Jumat, 04 Mei 2012

Kutukan Demokrasi


Kutukan Demokrasi
Max Regus; Alumnus Program Pascasarjana Departemen Sosiologi, FISIP UI
SUMBER : MEDIA INDONESIA, 03 Mei 2012


Demokrasi, yang mengusung nilai-nilai fundamental untuk kebaikan umum, sedang dicurangi akal bulus sebagian penguasa yang rakus. Mereka telah menggunakan jalan demokrasi untuk tujuan sempit."

`ANGIE juga Terlibat Kasus Kemendikbud', demikian Media Indonesia memberi judul pada laporan utama beberapa hari lalu (26/4). Potret Angie, yang dikenal sebagai mantan Puteri Indonesia, dengan sebaris kalimat itu, tentu saja bukan bagian dari iklan politik. Sepintas, kalimat tersebut secara perlahan berpeluang menumbuhkan keyakinan politik bahwa kecenderungan korupsi berbanding lurus dengan volume kekuasaan yang dimiliki seorang penguasa.

Personifikasi

Perlu ditekankan bahwa Angie niscaya dibaca dalam perspektif jaring laba-laba kejahatan korupsi. Sekurangnya, dia merupakan bagian dari dua institusi politik raksasa. Pertama, parlemen/DPR RI. Kedua, Partai Demokrat. Keterhubungan kerja politik kekuasaan membawa implikasi penting dalam usaha membedah persoalan keterketerlibatan seorang Angie dalam dugaan rentetan kasus korupsi di beberapa bagian dari medan kekuasaan.

Seorang Angie, ketika kasus-kasus korupsi ini mencuat ke permukaan, sedang menduduki sejumlah posisi politik dan peran kekuasaan signifikan. Dia bagian dari Komisi X DPR RI yang membidangi urusan olahraga. Itu musim ketika Indonesia mengeluarkan banyak uang untuk membiayai ajang olahraga penting dengan skala internasional. Dia juga anggota Badan Anggaran DPR RI. Anggaran selalu berhubungan dengan uang. Mereka mempunyai kuasa mengatur sirkulasi `bensin' pembangunan.

Partai Demokrat, sebagai basis politik Angie, merupakan salah satu aspek penjelasan lain berhubungan dengan dugaan kinerja korupsi yang melibatkan beberapa politikus Partai Demokrat selama ini. Bukan rahasia lagi, saat dirasa aman-aman saja, mereka diakui sebagai bagian dari kekuatan politik partai.
 
Namun ketika dugaan korupsi sedang mengejar, para kader itu dengan mudah disebut `oknum' partai. Menjelaskan tanggung jawab partai berhubungan dengan edukasi politik sehingga menghasilkan `oknum-oknum' yang tersandera oleh kasus korupsi sama sekali tidak sedang menjadi bagian dari porsi perhatian partai politik. Korupsi merupakan persoalan pribadi!

Ada dua asumsi yang bisa diletakkan dalam konteks ini. Pertama, ada aktor-aktor politik (kekuasaan) yang siap dikorbankan (mengorbankan) diri seandainya bau menyengat korupsi berkoneksi secara langsung dengan sumber-sumber kekuasaan yang lebih besar. Nazaruddin, Angie, dan Nunun Nurbaeti, adakah mereka sedang melakonkan peran-peran itu? Atau, mereka sebenarnya tidak pernah sadar sebelumnya sedang tergiring oleh skenario kejahatan yang pada akhirnya membuat mereka terdampar dalam kesepian politik yang amat menyakitkan.

Kedua, personifikasi dugaan korupsi, terutama berhubungan dengan keterlibatan beberapa Srikandi politik di Indonesia, membawa efek buruk bagi masa depan demo krasi. Antusiasme publik, yang menikmati partisipasi perempuan, menghadapi sinisme politik mematikan. Itu jelas tidak menguntungkan untuk prospek peradaban politik dan demokratisasi di Indonesia.

Pelembagaan

Di Indonesia, korupsi memiliki mekanisme dan metode yang begitu sukses untuk membangun hunian yang paling aman. Dengan dukungan aktor-aktor politik yang memiliki kelemahan sistem imunitas terhadap godaan kekuasaan, korupsi dengan cepat mendiami hampir keseluruhan bangunan kekuasaan politik di negeri ini.

Kualitas peradaban akan menghadapi pembusukan mengerikan karena biaya pembangunan sudah tercerabut dari alasan-alasan paling rasional dan manusiawi, demi memenuhi keserakahan sebagian penghuni kekuasaan yang tidak pernah puas. Pelembagaan korupsi di beberapa kementerian dan pemerintah daerah ialah titik tumpu kesuksesan korupsi dalam menggapai maksud sesat di dalam kesadarannya.

Menyebut dugaan keterlibatan Kemendikbud sebagai salah satu jaringan korupsi yang melibatkan Angie serentak mewartakan kinerja buruk rupa lembaga-lembaga negara. Mereka merupakan ujung tombak pembangunan.
Mereka memiliki semua sumber daya untuk mengetengahkan pilihan-pilihan tindakan politik yang sanggup menyelamatkan bangsa ini. Namun, ekspresi dari praktik politik kekuasaan itu justru telah melewati gerbang kerakusan dan ketamakan para pelaku kekuasaan.

Di sini menjadi jelas bagaimana keterhubungan kerja dan kejahatan politik mendapatkan penjelasan yang logis. Dana pembangunan yang berlimpah menyebabkan para penjahat korupsi tidak segan mencuri hitungan `persentase kecil' dari dana yang berkisar triliunan rupiah.

Kutukan

Patut dicatat bahwa demokrasi di Indonesia hingga sejauh ini secara signifi kan menggelembungkan porsi dan volume kekuasaan pada dua elemen ini. Pertama, parlemen yang memiliki kekuasaan besar. Dengan bertumpu pada tesis kesejajaran kekuasaan dan kecenderungan korupsi, argumentasi sulit dibantah. Bandul korupsi bergerak ke simbol penting demokrasi Indonesia. Representasi demokrasi justru sedang memainkan peran ganda: memperjuangkan kepentingan umum sembari mengeruk keuntungan pribadi dan kelompok politik. Angie, Nazaruddin, dan beberapa nama lain yang sudah mulai disebut ialah cerita tentang hal itu.

Kedua, otonomi daerah sebagai salah satu turunan logis dari demokratisasi, selama satu dekade ini, sudah akrab dengan kerja-kerja kotor kekuasaan. Kemendagri pernah mengutarakan kepala daerah yang terjerat kasus korupsi. Daerah menjadi medan permainan tangan-tangan keji kekuasaan. Transaksi kepentingan politik anggaran telah menjerumuskan medanmedan kekuasaan ke dalam kawah kejahatan korupsi tanpa ujung.

Demokrasi, yang mengusung nilai-nilai fundamental untuk kebaikan umum, sedang dicurangi akal bulus sebagian penguasa yang rakus. Mereka telah menggunakan jalan demokrasi untuk tujuan sempit. Mereka telah menistakan kesucian demokrasi. Mereka telah memanfaatkan paradoks demokrasi demi menggelembungkan pundi-pundi kekayaan pribadi, keluarga, dan kelompok politik. Demokrasi mulai membalas penistaan itu. Kekejian korupsi terbongkar satu demi satu. Demokrasi sedang mengirim kutukan untuk bangsa ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar