Kebebasan Akademik Itu…
Sulistyowati Irianto; Guru
Besar Antropologi Hukum,
Fakultas Hukum,
Universitas Indonesia
SUMBER : KOMPAS, 05 Mei 2012
Tahun 2050, penduduk dunia diramalkan
mencapai 9 miliar. Manusia akan menghadapi problem sangat kompleks. Mulai dari
kekurangan pangan, air bersih, krisis energi, ancaman penyakit, kerusakan
hutan, hingga semakin hancurnya pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan.
Bagaimanakah sikap para ilmuwan Indonesia
menghadapi masalah kemanusiaan di masa depan? Mampukah perguruan tinggi di
Indonesia melahirkan puncak kreativitas dan inovasi, sejajar dengan perguruan
tinggi lain di dunia?
Universitas adalah gerakan moral tempat
lahirnya produksi dan reproduksi ilmu pengetahuan. Para ilmuwan dengan
kapasitas intelektual dan kepeduliannya yang tinggi punya potensi sangat besar
untuk ikut mengatasi berbagai persoalan dunia di masa depan.
Namun, potensi itu saja tak cukup. Ada hal
mendasar yang sangat dibutuhkan, yaitu kebebasan akademik! Inilah landasan
moral para ilmuwan untuk bekerja memaksimalkan kemampuan intelektualnya. Jika
menghendaki bangsa yang kuat, kebebasan akademik tak boleh dibatasi oleh siapa
pun, bahkan harus didukung sepenuhnya oleh negara melalui perangkat hukum.
Di Jerman dan Filipina, kebebasan akademik termuat
dalam konstitusi. Bagaimana Indonesia? Sesudah 66 tahun Indonesia merdeka serta
menjadi negara demokrasi dan rule of law,
kebebasan akademik yang paling esensial itu pun masih harus diperjuangkan.
Universitas setiap saat dapat diintervensi
pemerintah dalam bentuk apa pun, antara lain dengan dalih ketergantungan dana
kepada pemerintah. Padahal, secara konstitusional sudah kewajiban negara untuk
memberikan hak pendidikan kepada setiap warga negara, termasuk menghidupi
universitas. Jadi, tidaklah tepat apabila universitas menggadaikan kebebasan
akademiknya, lalu dikontrol pemerintah, dengan alasan kegiatan operasionalnya
dibiayai pemerintah. Bukankah itu sudah merupakan kewajiban negara?
Otonomi Universitas
Pemerintah di negara-negara maju bahkan ada
yang mendanai 100 persen, tetapi tidak mencampuri urusan pendidikan tinggi.
Hampir di seluruh dunia—bahkan di sejumlah negara berkembang, termasuk
ASEAN—universitas sudah menjadi independen, tetapi pemerintah tetap tidak
melepaskan tanggung jawabnya dalam hal pendanaan. Ada banyak pemerintah yang
bahkan menciptakan skema pinjaman keuangan kepada para mahasiswa untuk
membiayai kuliah mereka.
Indonesia ketinggalan dibandingkan dengan
negara-negara lain dalam hal memandirikan perguruan tinggi. Barangkali inilah yang
menjelaskan mengapa prestasi ilmuwan Indonesia termasuk yang rendah di dunia
meski ada banyak orang pandai di negeri ini. Pemerintah bahkan tidak memiliki
konsep mendasar. Kebijakan yang diambil pun ”tambal sulam”, yang justru menuai
banyak kritik. Contohnya, mensyaratkan kelulusan mahasiswa dengan tulisan di
jurnal ilmiah tanpa paham apa kriteria dan standar tulisan ilmiah itu.
Ketidakmandirian pendidikan tinggi juga
menjelaskan mengapa banyak ilmuwan Indonesia yang sangat pandai lari ke luar
negeri, membaktikan dirinya untuk kemajuan bangsa lain. Di sini mereka tidak
mendapatkan laboratorium yang memadai dan kesejahteraan lahir batin yang
dibutuhkan untuk sampai pada puncak prestasi akademik. Atmosfer akademik tak
menunjang. Adakalanya ilmuwan tidak bisa bersuara karena terbelenggu oleh
kedudukannya dalam hierarki birokrasi akademik.
Kebebasan akademik hanya bisa diperoleh dalam
universitas yang otonom. Di dalamnya terdapat persyaratan tata kelola dan
aksesibilitas publik terhadap pendidikan tinggi.
Kebebasan akademik adalah hak setiap
profesor, staf pengajar, dan peneliti terkait kegiatan mereka dalam pengajaran
dan penelitian. Tentu saja yang sejalan dengan tradisi universitas, kode etik,
prinsip toleransi, dan obyektivitas.
Profesor bebas menentukan isi kuliahnya dan
menerbitkan hasil penelitian tanpa meminta persetujuan. Akademisi hanya
mengabdi pada kebenaran, kejujuran, dan keadilan, terbebas dari kepentingan
politik praktis dan agama tertentu dalam tugasnya. Jangan terulang lagi masa
kelam Orde Baru saat pemerintah mencengkeram universitas dan membungkam
akademisi.
Kebebasan akademik juga ada pada institusi,
yaitu kebebasan untuk mengangkat pegawai, menetapkan standar masuk bagi
mahasiswa. Mahkamah Agung Amerika pernah memutuskan bahwa kebebasan akademik
universitas adalah untuk menentukan sendiri siapa boleh mengajar, apa yang
diajarkan, bagaimana cara mengajar, dan siapa yang diizinkan untuk belajar.
Independensi Universitas
Otonomi universitas akan menumbuhkan budaya
akademik yang mengajarkan nilai-nilai ilmu pengetahuan, argumentasi dengan
dasar ilmiah dalam setiap pengambilan keputusan. Budaya akademik yang demikian
akan melahirkan hubungan kolegial yang egaliter dan sehat atas dasar saling
menghormati dan memberdayakan di antara para ilmuwan.
Apabila universitas dijadikan bagian dari
birokrasi pemerintah, akan tumbuh budaya birokrasi yang lamban, tidak efisien,
dan korup. Universitas di Indonesia akan semakin tidak mampu mengejar
perkembangan ilmu dan akan kalah bersaing dengan universitas di dunia.
Otonomi universitas setali tiga uang dengan
tata kelola universitas, yaitu akuntabilitas, transparansi, dan partisipasi
publik untuk ikut mengontrol. Ada otonomi untuk mengelola keuangan sendiri dan
tidak melibatkan birokrasi kementerian yang rawan korupsi seperti selama ini.
Semakin terkait dengan birokrasi keuangan pemerintah, semakin tersedia celah
bagi penyalahgunaan kewenangan dan korupsi.
Aksesibilitas masyarakat, khususnya kelompok
rentan secara ekonomi dan sosial, harus dapat dijamin dalam universitas yang
otonom. Pendanaan universitas tidak boleh mengandalkan dari bayaran mahasiswa,
tetapi dari negara, korporasi dengan corporate
social responsibility (CSR)-nya, dan kegiatan-kegiatan penelitian yang
hebat.
Tujuan dari otonomi adalah memampukan para
ilmuwan untuk sampai pada puncak prestasi akademik, seperti yang diamanatkan
para pendiri bangsa ini. Kreativitas dan inovasi ilmuwan dinantikan masyarakat
ilmiah dunia untuk bersama-sama mengatasi persoalan kemanusiaan di masa depan.
Oleh karena itu, dibutuhkan dukungan dari
masyarakat luas dan negara. Mahkamah Konstitusi pernah membuat ”kesalahan”
dengan putusan finalnya yang mematikan cikal bakal otonomi perguruan tinggi. Para profesor terbaik bangsa ini sekarang
sedang berjuang merumuskan RUU Pendidikan Tinggi. Semoga kesalahan tidak
terulang kembali, demi kejayaan Indonesia. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar