusiaan.
Kemampuan seperti itu ada pada hati nurani yang telah mencapai kedewasaan.
Maka, segala usaha yang bertujuan untuk membina hati nurani mesti diarahkan
mempunyai kepekaan dan penghayatan atas nilai-nilai yang luhur.
Sayangnya, nilai-nilai luhur sekarang ini dimuseumkan. Yang hadir
dalam diri kaum rasional modern justru nalar negatif yang menghadirkan berbagai
kejahatan. F Budi Hardiman (2005) melihat nalar negativistic bukan hanya berada
dalam sikap agresif-destruktif, namun mengarah pada sebagai sesuatu yang
melampaui kemungkinan sikap, perilaku, dan pengalaman negatif itu sendiri.
Karena sifatnya "melampaui", negativitas selalu
mendorong gelombang kekejaman yang besar dan menjijikkan, mencabik-cabik
kehidupan sosial dan disintegrasi jiwa individu, serta meniscayakan
korban-korban massal secara bengis, tanpa kompromi sedikit pun. Gelombang
kejahatan yang lahir dari negativitas ini mendorong kekejaman yang massif
sehingga teror yang lahir menimbulkan trauma besar yang tragis dan seolah-olah
menjadi dentuman ancaman besar dalam peradaban manusia di masa depan. Nalar
negatif ini persis hadir dalam diri para koruptor terdidik yang berdasi.
Agar pendidikan karakter mampu mencipta pribadi-pribadi yang
berintegritas dalam pemberantasan korupsi, maka titik masuk ke sana, tak lain
adalah mewujudkan kurikulum yang berkarakter. Kurikulum adalah jantungnya
pendidikan (curriculum is the heart of education). Oleh karena itu, sudah
seharusnya kurikulum memberikan perhatian yang lebih besar terhadap pendidikan
budaya dan karakter bangsa. (Srisumardiningsih dkk, 2010: 1)
Kurikulum sendiri memiliki makna yang sangat luas seperti yang
disampaikan oleh Prof Suharsimi Arikunto dalam bukunya Manajemen Kurikulum
(2009) bahwa kurikulum adalah semua pengalaman yang disediakan oleh lembaga
pendidikan bagi peserta didik. Dari sini sangat jelas bahwa kurikulum bukan
hanya materi yang diajarkan guru/dosen pada siswa/mahasiswa di kelas saja,
namun juga melibatkan semua aspek dalam sekolah/perguruan tinggi, seperti
perilaku, baik perilaku guru/dosen terhadap siswa/mahasiswa, siswa/mahasiswa
terhadap guru/dosen maupun perilaku stakeholders-nya.
Dalam membangun kurikulum yang berkarakter, tidaklah harus berupa
mata kuliah yang independen dan tersendiri. Karena, kurikulum yang berkarakter
sejatinya merupakan good living values yang dapat muncul dalam berbagai mata
kuliah di perguruan tinggi. Contohnya, mata kuliah 'etika politik' bisa
membahas karakter dan integritas seorang politisi untuk jujur dan selalu
berpihak pada kepentingan rakyat.
Dalam mata kuliah Pengantar Manajemen, misalnya, dapat membahas
karakter dan nilai integritas seorang pemimpin dalam mengatur dan mengelola
organisasi. Sebenarnya, begitu banyak nilai integritas yang dapat dimunculkan
dalam berbagai mata kuliah. Hanya saja, sayangnya, masih kurangnya mapping dan
'penegasan terhadap nilai integritas' menjadikan kurang bergaungnya nilai-nilai
integritas tersebut.
Karakter demikian harus ditata dan diteguhkan dalam kurikulum yang
berkarakter baik di sekolah maupun perguruan tinggi. Para pejabat, akademisi
dan publik harus membuka ruang baru dan gagasan revolusioner dalam mencipta
strategi baru ihwal pendidikan karakter dan implementasi pendidikan karakter
dalam lembaga pendidikan di Indonesia untuk menggapai komitmen anti korupsi.
Sosialisasi pendidikan berkarakter anti korupsi benar-benar harus
dilakukan dengan baik, sehingga publik dapat mengakses semua informasi penting
bagi kemajuan pendidikan anti korupsi. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar