Kebangkitan
Nasional Pemberantasan Korupsi
Romli
Atmasasmita ; Guru Besar Emeritus Hukum Pidana
Internasional Unpad
SUMBER : MEDIA
INDONESIA, 22 Mei 2012
HARI
Kebangkitan Nasional 20 Mei 2012 ditandai perkembangan dan kemajuan Indonesia
dalam menggagas, menyusun, dan memproduksi undang-undang pemberantasan korupsi
yang telah ‘go international’. Namun, implementasinya masih belum sejalan
dengan prinsipprinsip hukum umum yang diakui masyarakat internasional
sebagaimana dicantumkan dalam konvensi internasional, antara lain Konvensi PBB
Antikorupsi 2003.
Semangat
dan komitmen tinggi, bahkan sering berlebihan, dalam memberantas korupsi telah
menegaskan prinsip-prinsip hukum umum tersebut, seperti asas praduga tak
bersalah, asas perlakuan yang sama di muka hukum termasuk bagi terpidana, asas
non-self incriminating evidence, dan hak asasi lain yang seharusnya dimiliki
tersangka atau terdakwa. Komitmen dan semangat reformasi dalam pemberantasan
KKN sejak 1998 telah dicederai langkah kebijakan hukum pemerintah dan aparatur
penegak hukum yang sekuat tenaga membatasi hakhak asasi tersangka, terdakwa,
dan terpidana.
Keseimbangan hak dan kewajiban pemerintah dan penegak hukum, di
satu sisi, seharusnya dapat dipelihara dan dijaga. Begitu pula hak dan
kewajiban tersangka, terdakwa, dan terpidana, di sisi lain.
Proses
peradilan yang ‘fair and impartial’
dalam pemberantasan korupsi saat ini telah mengalami degradasi etika, kesusilaan,
dan intelektualitas serta profesionalitas karena semata-mata demi mengakomodasi
aspirasi keadilan dalam masyarakat yang sering juga bias dan tidak lepas dari
politik kepentingan. Yang terjadi ialah orang tidak bersalah telah masuk
penjara dan orang yang bersalah justru berkeliaran di luar penjara; bahkan ada
terpidana korupsi yang dipenjara ‘mewakili koruptor’ hanya untuk mempertahankan
periuk nasi keluarganya atau karena membela atasannya yang korup.
Silang
sekarut penegakan hukum dalam pemberantasan korupsi bukan karena UU yang tidak
benar, melainkan karena penegakannya tidak disertai sikap amanah dan profesionalitas yang benar; hanya karena
mencari popularitas dan bangga dengan cap `populis' sekalipun disertai sikap
yang tidak logis dan antagonis. Satu-satunya kemajuan pemberantasan korupsi di
Indonesia secara statistik ialah semakin banyaknya korupsi yang ditangani
penegak hukum sehingga menurunkan peringkat Indonesia dalam pandangan TI dan
lembaga peringkat lainnya.
Adagium
bahwa semakin banyak perkara korupsi yang masuk peradilan berarti penegakan
hukum semakin baik adalah keliru, justru sebaliknya yang benar. Dengan merujuk
pada kekeliruan adagium tersebut, sistem target penanganan perkara korupsi
telah menjadi tujuan dan landasan operasional bagi ketersediaan anggaran biaya
penegakan hukum di seluruh instansi penegakan hukum.
Makna
kebangkitan nasional dalam pemberantasan korupsi seharusnya ditujukan untuk
menemukan jati diri bangsa dan mempertahankan persatuan dan kesatuan bangsa
Indonesia. Bukan sebaliknya, pemberantasan korupsi di jadikan sarana dan ajang
balas dendam politik atau mencari popularitas di mata rakyat; yang sa ngat
memprihatinkan itu telah dijadikan sarana untuk mem peroleh dana hibah jutaan dolar
dan pujian serta decak kagum orang asing yang bercokol pada lembaga inter
nasional.
Peranan
alim ulama seharusnya memberikan keteduhan dan menguatkan keimanan pemeluk
agama masing-masing. Bukan sebaliknya, memunculkan eksklusivisme kelompok
antikorupsi dan kelompok koruptor sehingga menimbulkan `konflik sosial' di
antara keduanya; bahkan mengharamkan untuk menyalati koruptor yang telah
dicabut nyawanya oleh Allah SWT.
Kebangkitan
nasional saat ini momentum penting dalam pemberantasan korupsi untuk selalu
menuju nilai kesusilaan yang dimuat dalam Pancasila, yaitu Ketuhanan YME,
Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, dan Kerakyatan yang
dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, serta
dengan mewujudkan suatu Keadilan Sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia.
Pertanyaan
yang memerlukan renungan kita semua ialah apakah nilai-nilai tersebut telah
menjiwai pemberantasan korupsi? Yang pasti, jawabannya belum! Bahkan yang
terjadi, korupsi semakin semarak di negeri ini dan semakin penuh sesak penjara
oleh koruptor, semakin tidak tampak efek jera pada koruptor, dan semakin
mengecil pemasukan keuangan negara melalui pemberantasan korupsi berbanding
terbalik dengan anggaran negara yang telah dikeluarkan untuk tujuan tersebut,
serta semakin hilang uang negara dibawa kabur ke negara lain.
Keberhasilan
yang tampak ialah proses stigmatisasi terhadap koruptor dan keluarganya yang
semakin meningkat dan intens sehingga di masa yang akan datang akan terjadi
generasi koruptor dan keluarga koruptor dengan berbagai cap jahatnya, tidak
beda dengan yang telah terjadi pasca-G-30S–PKI.
Gagasan
pemiskinan koruptor sampai pada anak-anak dan istrinya bahkan dimunculkan. Itu
merupakan salah satu contoh proses stigmatisasi sangat kontraproduktif karena
akan terjadi dampak pelanggaran HAM. Referensi tentang korupsi yang terjadi di
berbagai negara, termasuk di negara maju, menunjukkan bahwa virus korupsi tidak
mengenal batas waktu dan tempat serta imun terhadap berbagai jenis obat
secanggih apa pun kualitasnya.
Virus
korupsi tidak dapat ditangkal hanya dengan jargon dan stigmatisasi berbagai
bentuk. Itu hanya dapat dicegah melalui perubahan sistem ekonomi liberalisme
dan kapitalisme kepada sistem ekonomi kerakyatan dan sistem jaminan sosial yang
sistematis dan berkesinambungan. Untuk mencapai tujuan tersebut, diperlukan
pemimpin yang telah sejahtera lahir dan batin, memiliki integritas,
nasionalisme yang kuat berdiri di atas segala kelompok atau golongan, bersikap
amanah dan ikhlas menjalankan tugas dan tanggung jawab negara, serta tidak
surut untuk selalu memuliakan hukum dan tegaknya hukum sekalipun harus ber
hadapan dengan istri, anak, dan sanak keluarganya. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar