Jumat, 04 Mei 2012

Pemilu Kada dan Hantu Politik Uang


Pemilu Kada dan Hantu Politik Uang
Umar Syadat Hasibuan; Dosen IPDN, Jakarta
SUMBER : MEDIA INDONESIA, 03 Mei 2012


JAMES Kerr Pollock pada 1932 menyatakan bahwa relasi antara uang dan po litik akan terus menjadi persoalan besar dalam demokrasi dan pemerintahan. Menurutnya, kehidupan politik yang sehat mustahil diwujudkan, selagi uang secara tanpa batas terus berbicara dalam kehidupan politik (Marcin Walecki, IFES, 2007:75).

Harus diakui, peran uang memang kian vital dalam demokrasi modern, antara lain digunakan dalam pembiayaan iklan, proses seleksi kandidat, penyelenggaraan survei, dan juga mobilisasi pemilih selama kampanye. Namun, peran uang juga dianggap kian membahayakan proses demokrasi ketika setiap parpol dan kandidat terus berlomba-lomba menumpuk uang dengan berbagai cara untuk membiayai proses pemenangannya. Beragam sumber uang haram, praktik pencucian uang, dan politik uang terus dijalankan oleh parpol dan kandidat dalam memenangi pemilu. Karena itulah reformasi pengaturan atas peran uang atau donasi politik menjadi agenda yang paling krusial dalam menyehatkan sistem demokrasi.

Cermin Buruk

Sinyalemen yang disampai kan James Kerr Pollock (1932) tampaknya benar dalam arena politik lokal di Indonesia. Pertama, pemerintahan daerah yang menganut UU No 32/2004 tampak menunjukkan sejumlah kegagalan. Beberapa di antaranya, misalnya, masifnya inefisiensi anggaran, perilaku korupsi APBD yang makin marak, dan kinerja pemerintahan daerah yang terus terjun bebas.

Kedua, ketika kekuasaan identik dengan kewenangan atas pengelolaan keuangan negara, sumber pendapatan, dan aset negara, uang menjadi perusak pola hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintahan provinsi, dan juga antara pemprov dan pemkab/ prov dan pemkab/ pemkot. Persoalan itu bersumber dari interpretasi kewenangan yang berbeda, baik dari sudut pandang politik maupun birokrasi.

Ketiga, pengelolaan dan akses terhadap kekuasaan keuangan pemerintahan daerah jugalah yang harus diakui ikut merusak hubungan kepala daerah dan wakil kepala daerah. Pascapemilu kada, banyak k kondisi pemerintah daerah k kian memprihatinkan akibat konflik antara kepala daerah dan wakilnya. Selama pemberlakuan UU itu, dengan mengacu kepada data Kemendagri (2010 dan 2011), 94% pasangan kepala daerah yang kembali maju dalam pemilu kada pecah kongsi dan tak sedikit yang saling berhadap-hadapan berebut posisi kepala daerah. Pada 2010, dari 244 pemilu kada yang digelar, hanya 19 pasangan kepala daerah yang harmonis maju kembali. Kemudian pada 2011, dari 67 pemilu kada, hanya 6 pasangan yang harmonis hingga akhir masa jabatan. Ada kecenderungan kuat, enam bulan setelah pasangan kepala daerah dan wakil kepala daerah terpilih, banyak yang tidak harmonis dan saling berebut kewenangan.

Keempat, masifnya politik uang serta perolehan dan pengelolaan dana kampanye dalam pemilu kada kian menambah cermin buruk pelaksanaan demokrasi lokal di Indonesia. Hampir dapat dipastikan, setiap pem ilu kada berlangsung, politik uang, per olehan, dan pengelolaan dana kampa nye selalu terjadi.

Perlu Ditata Ulang

Mengingat bahaya relasi uang dalam demokrasi lokal di Indonesia, perubahan regulasi pemilu kada perlu dilakukan. Pertama, dengan memperketat seleksi sosok calon kepala daerah. Hal itu terutama terkait dengan track record-nya dalam kasus-kasus korupsi dan perolehan sumber-sumber kekayaan, apakah dilakukan dengan legal atau ilegal, termasuk misalnya karena memanfaatkan jalur politik kekerabatan. Sebagaimana yang jamak kita jumpai, politik kekerabatan memicu masifnya jaringan politik uang dan penyalahgunaan dalam pengelolaan sumber-sumber keuangan negara.

Dalam RUU Pemilu Kada, hal itu dilakukan dengan memasukkan sejumlah ketentuan baru yang lebih ketat (Pasal 70). Beberapa ketentuan baru seperti `tidak mempunyai ikatan perkawinan, garis keturunan lurus ke atas, ke bawah, dan ke samping dengan gubernur, kecuali ada selang waktu minimal satu masa jabatan dan menyampaikan daftar kekayaan pribadi dan bersedia untuk diumumkan kepada publik'. Langkah tersebut penting untuk meminimalisasi potensi KKN baru yang dilakukan secara sistematis dan terstruktur oleh para dinasti politik.

Selama ini korupsi secara legal dijalankan para dinasti politik lokal melalui mekanisme pembagian dana bantuan sosial dan dana hibah. Selain itu, korupsi juga dilakukan dengan pola-pola pengerukan APBD untuk kepentingan proyek-proyek keluarga para dinasti politik, baik melalui jalur yang `seakan resmi' mau pun melalui `penyedotan' `penyedotan' yang dilaku kan melalui BUMD yang telah dikuasai keluarga dinasti politik.

Kedua, RUU Pemilu Kada juga memberikan pengaturan yang lebih baik menyangkut dana kampanye. Pemberian sanksi atas mekanisme atas mekanisme perolehan dan pelaporan dana kampanye lebih tegas dan berat. Langkah maju ini misalnya dengan memasukkan ketentuan seperti pemberian sanksi tidak hanya kepada kandidat kontestan (Pasal 165 ayat 6), tetapi juga kepada donatur politiknya (Pasal 165 ayat 7) dengan hukuman yang lebih berat. Sanksi berat terkait dengan dana kampanye juga ditujukan kepada mereka yang memberikan laporan yang tidak benar (Pasal 165 ayat 8). Bahkan calon yang menerima sumbangan dana kampanye dan tidak melaporkan kepada KPU dan/atau tidak menyetorkan ke kas negara dipidana dengan penjara paling singkat 12 (dua belas) bulan dan paling lama 48 (empat puluh delapan) bulan serta denda sebanyak tiga kali dari jumlah sumbangan yang diterima (Pasal 165 ayat 9).

Ketat dan transparan

Aturan terkait tentang dana kampanye dalam RUU Pemilu Kada sebenarnya masih belum memadai. Untuk menghilangkan hantu politik uang dalam pemilu kada, semestinya dibutuhkan pengaturan dan sanksi tidak hanya terkait dengan dana kampanye, tetapi juga kewajiban audit dan transparansi para kepala daerah dan pejabat daerah, termasuk para keluarganya dalam garis dinasti selama dirinya menjabat.

Dengan aturan lebih ketat, hal itu nantinya akan mengurangi potensi terjadinya politik uang, baik dari level hulu maupun level hilir, baik menjelang dilakukan pemilu kada maupun selama lima tahun ketika kepala daerah tersebut memerintah. Jika ditemukan indikasi adanya penyalahgunaan kewenangan demi kepentingan parpol atau untuk menumpuk kekayaan pribadi dan dinastinya, mestinya ada sanksi tegas yang diterapkan.

Kita butuh regulasi yang lebih ketat dalam hal dana kampanye dan politik uang serta pengelolaan keuangan negara oleh pejabat politik, mengingat betapa uang bisa membawa malapetaka bagi demokrasi di Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar