Rabu, 23 Mei 2012

Kebangkitan Nasional Pemberantasan Korupsi


Kebangkitan Nasional Pemberantasan Korupsi
Romli Atmasasmita ; Guru Besar Emeritus Hukum Pidana Internasional Unpad
 SUMBER :  MEDIA INDONESIA, 22 Mei 2012


HARI Kebangkitan Nasional 20 Mei 2012 ditandai perkembangan dan kemajuan Indonesia dalam menggagas, menyusun, dan memproduksi undang-undang pemberantasan korupsi yang telah ‘go international’. Namun, implementasinya masih belum sejalan dengan prinsipprinsip hukum umum yang diakui masyarakat internasional sebagaimana dicantumkan dalam konvensi internasional, antara lain Konvensi PBB Antikorupsi 2003.

Semangat dan komitmen tinggi, bahkan sering berlebihan, dalam memberantas korupsi telah menegaskan prinsip-prinsip hukum umum tersebut, seperti asas praduga tak bersalah, asas perlakuan yang sama di muka hukum termasuk bagi terpidana, asas non-self incriminating evidence, dan hak asasi lain yang seharusnya dimiliki tersangka atau terdakwa. Komitmen dan semangat reformasi dalam pemberantasan KKN sejak 1998 telah dicederai langkah kebijakan hukum pemerintah dan aparatur penegak hukum yang sekuat tenaga membatasi hakhak asasi tersangka, terdakwa, dan terpidana. 

Keseimbangan hak dan kewajiban pemerintah dan penegak hukum, di satu sisi, seharusnya dapat dipelihara dan dijaga. Begitu pula hak dan kewajiban tersangka, terdakwa, dan terpidana, di sisi lain.

Proses peradilan yang ‘fair and impartial’ dalam pemberantasan korupsi saat ini telah mengalami degradasi etika, kesusilaan, dan intelektualitas serta profesionalitas karena semata-mata demi mengakomodasi aspirasi keadilan dalam masyarakat yang sering juga bias dan tidak lepas dari politik kepentingan. Yang terjadi ialah orang tidak bersalah telah masuk penjara dan orang yang bersalah justru berkeliaran di luar penjara; bahkan ada terpidana korupsi yang dipenjara ‘mewakili koruptor’ hanya untuk mempertahankan periuk nasi keluarganya atau karena membela atasannya yang korup.

Silang sekarut penegakan hukum dalam pemberantasan korupsi bukan karena UU yang tidak benar, melainkan karena penegakannya tidak disertai sikap amanah dan profesionalitas yang benar; hanya karena mencari popularitas dan bangga dengan cap `populis' sekalipun disertai sikap yang tidak logis dan antagonis. Satu-satunya kemajuan pemberantasan korupsi di Indonesia secara statistik ialah semakin banyaknya korupsi yang ditangani penegak hukum sehingga menurunkan peringkat Indonesia dalam pandangan TI dan lembaga peringkat lainnya.

Adagium bahwa semakin banyak perkara korupsi yang masuk peradilan berarti penegakan hukum semakin baik adalah keliru, justru sebaliknya yang benar. Dengan merujuk pada kekeliruan adagium tersebut, sistem target penanganan perkara korupsi telah menjadi tujuan dan landasan operasional bagi ketersediaan anggaran biaya penegakan hukum di seluruh instansi penegakan hukum.

Makna kebangkitan nasional dalam pemberantasan korupsi seharusnya ditujukan untuk menemukan jati diri bangsa dan mempertahankan persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia. Bukan sebaliknya, pemberantasan korupsi di jadikan sarana dan ajang balas dendam politik atau mencari popularitas di mata rakyat; yang sa ngat memprihatinkan itu telah dijadikan sarana untuk mem peroleh dana hibah jutaan dolar dan pujian serta decak kagum orang asing yang bercokol pada lembaga inter nasional.

Peranan alim ulama seharusnya memberikan keteduhan dan menguatkan keimanan pemeluk agama masing-masing. Bukan sebaliknya, memunculkan eksklusivisme kelompok antikorupsi dan kelompok koruptor sehingga menimbulkan `konflik sosial' di antara keduanya; bahkan mengharamkan untuk menyalati koruptor yang telah dicabut nyawanya oleh Allah SWT.

Kebangkitan nasional saat ini momentum penting dalam pemberantasan korupsi untuk selalu menuju nilai kesusilaan yang dimuat dalam Pancasila, yaitu Ketuhanan YME, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan Sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia.

Pertanyaan yang memerlukan renungan kita semua ialah apakah nilai-nilai tersebut telah menjiwai pemberantasan korupsi? Yang pasti, jawabannya belum! Bahkan yang terjadi, korupsi semakin semarak di negeri ini dan semakin penuh sesak penjara oleh koruptor, semakin tidak tampak efek jera pada koruptor, dan semakin mengecil pemasukan keuangan negara melalui pemberantasan korupsi berbanding terbalik dengan anggaran negara yang telah dikeluarkan untuk tujuan tersebut, serta semakin hilang uang negara dibawa kabur ke negara lain.

Keberhasilan yang tampak ialah proses stigmatisasi terhadap koruptor dan keluarganya yang semakin meningkat dan intens sehingga di masa yang akan datang akan terjadi generasi koruptor dan keluarga koruptor dengan berbagai cap jahatnya, tidak beda dengan yang telah terjadi pasca-G-30S–PKI.

Gagasan pemiskinan koruptor sampai pada anak-anak dan istrinya bahkan dimunculkan. Itu merupakan salah satu contoh proses stigmatisasi sangat kontraproduktif karena akan terjadi dampak pelanggaran HAM. Referensi tentang korupsi yang terjadi di berbagai negara, termasuk di negara maju, menunjukkan bahwa virus korupsi tidak mengenal batas waktu dan tempat serta imun terhadap berbagai jenis obat secanggih apa pun kualitasnya.

Virus korupsi tidak dapat ditangkal hanya dengan jargon dan stigmatisasi berbagai bentuk. Itu hanya dapat dicegah melalui perubahan sistem ekonomi liberalisme dan kapitalisme kepada sistem ekonomi kerakyatan dan sistem jaminan sosial yang sistematis dan berkesinambungan. Untuk mencapai tujuan tersebut, diperlukan pemimpin yang telah sejahtera lahir dan batin, memiliki integritas, nasionalisme yang kuat berdiri di atas segala kelompok atau golongan, bersikap amanah dan ikhlas menjalankan tugas dan tanggung jawab negara, serta tidak surut untuk selalu memuliakan hukum dan tegaknya hukum sekalipun harus ber hadapan dengan istri, anak, dan sanak keluarganya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar