Sabtu, 12 Mei 2012

Nasib Bangsa Pemurah


Nasib Bangsa Pemurah
Saratri Wilonoyudho ;  Dosen Universitas Negeri Semarang
SUMBER :  SUARA MERDEKA, 11 Mei 2012


GERAKAN ’’Beli Produk Indonesia’’, sebagaimana ’’Tajuk Rencana’’ harian ini edisi 10 Mei lalu, merupakan titik kulminasi kegemasan atas penguasaan Indonesia oleh kekuatan (kapitalisme) asing. Ada satu parodi mengisahkan Indonesia sebenarnya negara terkaya di dunia. Roda kehidupan dunia akan terganggu bila negara kita kita tidak bermurah hati kepadanya.

Tuhan sepertinya menciptakan Indonesia untuk dunia. Negeri ini ibarat bocoran surga karena hampir separuh kekayaan dunia ada di negara kita. Coba hitung jenis flora dan fauna kita, pasti mengejutkan karena apa saja ada. Kita punya pantai terpanjang di dunia, di dalamnya terhampar kekayaan laut yang luar biasa, sangat lengkap biodiversitasnya.

Di darat, ada puluhan gunung api yang menyuburkan. Cari jenis tambang apa saja ada, seperti minyak, emas, uranium, perak, nikel, batu bara, bauksit dan sebagainya. Hutan kita juga sangat luas dan lengkap, mau cari flora atau fauna untuk tanaman obat, industri, atau kebutuhan perdagangan lain, semua ada.

Kita punya sekitar 17 ribu pulau, bahkan tiga di antaranya terbesar di dunia. Kekayaan sosial budaya kita tidak tertandingi. Hal lain yang memanjakan dunia adalah kemurahan hati masyarakat kita. Mereka tak pernah berpikir soal paten atau hak cipta karena nenek moyang kita mengajarkan semuanya milik Tuhan dan kita harus mendermakannya.

Silakan ’’mencuri’’ batik, tempe, angklung, gamelan, keris, dan sebagainya. Yang ramai berkomentar hanya pakar atau kaum intelektual, sedangkan rakyat pemilik sejati tenang-tenang saja.

Mereka menyilakan multinational corporation (MNC) mengemas tanpa royalti sekoteng, wedang jahe, beras kencur, kunir asem, bajigur, ayam goreng, bumbu masak, dan sebagainya.

Di bidang ekonomi, kita juga bangsa pemurah, bahkan memanjakan multinational corporation bangsa asing. Silakan memperdagangkan dan mendatangkan apa saja ke negeri ini, rakyat kami siap membelinya meski sebenarnya mampu memproduksi. Apa jadinya Jepang jika kita tidak rajin membeli produknya?

Demikian pula pengusaha MNC, kita persilakan mengambil apa saja jenis tambang dan kekayaan alam, rakyat tetap ikhlas karena ini bumi Tuhan. Jangankan minyak, air bersih pun kita persilakan untuk mengambil dan mengemas lalu menjualnya kembali kepada rakyat kita.  Iklim dunia juga bergantung pada Indonesia. Hutan kita merupakan paru-paru dunia, dan dunia bergantung padanya.

Karenanya, sangat jelas bahwa bangsa lain, seperti Jepang, Korea, China, dan negara-negara maju lainnya kita sejahterakan. Kita siap membeli apa saja yang mereka jual. Bahkan bila perlu pejabat atau hartawan kita beramai-ramai ke Singapura, Hong Kong, Paris, New York, London, atau Tokyo, guna membelanjakan uangnya.

Rakyat juga menunjukkan kerelaannya dengan tidak menuntut pemerintah, misalnya membangun angkutan massal andal, atau fasilitas publik yang nyaman dan awet. Silakan tiap hari jalan tetap berlubang dan meminta korban jiwa, rakyat tetap menerima. Silakan korupsi ratusan miliar rupiah, rakyat tetap senyum karena semua itu milik Tuhan.

Lalu lihatlah tayangan ’’Orang Pinggiran’’ atau ’’Jika Aku Menjadi’’ dan sebagainya di stasiun televisi, semuanya menunjukkan kehebatan bangsa kita. Mereka tetap tersenyum meski sehari-hari hanya berpenghasilan Rp 15 ribu-Rp 20 ribu. Mereka rela makan apa saja, meski desa mereka berlimpah-ruah kekayaan alam. Mereka tidak menikmatinya karena menyilakan dinikmati oleh landa ireng alias pejabat kita yang korup, dan landa putih alias multinational corporation.

Ketika pilkada tiba, mereka juga ikhlas mencoblos siapa saja, meski tahu yang mereka pilih adalah orang korup dan akan menyusahkan mereka. Karenanya, dunia pantas berterima kasih kepada rakyat Indonesia yang rela menyumbangkan apa saja demi kesejahteraan warga dunia. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar