70 Tahun M Dawam
Rahardjo
Kegelisahan Intelektual
Fachry Ali; Direktur
Lembaga Studi dan Pengembangan Etika Usaha (LSPEU) Indonesia
SUMBER : KOMPAS, 05 Mei 2012
Ada masa dalam sejarah sosial-politik
Indonesia: kelas menengah, kaum intelektual, dan negara ”menyatu”. Ini terjadi
antara 1966 dan awal 1970-an ketika kekuatan ”Kiri” tersingkir dan kekuatan
”Kanan” bangkit mengontrol kekuasaan pada tingkat negara.
Menjelang pertengahan 1970-an, keretakan
hubungan kedua pihak tak terhindarkan, yang ditandai dengan peristiwa 15
Januari 1974, ketika kelas menengah dan kaum intelektual berselisih paham
tentang strategi pembangunan dengan negara.
Inti pertentangan pendapat itu tidak terlalu
penting dicatat. Yang jelas, negara kian teguh memperlihatkan diri sebagai,
miminjam frase Herbert Feith, developmentalist regime. Itulah rezim yang, tanpa
memedulikan aspek ideologis dan artikulasi kehendak masa, secara struktural
harus bertindak sebagai agen pembangunan.
Berhubungan langsung dengan—melalui proyek
pembangunan—rakyat yang dipahami sebagai ”obyek pasif”, negara merenggangkan
diri dengan kelas menengah dan kaum intelektual. Ketegangan antara
developmentalist state dan absennya prakarsa dan partisipasi masyarakat inilah
yang menjadi latar bagi artikulasi pemikiran-pemikiran M Dawam Rahardjo. Tak
terasa, pemikir produktif kelahiran Solo, 20 April 1942, itu telah hidup selama
70 tahun.
Apa yang secara intelektual menantang Dawam
pada periode ketegangan struktural ini? Saya kira ia terbawa arus pemikiran
tentang esensi kemandirian: sebuah usaha mencari tempat mengartikulasikan diri
di luar lingkup negara. Kesadaran ini bertemu dengan prakarsa ekonom ”raksasa”
Soemitro Djojohadikusumo yang [bekerja sama dengan Friedrich Naumann Stiftung
di bawah Partai Demokrat, Jerman Barat] mendirikan Lembaga Penelitian,
Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) pada 1971 di bawah payung
Yayasan Bina Sosial Ekonomi bentukannya.
Di lembaga itulah, setelah keluar dari Bank of America, Dawam menemukan wadah
kemandirian itu. Maka, yang terjadi dengan Dawam Rahardjo dan LP3ES adalah
kisah tarik-menarik antara negara yang kian konsentrik dan usaha kaum
intelektual menjaga kesintasan kemandirian. Itulah yang terefleksi dalam hampir
semua tulisannya sepanjang 1970-an dan 1980-an.
Latar Kegelisahan Itu
Seperti kini dapat dilihat dalam buku yang
baru terbit di bawah suntingan Tarli Nugroho, Ekonomi Politik Pembangunan, yang
merupakan kumpulan karangan Dawam Rahardjo dalam jurnal Prisma sepanjang kurun
itu, butir-butir pemikirannya adalah tebaran wacana yang kontinu kepada publik
untuk menemukan jalan lain dari yang ditawarkan negara.
Dalam konteks ideologi pembangunan, misalnya,
Dawam dengan sengaja menguraikan model pembangunan China berbasis ”tenaga
rakyat”. Pilihan wacana ini berjalan sebanding dengan usahanya melihat peran
koperasi dan industri kecil dalam pembangunan. Bagaimanapun, baik koperasi
maupun industri kecil adalah tenaga-tenaga rakyat yang terhimpun dalam
aktivitas ekonomi.
Para pembaca yang sadar tentu memahami bahwa
basis pemikiran strategi pembangunan Orde Baru, dalam konteks mental dan
sosiologis, adalah—meminjam frase WF Wertheim—betting on the strong. Itulah sebuah usaha mendorong pertumbuhan
ekonomi melalui koalisi negara dengan aktor kapital mampu. Dalam konteks teoretis,
upaya ini dilekatkan pada strategi big push, derivatif dari gagasan John
Maynard Keynes.
Situasi peralihan antara perekonomian Orde
Lama dan Orde Baru, menarik pelajaran dari Keynes tentang Great Depression
1929-1930, telah dianggap sebagai ”pembenar” usaha penyelamatan sistem
kapitalisme. Yaitu dengan mendorong negara berperan aktif dalam ekonomi dengan
melakukan investasi besar-besaran, big
push, dengan sasaran lahirnya dampak ganda: siklus penyerapan tenaga kerja
dan peluang swasta berinvestasi oleh meningkatnya daya beli.
Tata cara yang menekankan strategi
pembangunan bersifat betting on the
strong inilah yang menjadi latar kegelisahan intelektual Dawam Rahardjo
untuk menemukan ”jalan lain” itu. Dengan dalih ”krisis masa transisi” itu,
negara menjadi absah membangun hegemoni dan mengontrol secara ketat aktivitas
masyarakat di luar ekonomi.
Saya masih ingat pada awal 1980-an bagaimana
Dawam Rahardjo, dalam percakapan pribadi, mengkritik ucapan Menteri Dalam
Negeri Amir Machmud yang mengesankan bahwa pemerintah adalah ”tuan yang murah
hati”: rakyat secara ekonomi bergantung dan, karena itu, secara politis rakyat
harus mendukung partai berkuasa.
Maka, seperti buah pemikiran kaum intelektual
lainnya, butir-butir gagasan Dawam Rahardjo menjadi referensi ketika publik
mencari sumber gagasan di luar negara. Sebuah latar percaturan gagasan yang
romantis, yang ditandai oleh tarik-menarik antara negara dan kaum intelektual.
Romantisme ini kini telah hilang dalam hiruk-pikuk politik pascareformasi. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar