Menghukum Putusan Pengadilan
Romli Atmasasmita; Guru
Besar Emeritus Hukum Pidana Internasional
SUMBER
: KOMPAS, 03 Mei 2012
Judul tulisan ini bukan provokatif, melainkan
kenyataan kehendak politik yang hanya ada di Indonesia.
Tulisan Harifin Tumpa (Kompas, 26 April 2012)
menyentak nurani saya selaku guru besar hukum pidana internasional dan
seharusnya juga jadi perhatian serius semua manusia Indonesia. Menghukum
putusan pengadilan (terlepas dari keliru atau tidak) merupakan pelecehan. Bukan
hanya terhadap kedudukan dan martabat hakim, melainkan juga martabat dan
kedudukan pendidikan hukum dan lulusan hukum di Indonesia.
Di sini yang diserang bukan hanya satu-dua
oknum hakim yang keliru, melainkan juga serangan langsung ke jantung pertahanan
hukum, yaitu pendidikan hukum yang antara lain menghasilkan para hakim, bahkan
telah ada yang bergelar doktor. Anehnya, anggota DPR yang juga telah bergelar
magister dan doktor (hukum) ikut-ikutan ”merencanakan
dan mempersiapkan” kehendak politik tersebut. Barangkali mereka tidak sadar
bahwa dirinya sendiri jadi obyek pelecehan yang luar biasa. Suatu pelecehan
yang bahkan cenderung merupakan pelanggaran atas konstitusi, UUD 1945, tentang
kemerdekaan kekuasaan kehakiman.
Hukum Progresif?
Jika komitmen tersebut diteruskan, apa tidak
sebaiknya juga pendidikan hukum di Indonesia ditutup saja dan diganti dengan
pendidikan hakim progresif yang tidak tentu arah tujuannya. Atau malah
berseberangan dengan pelopor aliran hukum progresif (alm) Satjipto Rahardjo
yang hanya menekankan bahwa hukum untuk manusia bukan sebaliknya. Jika ada
konflik antara kepentingan hukum dan manusia, hukumnya-lah yang harus diubah
atau disesuaikan dengan kepentingan (keadilan) manusia.
Tidak ada satu pun kalimat dalam lima buku
(alm) Satjipto Rahardjo untuk membongkar kekuasaan kehakiman yang merdeka
melalui hukum progresif. Jika hukum progresif akan ditafsirkan sekehendak hati,
tidak berbeda dengan paham progresif revolusioner yang berkembang ketika masa
pemerintahan Orde Lama.
Konteks menghakimi kekuasaan kehakiman yang
merdeka tidak ada bedanya dengan paham post-modernisme yang menolak kemapanan
negara dalam mengatur dan melindungi warga negaranya, termasuk kekuasaan
kehakiman yang merdeka. Sebab, paham tersebut berpandangan bahwa produk hukum,
baik melalui undang-undang maupun yurisprudensi, harus apriori dan dipandang
hanya berpihak pada kekuasaan semata-mata.
Jika diterjemahkan pada putusan pengadilan,
putusan pengadilan hanya berpihak pada yang berkuasa, baik dari aspek status
sosial maupun ekonomi para pihak. Hal itu tidak dapat digeneralisasi bahwa
telah terjadi proses pembusukan kekuasaan kehakiman secara merata dari tingkat
pengadilan negeri, pengadilan tinggi, dan Mahkamah Agung.
Begitu juga kehendak menghakimi kekuasaan
kehakiman yang merdeka bukan jalan satu-satunya dalam negara hukum demokratis.
Bahkan, hal itu dapat dipandang hanya cara putus asa menghadapi kasus tertentu,
di mana oknum hakim bermainmain dengan putusannya sehingga tak dapat diharapkan
menjadi tonggak keadilan di negara ini. Upaya banding dan kasasi adalah cara
yang masih dipercaya dan diakui di semua negara beradab untuk memulihkan hak
seseorang atau menemukan kebenaran material dari suatu perkara.
Solusi dari kondisi memburuk kinerja hakim
adalah dilepaskannya campur tangan DPR dalam proses seleksi hakim agung, tetapi
cukup sampai proses seleksi di Komisi Yudisial. Namun, anggota Komisi Yudisial
harus diisi para mantan hakim agung, Kejaksaan Agung, serta mantan advokat yang
memiliki integritas dan tanpa cacat cela, baik dari segi sosial maupun hukum.
Pemilihan anggota komisi ini diperlukan seleksi melalui DPR.
Kehendak komitmen politik untuk ”menghakimi kekuasaan kehakiman yang merdeka”
yang dikhawatirkan Harifin Tumpa dapat dirasakan dan dipahami. Bagaimana
mungkin ”benteng keadilan”
diruntuhkan oleh segelintir orang yang merasa dirugikan oleh segelintir oknum
hakim, tetapi kemudian digeneralisasi sebagai ”dosa kolektif” seluruh hakim di republik ini.
Melanggar UUD 1945
Dari sisi konstitusi, kehendak tersebut—dalam
bentuk UU sekalipun—adalah melanggar UUD 1945. Pemisahan kekuasaan kehakiman
diakui di dalamnya, bahkan ditegaskan dalam Bab IX Pasal 24 Ayat (1).
Solusi lain, saya usulkan dilakukan
penelitian tentang implementasi kekuasaan kehakiman yang merdeka oleh perguruan
tinggi, bekerja sama dengan Mahkamah Agung sehingga diperoleh hasil yang
obyektif dan jernih sesuai kaidah-kaidah ilmu pengetahuan. Ini jauh lebih baik
daripada hanya berwacana dan berhalusinasi tentang kekuasaan kehakiman yang
progresif revolusioner. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar