Kutukan Demokrasi
Max Regus; Alumnus Program Pascasarjana Departemen
Sosiologi, FISIP UI
SUMBER
: MEDIA INDONESIA, 03 Mei 2012
“Demokrasi, yang mengusung nilai-nilai fundamental
untuk kebaikan umum, sedang dicurangi akal bulus sebagian penguasa yang rakus.
Mereka telah menggunakan jalan demokrasi untuk tujuan sempit."
`ANGIE
juga Terlibat Kasus Kemendikbud', demikian Media Indonesia memberi judul pada
laporan utama beberapa hari lalu (26/4). Potret Angie, yang dikenal sebagai
mantan Puteri Indonesia, dengan sebaris kalimat itu, tentu saja bukan bagian
dari iklan politik. Sepintas, kalimat tersebut secara perlahan berpeluang
menumbuhkan keyakinan politik bahwa kecenderungan korupsi berbanding lurus
dengan volume kekuasaan yang dimiliki seorang penguasa.
Personifikasi
Perlu
ditekankan bahwa Angie niscaya dibaca dalam perspektif jaring laba-laba
kejahatan korupsi. Sekurangnya, dia merupakan bagian dari dua institusi politik
raksasa. Pertama, parlemen/DPR RI. Kedua, Partai Demokrat. Keterhubungan kerja
politik kekuasaan membawa implikasi penting dalam usaha membedah persoalan
keterketerlibatan seorang Angie dalam dugaan rentetan kasus korupsi di beberapa
bagian dari medan kekuasaan.
Seorang
Angie, ketika kasus-kasus korupsi ini mencuat ke permukaan, sedang menduduki
sejumlah posisi politik dan peran kekuasaan signifikan. Dia bagian dari Komisi
X DPR RI yang membidangi urusan olahraga. Itu musim ketika Indonesia
mengeluarkan banyak uang untuk membiayai ajang olahraga penting dengan skala
internasional. Dia juga anggota Badan Anggaran DPR RI. Anggaran selalu
berhubungan dengan uang. Mereka mempunyai kuasa mengatur sirkulasi `bensin'
pembangunan.
Partai
Demokrat, sebagai basis politik Angie, merupakan salah satu aspek penjelasan
lain berhubungan dengan dugaan kinerja korupsi yang melibatkan beberapa
politikus Partai Demokrat selama ini. Bukan rahasia lagi, saat dirasa aman-aman
saja, mereka diakui sebagai bagian dari kekuatan politik partai.
Namun ketika dugaan korupsi sedang mengejar, para kader itu dengan mudah
disebut `oknum' partai. Menjelaskan tanggung jawab partai berhubungan dengan
edukasi politik sehingga menghasilkan `oknum-oknum' yang tersandera oleh kasus
korupsi sama sekali tidak sedang menjadi bagian dari porsi perhatian partai
politik. Korupsi merupakan persoalan pribadi!
Ada
dua asumsi yang bisa diletakkan dalam konteks ini. Pertama, ada aktor-aktor
politik (kekuasaan) yang siap dikorbankan (mengorbankan) diri seandainya bau
menyengat korupsi berkoneksi secara langsung dengan sumber-sumber kekuasaan
yang lebih besar. Nazaruddin, Angie, dan Nunun Nurbaeti, adakah mereka sedang
melakonkan peran-peran itu? Atau, mereka sebenarnya tidak pernah sadar
sebelumnya sedang tergiring oleh skenario kejahatan yang pada akhirnya membuat
mereka terdampar dalam kesepian politik yang amat menyakitkan.
Kedua,
personifikasi dugaan korupsi, terutama berhubungan dengan keterlibatan beberapa
Srikandi politik di Indonesia, membawa efek buruk bagi masa depan demo krasi.
Antusiasme publik, yang menikmati partisipasi perempuan, menghadapi sinisme
politik mematikan. Itu jelas tidak menguntungkan untuk prospek peradaban
politik dan demokratisasi di Indonesia.
Pelembagaan
Di
Indonesia, korupsi memiliki mekanisme dan metode yang begitu sukses untuk
membangun hunian yang paling aman. Dengan dukungan aktor-aktor politik yang
memiliki kelemahan sistem imunitas terhadap godaan kekuasaan, korupsi dengan
cepat mendiami hampir keseluruhan bangunan kekuasaan politik di negeri ini.
Kualitas
peradaban akan menghadapi pembusukan mengerikan karena biaya pembangunan sudah
tercerabut dari alasan-alasan paling rasional dan manusiawi, demi memenuhi
keserakahan sebagian penghuni kekuasaan yang tidak pernah puas. Pelembagaan
korupsi di beberapa kementerian dan pemerintah daerah ialah titik tumpu
kesuksesan korupsi dalam menggapai maksud sesat di dalam kesadarannya.
Menyebut
dugaan keterlibatan Kemendikbud sebagai salah satu jaringan korupsi yang
melibatkan Angie serentak mewartakan kinerja buruk rupa lembaga-lembaga negara.
Mereka merupakan ujung tombak pembangunan.
Mereka memiliki semua sumber daya untuk mengetengahkan pilihan-pilihan tindakan politik yang sanggup menyelamatkan bangsa ini. Namun, ekspresi dari praktik politik kekuasaan itu justru telah melewati gerbang kerakusan dan ketamakan para pelaku kekuasaan.
Mereka memiliki semua sumber daya untuk mengetengahkan pilihan-pilihan tindakan politik yang sanggup menyelamatkan bangsa ini. Namun, ekspresi dari praktik politik kekuasaan itu justru telah melewati gerbang kerakusan dan ketamakan para pelaku kekuasaan.
Di
sini menjadi jelas bagaimana keterhubungan kerja dan kejahatan politik
mendapatkan penjelasan yang logis. Dana pembangunan yang berlimpah menyebabkan
para penjahat korupsi tidak segan mencuri hitungan `persentase kecil' dari dana
yang berkisar triliunan rupiah.
Kutukan
Patut
dicatat bahwa demokrasi di Indonesia hingga sejauh ini secara signifi kan
menggelembungkan porsi dan volume kekuasaan pada dua elemen ini. Pertama,
parlemen yang memiliki kekuasaan besar. Dengan bertumpu pada tesis kesejajaran
kekuasaan dan kecenderungan korupsi, argumentasi sulit dibantah. Bandul korupsi
bergerak ke simbol penting demokrasi Indonesia. Representasi demokrasi justru
sedang memainkan peran ganda: memperjuangkan kepentingan umum sembari mengeruk
keuntungan pribadi dan kelompok politik. Angie, Nazaruddin, dan beberapa nama
lain yang sudah mulai disebut ialah cerita tentang hal itu.
Kedua,
otonomi daerah sebagai salah satu turunan logis dari demokratisasi, selama satu
dekade ini, sudah akrab dengan kerja-kerja kotor kekuasaan. Kemendagri pernah
mengutarakan kepala daerah yang terjerat kasus korupsi. Daerah menjadi medan
permainan tangan-tangan keji kekuasaan. Transaksi kepentingan politik anggaran telah
menjerumuskan medanmedan kekuasaan ke dalam kawah kejahatan korupsi tanpa
ujung.
Demokrasi,
yang mengusung nilai-nilai fundamental untuk kebaikan umum, sedang dicurangi
akal bulus sebagian penguasa yang rakus. Mereka telah menggunakan jalan
demokrasi untuk tujuan sempit. Mereka telah menistakan kesucian demokrasi.
Mereka telah memanfaatkan paradoks demokrasi demi menggelembungkan pundi-pundi
kekayaan pribadi, keluarga, dan kelompok politik. Demokrasi mulai membalas
penistaan itu. Kekejian korupsi terbongkar satu demi satu. Demokrasi sedang
mengirim kutukan untuk bangsa ini. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar