Rabu, 16 Mei 2012

Pendidikan Karakter Antikorupsi


Pendidikan Karakter Antikorupsi
Siti Muyassarotul Hafidzoh ;  Peneliti pada Program Pasca Sarjana
Universitas Negeri Yogyakarta
SUMBER :  SUARA KARYA, 15 Mei 2012


Kabar gembira datang bagi insan pendidikan di Indonesia. Ini terkait dengan pendidikan anti korupsi yang akan mulai diberlakukan pada tahun ajaran baru 2012/ 2013, Juni mendatang. Pendidikan anti korupsi ini akan diberlakukan sejak pendidikan dasar sampai perguruan tinggi, tidak hanya bagi siswa, tetapi juga bagi guru dan kepala sekolah serta diintegrasikan dengan pendidikan karakter. Inilah yang disepakati Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), 9 Maret 2012 lalu. Mendikbud Muhammad Nuh menjelaskan bahwa kesepakatan ini ingin menjadikan pendidikan dan kebudayaan sebagai motor pencegahan korupsi melalui proses pembudayaan.

Kerja sama antara Kemendibud dan KPK yang dirintis sejak 2010 ini menjadi penanda penting, baik bagi dunia pendidikan dan pemberantasan korupsi di Indonesia. Selama ini, banyaknya kasus korupsi ternyata dilakukan kaum terdidik yang tak lain adalah lulusan sekolah, madrasah dan perguruan tinggi di Indonesia. Para koruptor kehilangan hati nurani, mereka tidak memiliki nilai integritas yang tinggi.

Perguruan tinggi pun melupakan hal yang mungkin dianggap remeh namun membahayakan, yaitu pembentukan integritas pada mahasiswanya untuk menjadi pribadi yang jujur dan anti korupsi. Karena itu, yang terjadi sekarang ini adalah pribadi yang melupakan hati nurani.

Krisis karakter yang mendera kaum terdidik inilah yang menjadi perhatian serius dunia pendidikan di Indonesia saat ini, khususnya terkait integritas kaum terdidik dalam menegakkan keadilan sosial. Kaidah keadilan sosial yang dijunjung kaum terdidik mesti akan mampu menegakkan masa depan yang bermartabat dan berkeadaban. Kaum terdidik yang miskin integritas ini telah menjauh dari tujuan pendidikan, yakni menjadikan peserta didik 'manusia yang utuh sempurna' atau 'manusia purnawan'. (Driyarkara, 2006: 269)

Tercapainya kesempurnaaan, menurut Imam Al-Ghazali, ditunjukkan dengan terbentuknya pribadi yang bermoral atau moral characters, sehingga mampu menjalankan perbuatan yang utama. Pribadi yang bermoral adalah yang memiliki kemampuan untuk mengelola hidupnya sesuai nilai-nilai luhur kemanusiaan. Kemampuan seperti itu ada pada hati nurani yang telah mencapai kedewasaan. Maka, segala usaha yang bertujuan untuk membina hati nurani mesti diarahkan mempunyai kepekaan dan penghayatan atas nilai-nilai yang luhur.

Sayangnya, nilai-nilai luhur sekarang ini dimuseumkan. Yang hadir dalam diri kaum rasional modern justru nalar negatif yang menghadirkan berbagai kejahatan. F Budi Hardiman (2005) melihat nalar negativistic bukan hanya berada dalam sikap agresif-destruktif, namun mengarah pada sebagai sesuatu yang melampaui kemungkinan sikap, perilaku, dan pengalaman negatif itu sendiri.

Karena sifatnya "melampaui", negativitas selalu mendorong gelombang kekejaman yang besar dan menjijikkan, mencabik-cabik kehidupan sosial dan disintegrasi jiwa individu, serta meniscayakan korban-korban massal secara bengis, tanpa kompromi sedikit pun. Gelombang kejahatan yang lahir dari negativitas ini mendorong kekejaman yang massif sehingga teror yang lahir menimbulkan trauma besar yang tragis dan seolah-olah menjadi dentuman ancaman besar dalam peradaban manusia di masa depan. Nalar negatif ini persis hadir dalam diri para koruptor terdidik yang berdasi.

Agar pendidikan karakter mampu mencipta pribadi-pribadi yang berintegritas dalam pemberantasan korupsi, maka titik masuk ke sana, tak lain adalah mewujudkan kurikulum yang berkarakter. Kurikulum adalah jantungnya pendidikan (curriculum is the heart of education). Oleh karena itu, sudah seharusnya kurikulum memberikan perhatian yang lebih besar terhadap pendidikan budaya dan karakter bangsa. (Srisumardiningsih dkk, 2010: 1)

Kurikulum sendiri memiliki makna yang sangat luas seperti yang disampaikan oleh Prof Suharsimi Arikunto dalam bukunya Manajemen Kurikulum (2009) bahwa kurikulum adalah semua pengalaman yang disediakan oleh lembaga pendidikan bagi peserta didik. Dari sini sangat jelas bahwa kurikulum bukan hanya materi yang diajarkan guru/dosen pada siswa/mahasiswa di kelas saja, namun juga melibatkan semua aspek dalam sekolah/perguruan tinggi, seperti perilaku, baik perilaku guru/dosen terhadap siswa/mahasiswa, siswa/mahasiswa terhadap guru/dosen maupun perilaku stakeholders-nya.

Dalam membangun kurikulum yang berkarakter, tidaklah harus berupa mata kuliah yang independen dan tersendiri. Karena, kurikulum yang berkarakter sejatinya merupakan good living values yang dapat muncul dalam berbagai mata kuliah di perguruan tinggi. Contohnya, mata kuliah 'etika politik' bisa membahas karakter dan integritas seorang politisi untuk jujur dan selalu berpihak pada kepentingan rakyat.

Dalam mata kuliah Pengantar Manajemen, misalnya, dapat membahas karakter dan nilai integritas seorang pemimpin dalam mengatur dan mengelola organisasi. Sebenarnya, begitu banyak nilai integritas yang dapat dimunculkan dalam berbagai mata kuliah. Hanya saja, sayangnya, masih kurangnya mapping dan 'penegasan terhadap nilai integritas' menjadikan kurang bergaungnya nilai-nilai integritas tersebut.

Karakter demikian harus ditata dan diteguhkan dalam kurikulum yang berkarakter baik di sekolah maupun perguruan tinggi. Para pejabat, akademisi dan publik harus membuka ruang baru dan gagasan revolusioner dalam mencipta strategi baru ihwal pendidikan karakter dan implementasi pendidikan karakter dalam lembaga pendidikan di Indonesia untuk menggapai komitmen anti korupsi.

Sosialisasi pendidikan berkarakter anti korupsi benar-benar harus dilakukan dengan baik, sehingga publik dapat mengakses semua informasi penting bagi kemajuan pendidikan anti korupsi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar