Jumat, 04 Mei 2012

Manuver Elang dan Naga


Manuver Elang dan Naga
Fahmi Alfansip Pane; Tenaga Ahli FPPP DPR RI
SUMBER : REPUBLIKA, 03 Mei 2012


Manuver elang (julukan Amerika Serikat) dan naga (sebutan Republik Rakyat Cina) di kawasan Asia Pasifik semakin berkembang ke arah persiapan penggunaan hardpower (kekuatan fisik) ketimbang semata-mata mengandalkan diplomasi dan softpower (kekuatan persuasi). Dinamika ini menunjukkan makin tinggi nya kebutuhan penataan kembali TNI, Polri, dan para penyelenggara intelijen negara sesuai tugas pokok dan fungsinya.

Perkembangan mutakhir adalah latihan perang Cina bersama Rusia di Laut Kuning pada 22-27 April yang menurut Jubir Kemenhan Rusia, dikutip kantor berita RIA Novosti pada 21 April, latihan akan termasuk simulasi penyelamatan kapal yang dibajak, pengawalan kapal niaga, dan pertahanan armada terhadap serangan udara dan laut. Sulit dibantah latihan ini bukan untuk meng antisipasi latihan gabungan AS, Filipina, dan beberapa negara sekutu lain berkode Balikatan tanggal 16-27 April.

Dinamika lain adalah awal April se bagai tahap pertama AS menempatkan 200 prajurit korps marinir dari rencana 2.500 orang di Darwin, Australia. Media Amerika dan Australia juga mewartakan rencana AS membangun Kepulauan Cocos, Australia, sebagai basis pesawat mata-mata. Hal ini tidak mengherankan karena sejak 1970 AS sudah menggunakan daratan Australia, yakni kawasan Alice Springs, sebagai stasiun satelit mata-mata.

AS pun memiliki pangkalan militer di Diego Garcia, kawasan Samudra Hindia, dan stasiun kapal perang pesisir (littoral combat ships) di Singapura, seperti juga disebut dokumen Defense Budget Priorities and Choices halaman 5 yang diterbitkan Dephan AS Januari 2012. Persaingan AS dan Cina merambah hampir ke segala aspek kehidupan.

Cina sudah mematahkan Doktrin Monroe bahwa ‘America for the Americans’, yang terlihat dari kegagalan Presiden Obama mengarahkan para pemimpin anggota negara-negara Benua Amerika (OAS) dalam KTT di Kolombia. Bahkan, Cina dan Rusia memveto resolusi Dewan Keamanan PBB yang dirancang AS untuk menindak rezim Bashar Assad. Sebaliknya, Cina kian suntuk akan manuver Amerika di kawasan Asia Tengah, Benua Kuning, dan Asia Pasifik.

‘Perang’ Ekonomi

Persaingan itu makin terbuka ketika perekonomian AS menurun, sedangkan kapitalisme Cina yang dioperasikan oleh BUMN mantap bertahan. Dulu AS yang mendorong Cina membuka pasarnya dan menjadi anggota WTO. Kini, pasar AS dibanjiri produk impor Cina.

Perselisihan AS dan Cina kian tajam ketika negara Tirai Bambu membatasi ekspor logam tanah langka (unsur lantanida). Bulan Maret Presiden Obama bersama Jepang dan Uni Eropa resmi menyampaikan keberatan kepada WTO atas kebijakan Beijing yang mengklaim keputusannya didasari kebutuhan industri domestik dan agenda lingkungan hidup.

Masalahnya, 97 persen mineral tanah langka dihasilkan Cina. Padahal, logamlogam tersebut adalah faktor terpenting industri peralatan militer dan sistem persenjataan canggih. Seperti, lanthanum untuk alat penglihatan malam bagi tank, samarium sebagai magnet permanen untuk alutsista, sistem radar, dan untuk penyamaran bunyi baling-baling helikopter (Hurst, 2010 dalam Joint Force Quarterly edisi 59 National Defense University).

Namun, benarkah relasi elang dan naga hanyalah persaingan dan konflik?
Pada 2005 Chevron bersaing dengan BUMN Cina, CNOOC, untuk memperebutkan Unocal, yang dimenangkan Chevron meski tawarannya lebih rendah karena dibantu Kongres AS. Namun, pada 2010 Chevron meneken kontrak penjualan 18 persen produksi tambang gas laut dalam Gendalo Gehem di lepas pantas Selat Makassar kepada BUMN Cina, Sinopec.

Kasus penjualan aset strategis bangsa Indonesia ini perlu menjadi pertimbangan dalam menyusun strategi politik dan pertahanan Indonesia dalam mengantisipasi pergeseran keseimbangan di kawasan Asia Pasifik. Salah satu prinsipnya, jika politik itu merupakan perebutan sumber daya--apakah bidang politik atau ekonomi—sumber daya itu pula bisa menjadi media negosiasi, akomodasi, atau resolusi konflik. Sekiranya, perdamaian abadi itu hanya ada di atas kertas.

Bila Jenderal Carlvon Clausewitz dalam bukunya, On War, menyatakan “perang itu tak lebih dari kelanjutan politik/kebijakan dengan cara lain”, kita pun dapat memodifikasinya menjadi “politik/diplomasi itu adalah perang dengan cara lain”. Ini berarti, strategi dan taktik politik dapat mencegah “elang menyambar dan naga menyembur” yang bisa merugikan pihak-pihak lain yang lebih lemah.

Ambil Pelajaran

Dari kasus proyek Gendalo Gehem, terbukti kita tidak perlu mengikuti seluruh agenda AS atau Cina. Keduanya dapat melakukan resolusi konflik dengan memanfaatkan hak milik kita. Kita cukup menjalin hubungan dengan AS dan Cina dengan berbasis pada kepentingan terbaik bangsa ini, dan sejujurnya itu tidak merugikan AS atau Cina.

Dalam latihan militer, misalnya, sebagai negara yang lebih lemah kita perlu menyerap ilmu dan teknologi dari AS, seperti tentang teknologi persenjataan, manajemen keamanan maritim, ketahanan sibernetika, ketahanan energi dan energi untuk pertahanan, manajemen logistik (terutama karena negara kepulauan), peperangan udara, serta gelar operasi khusus dan intelijen berbasis peralatan militer terbaru. Indonesia agaknya tidak terlalu butuh pelatihan antiterorisme karena dianggap sudah berhasil.

Sementara dari Cina, kita dapat belajar, antara lain, optimalisasi BUMN dan penyerapan teknologi dalam industri strategis dan pertahanan. Kerja sama serupa juga dapat dilakukan dengan negara-negara lain, seperti Inggris, Korea, Jerman, Australia, Jepang, Pakistan, dan India.

Kemitraan dengan banyak teman dapat menjauhkan kondisi seperti Papua Nugini. Pemerintah PNG berganti antara kubu Michael Somare yang didukung Cina dan pihak Peter O'Neill yang disokong AS-Australia. Karenanya, kita harus mencegah Pemilu 2014 menjadi `medan perang' elang dan naga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar