Seniman dalam Selembar Sertifikat
Aris Setiawan; Etnomusikolog;
Pengajar di Institut Seni Indonesia Surakarta
SUMBER : KOMPAS, 05 Mei 2012
Wakil Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
Wiendu Nuryanti memang tak habis-habisnya membuat sensasi.
Setelah memicu pro dan kontra atas usahanya
mendaftarkan tayub dan dangdut sebagai warisan budaya dunia lewat Organisasi
Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan PBB (UNESCO), ia memunculkan
wacana baru untuk menyertifikasi profesi seniman se-Indonesia. Keinginan itu
disampaikan di sela-sela acara 24 jam menari ”Srawung Seni Segara Gunung” di
Taman Aksobya Kompleks Candi Borobudur, Magelang (28 April 2012).
Alasannya, pekerja seni (seniman) dari luar
negeri yang datang ke Indonesia banyak yang telah memiliki sertifikat
internasional sebagai seniman profesional. Bu Wamenbud resah sebab saat ini
seniman Indonesia belum memiliki standardisasi profesional guna berkompetisi di
tingkat dunia. Ia khawatir, seniman-seniman Indonesia akan gugur saat diminta
terlibat dalam forum internasional karena kalah dengan pekerja-pekerja seni
negara lain yang bersertifikat.
Pertanyaannya kemudian, apakah seniman
Indonesia membutuhkan sertifikat? Seperti apa gambaran dan ukuran seniman
profesional ala Indonesia? Mengapa harus diukur dalam takaran selembar
sertifikat? Apa dampak bagi para seniman?
Bukan Profesi Utama
Bagong Kussudiharjo dan RM Soedarsono
(Kompas, 20-27 November 1994) mengungkapkan bahwa menjadi seniman profesional
sekelas empu, misalnya, bukan perkara mudah. Bahkan, keduanya memandang, lebih
mudah mencetak seorang doktor kesenian daripada mencetak seniman profesional.
Doktor atau sarjana seni sudah pasti mendapat
ijazah dan sertifikat dengan gelar sarjana seni. Namun, ia tidak serta-merta
dapat menjadi dan diakui sebagai seniman profesional.
Di sisi lain, seniman bukanlah pekerjaan
utama dalam percaturan keprofesian masyarakat Indonesia. Umumnya kesenian di
Indonesia hanya menjadi katarsis dalam meluapkan gejolak estetika di tengah
impitan dan rutinitas kerja.
Seorang pemain gamelan yang andal, penari
yang mumpuni, atau pelukis yang elok bisa jadi adalah seorang petani atau
penjual jamu gendong. Mereka bukan sarjana bidang seni yang pernah mendapat
pendidikan seni di jalur formal meski kemampuannya setaraf dengan maestro atau
empu. Masih perlukah mereka mendapat sertifikat untuk pentas keliling dunia?
Pemerintah harus ingat, berbeda negara
berbeda pula cara penyikapan dan penghargaan terhadap profesi seorang seniman.
Tidak bisa disamaratakan. Di Amerika dan Eropa, seniman dijunjung tinggi.
Seniman menjadi profesi yang ideal setara dengan profesi lain, seperti dokter,
arsitek, polisi, dosen, ataupun pilot. Mereka mampu hidup dan menghidupi
dirinya dengan hanya bekerja sebagai seniman semata, tidak mendua dengan profesi
lain. Profesionalitas mereka benar-benar diperhitungkan sehingga sertifikat
lebih bersifat sebagai penghargaan.
Di Indonesia, seniman atau pekerja seni
(terutama tradisi) adalah sebuah profesi yang penuh dengan dinamika stereotip
negatif. Siapa generasi muda saat ini yang mau menjadi pemain ludruk atau
wayang wong? Bukankah lebih menjanjikan jika menjadi dokter, pilot, atau
bekerja dengan gaji tetap?
Orientasi pemberian sertifikat berdasar
keresahan gugurnya seniman Indonesia tampil di kancah internasional adalah
pandangan yang sama sekali tidak berdasar. Seorang seniman profesional tidaklah
dihargai dan diukur dari seberapa banyak dan agungnya sertifikat yang dimiliki,
tetapi dari seberapa kuat karyanya mampu bersuara?
Bukan Ukuran
Apakah seniman yang tak bersertifikat tak
bisa diterima dalam percaturan seni internasional? Profesionalitas kesenimanan
seseorang tidak bisa diukur dari rutinitas dan seberapa sering ia pentas di
luar negeri, tetapi dari pekatnya ziarah berkarya seni dengan sungguh-sungguh.
Seniman dilihat bukan karena siapa dia,
melainkan sebagus apa karyanya. Sejauh pengetahuan saya, tidak ada seniman
besar di Indonesia yang memiliki sertifikat resmi sebagai seorang seniman, akan
tetapi toh terus melanglang buana. Misalnya, Rahayu Supanggah, I Wayan Sadra
(alm), Sardono W Kusuma, Slamet Abdul Sjukur, dan Eko Supriyanto. Seniman
bukanlah profesi yang dapat diformalitaskan layaknya dokter atau arsitek.
Bahkan, dari semua nama yang disebut di atas,
hampir semuanya bukan seniman murni yang benar-benar menggantungkan hidup hanya
dari dunia seni. Sebagian besar dari mereka adalah dosen dan pengajar seni.
Otomatis, selain kualitas karya, jaringan atau hubungan menjadi faktor penting.
Intinya, seberapa pun kerasnya pemerintah berniat menyertifikasi seniman
Indonesia, jika seniman terkait tidak pernah dibukakan jalan dan dikenalkan
dengan jaringan komunitas seni dunia, sampai kapan pun mereka tak akan mampu
bersaing pada taraf internasional.
Terlebih jumlah seniman di Indonesia dapat
mencapai ribuan bahkan jutaan orang. Apakah semua mau disertifikasi, termasuk
mereka yang merangkap sebagai tukang jamu gendong hingga dosen, dari birokrat
biasa hingga presiden kita yang suka menyanyi? Di sini, batasan dan ukuran
profesionalitas kesenimanan menjadi sumir. Kemaestroan dan keprofesionalan
seorang seniman tidak bisa diguratkan, dipatenkan dalam huruf dan kata pada
sertifikat. Masyarakat luaslah yang menjadi kurator atas pengakuan profesinya.
Seniman Alam
Bahkan, FX Fidaryanto (2009) menuturkan bahwa
pada masa lalu pendirian perguruan tinggi seni diampu oleh para seniman alam
yang nyaris tak tersentuh pendidikan akademik dan tak memiliki sertifikat
seniman. Mereka adalah para empu, pemegang otoritas yang mendapatkan pengakuan
dari masyarakat.
Lihatlah ASRI Yogyakarta dengan Affandi, ASKI
Surakarta dengan Martopangrawit, ASTI Bandung dengan Enoch Atmadibrata, Lembaga
Pendidikan Kesenian Jakarta dengan Djaduk Djajakusuma, Konservatori Karawitan
Surakarta dengan Sindusawarno, dan Konservatori Tari Yogyakarta dengan Hardjosoebroto.
Merekalah maestro-maestro seni tanpa sertifikat yang memberi perubahan besar
pada dunia seni kita dewasa ini. Bagi mereka tidak penting sertifikat yang
didapat, tetapi sejauh mana sumbangan terhadap seni yang digelutinya.
Pertanyaan lain, apakah dengan mendapatkan
sertifikat seorang seniman menjadi terbuka jalannya untuk berkesenian yang
lebih baik?
Sertifikat selama ini tidak lebih dari sebuah
penghargaan yang akhirnya akan menjadi sekadar pajangan di ruang tamu para
seniman. Alangkah lebih baiknya jika pemerintah lebih memusatkan perhatian pada
ruang pewacanaan terhadap karya-karya mereka. Di antaranya, memberi ruang
publikasi, membantu pembiayaan dalam kompetisi proses berkarya, mempermudah dan
mengenalkan jaringan baru, serta meneladani hasil jerih payah mereka dengan
menempatkannya sebagai profesi yang menjanjikan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar