Momentum
Penertiban Senjata Api
Herie Purwanto ; Dosen Kriminologi Fakultas Hukum
Universitas
Pekalongan (Unikal)
SUMBER : SUARA
MERDEKA, 11 Mei 2012
KEMEREBAKAN kasus
penyalahgunaan senjata api di masyarakat, berimbas pada perizinan
kepemilikannya. Mabes Polri yang berwenang memberikan izin pun tidak tinggal
diam, segera mengevaluasi secara menyeluruh walaupun sebelumnya pemilik senjata
itu sudah melalui seleksi ketat.
Kapolri Jenderal Pol Timur Pradopo merespons kekhawatiran masyarakat atas banyaknya penyalahgunaan senjata api, termasuk di kalangan pejabat. Sejak 1998 hingga 2005 Polri mengeluarkan 18.030 izin kepemilikan senjata api untuk kalangan sipil. Izin itu untuk 3.060 senjata api berpeluru tajam, 9.800 berpeluru karet, dan 5.170 ‘’berpeluru’’ gas. Izin senjata api berpeluru tajam hanya untuk kaliber 32 dan 22.
Ada 59 kasus yang terkait dengan penyalahgunaan senjata api berizin, 30 kasus terkait dengan overacting pemegangnya, semisal memamerkan sehingga menimbulkan rasa tak nyaman dan meresahkan. Dua belas kasus terkait dengan pengancaman, 7 kasus penganiayaan ringan, 4 penembakan ke udara, 3 narkoba, 2 terkait dengan kelalaian penyimpanan, dan 1 kasus modifikasi. Kapolri memastikan belum ada kejahatan yang menimbulkan korban jiwa yang dilakukan personel yang memiliki senjata api berizin.
Bagaimana soal kekhawatiran sejumlah pihak tentang kemerebakan perampokan menggunakan senjata api? Kabag Penum Mabes Polri Kombes Boy Rafli A berdalih bahwa perampokan, pembunuhan, dan teror, seluruhnya terkait dengan senjata ilegal, baik rakitan maupun yang diperoleh dari pasar gelap. Kebanyakan senjata itu dari daerah konflik atau penyelundupan.
Mendasarkan alasan itu, kini menjadi pekerjaan rumah polisi untuk mengungkap peredaran dan kepemilikan senjata api ilegal. Jangan sampai sebagaimana dikatakan Ketua Setara Institute Hendardi melalui siaran pers (08/05/12), Polri selalu berlindung bahwa peredaran senjata api itu bukan melulu karena izin yang diberikan melainkan juga warisan dari konflik di sejumlah daerah.
Audit Independen
Masih menurut Hendardi, pembiaran oleh Polri terkait kepemilikan senjata api untuk kalangan sipil mengindikasikan dua hal. Pertama; Polri menikmati bisnis perizinannya tapi tak jelas ke mana pemasukan dari biaya izin itu disimpan dan dimanfaatkan.
Berdasarkan Perpu Nomor 20 Tahun 1960 tentang Kewenangan Perizinan yang Diberikan Menurut Perundang-undangan mengenai Senjata Api, seseorang cukup mengeluarkan uang Rp 1 juta lebih untuk izin bisa memiliki senjata. Kedua; pembiaran peredaran senjata api menjadi ruang untuk mengelak dari pertanggungjawaban penggunaan senjata api oleh anggota Polri dan TNI.
Terkait dengan persyaratan kepemilikan senjata api, Polri tidak menyetujui semua pengajuan izin. Pemohon lebih dahulu harus melewati beberapa tahapan tes, misalnya tes psikologi yang mengukur tingkat emosional dan kejiwaan, serta kemampuan teknis tentang senjata api itu.
Satu hal yang juga menjadi pertimbangan adalah fungsi yang terkait dengan senjata api itu bagi pemohon. Apakah memang dia memiliki tingkat kerentanan tinggi terkait jabatan atau kedudukannya atau tidak. Jadi, tidak mengherankan bila banyak anggota DPR, pejabat pusat atau daerah, dan pengusaha mendominasi kepemilikan senjata api. Khusus olahragawan yang tergabung dalam Perbakin, hanya boleh menggunakan senjata api dalam latihan atau pertandingan, tidak bisa membawanya dalam aktivitas sehari-hari.
Mabes Polri menyetorkan biaya administrasi Rp 1 juta itu ke negara sebagai penerimaan negara bukan pajak (PNBP) yang tiap tahun diaudit, baik oleh internal kepolisian maupun BPK. Perlu audit independen yang bisa dipertanggungjawabkan kepada publik terkait dengan anggapan Polri diuntungkan di balik perizinan kepemilikan senjata api, bahkan menjadikannya sebagai bisnis. ●
Kapolri Jenderal Pol Timur Pradopo merespons kekhawatiran masyarakat atas banyaknya penyalahgunaan senjata api, termasuk di kalangan pejabat. Sejak 1998 hingga 2005 Polri mengeluarkan 18.030 izin kepemilikan senjata api untuk kalangan sipil. Izin itu untuk 3.060 senjata api berpeluru tajam, 9.800 berpeluru karet, dan 5.170 ‘’berpeluru’’ gas. Izin senjata api berpeluru tajam hanya untuk kaliber 32 dan 22.
Ada 59 kasus yang terkait dengan penyalahgunaan senjata api berizin, 30 kasus terkait dengan overacting pemegangnya, semisal memamerkan sehingga menimbulkan rasa tak nyaman dan meresahkan. Dua belas kasus terkait dengan pengancaman, 7 kasus penganiayaan ringan, 4 penembakan ke udara, 3 narkoba, 2 terkait dengan kelalaian penyimpanan, dan 1 kasus modifikasi. Kapolri memastikan belum ada kejahatan yang menimbulkan korban jiwa yang dilakukan personel yang memiliki senjata api berizin.
Bagaimana soal kekhawatiran sejumlah pihak tentang kemerebakan perampokan menggunakan senjata api? Kabag Penum Mabes Polri Kombes Boy Rafli A berdalih bahwa perampokan, pembunuhan, dan teror, seluruhnya terkait dengan senjata ilegal, baik rakitan maupun yang diperoleh dari pasar gelap. Kebanyakan senjata itu dari daerah konflik atau penyelundupan.
Mendasarkan alasan itu, kini menjadi pekerjaan rumah polisi untuk mengungkap peredaran dan kepemilikan senjata api ilegal. Jangan sampai sebagaimana dikatakan Ketua Setara Institute Hendardi melalui siaran pers (08/05/12), Polri selalu berlindung bahwa peredaran senjata api itu bukan melulu karena izin yang diberikan melainkan juga warisan dari konflik di sejumlah daerah.
Audit Independen
Masih menurut Hendardi, pembiaran oleh Polri terkait kepemilikan senjata api untuk kalangan sipil mengindikasikan dua hal. Pertama; Polri menikmati bisnis perizinannya tapi tak jelas ke mana pemasukan dari biaya izin itu disimpan dan dimanfaatkan.
Berdasarkan Perpu Nomor 20 Tahun 1960 tentang Kewenangan Perizinan yang Diberikan Menurut Perundang-undangan mengenai Senjata Api, seseorang cukup mengeluarkan uang Rp 1 juta lebih untuk izin bisa memiliki senjata. Kedua; pembiaran peredaran senjata api menjadi ruang untuk mengelak dari pertanggungjawaban penggunaan senjata api oleh anggota Polri dan TNI.
Terkait dengan persyaratan kepemilikan senjata api, Polri tidak menyetujui semua pengajuan izin. Pemohon lebih dahulu harus melewati beberapa tahapan tes, misalnya tes psikologi yang mengukur tingkat emosional dan kejiwaan, serta kemampuan teknis tentang senjata api itu.
Satu hal yang juga menjadi pertimbangan adalah fungsi yang terkait dengan senjata api itu bagi pemohon. Apakah memang dia memiliki tingkat kerentanan tinggi terkait jabatan atau kedudukannya atau tidak. Jadi, tidak mengherankan bila banyak anggota DPR, pejabat pusat atau daerah, dan pengusaha mendominasi kepemilikan senjata api. Khusus olahragawan yang tergabung dalam Perbakin, hanya boleh menggunakan senjata api dalam latihan atau pertandingan, tidak bisa membawanya dalam aktivitas sehari-hari.
Mabes Polri menyetorkan biaya administrasi Rp 1 juta itu ke negara sebagai penerimaan negara bukan pajak (PNBP) yang tiap tahun diaudit, baik oleh internal kepolisian maupun BPK. Perlu audit independen yang bisa dipertanggungjawabkan kepada publik terkait dengan anggapan Polri diuntungkan di balik perizinan kepemilikan senjata api, bahkan menjadikannya sebagai bisnis. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar