Hubungan
Muslim RI-China (2)
Azyumardi
Azra ; Direktur Sekolah Pascasarjana
Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah, Jakarta
SUMBER : REPUBLIKA,
22 Mei 2012
Integrasi
orang dan komunitas Cina perantauan ke dalam masyarakat Muslim nusantara mulai
terganggu dengan kedatang an kolonialisme Belanda. Mereka menjadikan
orang-orang Cina sebagai pialang (middlemen
atau brokers) dalam perdagangan
mereka dengan masyarakat pribumi.
Disrupsi
dan kehancuran ekonomi masyarakat Muslim pribumi akibat praktik monopoli
pasca-Belanda yang dibantu pialang Cina dalam perjalanan waktu, menumbuhkan sikap
antipati dari kalangan pribumi terhadap masyarakat Cina keturunan.
Terputusnya
hubungan antara nusantara dan Cina mainland sejak 1740-an sempat menimbulkan
kebingungan di kalangan Cina Muslim keturunan. Sehingga muncullah kecenderungan
mereka untuk menganut Islam dalam rangka asimilasi atau pembauran dengan ma sya
rakat pribumi. Komunitas Muslim keturunan kembali membangun masjid mereka sendiri.
Pada saat yang sama juga terjadi asi milasi kultural. Orangorang dan ke luarga
terkemuka Cina menerima dan mengadopsi aspek tertentu budaya Jawa, Sunda,
Minang, dan seterusnya.
Asimilasi
dan upaya dakwah Islam terhadap warga keturunan kembali terganggu dengan
terjadinya radikalisasi masyarakat Muslim pribumi dalam melawan Belanda. Dan di
sini, warga keturunan kadang-kadang menjadi terkait dalam konflik dan perang,
seperti terli hat dalam Perang Jawa, pimpinan Pangeran Diponegoro (1825-1830).
Menurut
sejarah resmi Indonesia, Pangeran Diponegoro dan para pengikutnya marah karena
adanya warga keturunan Cina yang diberikan hak istimewa untuk memungut pajak
dan biaya toll jalan di sekitar kediaman Diponegoro. Konflik yang sering
berujung pada kerusuhan anti-Cina juga terjadi dalam waktu-waktu tertentu
sepanjang masa kolonialisme Belanda.
Alienasi
warga keturunan dari masyarakat pribumi mencapai puncaknya pada 1854, dengan
penetapan status warga Belanda (dan Eropa lainnya) pada puncak stratifikasi
sosial masyarakat kolonial. Selanjutnya, warga keturunan (Cina) ditempatkan
pada stratifikasi sosial kedua bersama bangsa-bangsa Timur Asia (India dan
Arab).
Sedangkan
masyarakat pribumi di tempatkan sebagai kelas tiga—stratifi kasi sosial
terbawah. Stratifikasi sosial dan penggolongan warga Netherlands East-Indies
berdasarkan kategori etnis ini kian memperkuat cultural gap di antara warga keturunan dengan masyarakat pribumi.
Sebaliknya,
asosiasi kultural dan keagamaan dengan Belanda—dan sekaligus Kristianitas (Kristen
Protestan dan Katolik)—semakin meningkat di kalangan masyarakat keturunan.
Dalam semua proses ini, terjadilah pembentukan prasangka timbal balik di antara
warga keturunan dengan masyarakat Muslim pribumi. Prasangka dan bias kultural
itu juga mencakup agama yang dipeluk masing-masing komunitas tersebut.
Perkembangan
sosio-kultural dan politik pasca-G30S/PKI semakin kurang menguntungkan bagi
hubungan antara masyarakat pribumi Muslim dan warga keturunan. Sama seperti
banyak orang komunis lain yang secara massal masuk Kristianitas karena takut
dituduh “ateis”, terjadilah gelombang besar warga keturunan masuk agama
Kristianitas. Perkembangan ini kian kurang menguntungkan dengan kebijakan
pemerintah Orde Baru yang mengharamkan setiap dan seluruh ekspresi sosio-kultural
warga keturunan.
Meski
demikian, upaya mengembangkan akulturasi dan asimilasi, khususnya melalui Islam
bukan tidak ada. Dalam hal ini, penting dicatat usaha yang dilakukan Haji Abdul
Karim Oei Tjeng Hien (6 Juni 1905-14 Oktober 1988), tokoh Muhammadiyah, yang
kemudian bersama Abdusshomad Yap Asiong (pimpinan PIT/Persatuan Islam Tionghoa)
dan Kho Goan Tjin (pimpinan Persatuan Muslim Tionghoa/PMT) mendirikan
organisasi Persatuan Islam Tiong hoa Indonesia (PITI) pada 14 April 1961.
Meski
ada PITI, economic and socio-cultural
gaps antara warga keturunan dan masyarakat Muslim pribumi sebagian besar
tetap bertahan terutama, terkait dengan adanya disparitas ekonomi yang semakin
tajam pada masa Orde Baru antara warga keturunan dan masyarakat lainnya.
Tetapi, para pengusaha keturunan berkolaborasi dengan penguasa Orde Baru yang
beragama Islam dalam berbagai sektor ekonomi.
Karena
pemerintah Presiden Soeharto mengharamkan setiap pembicaraan tentang hubungan
antara warga keturunan dan masyarakat pribumi dengan alasan termasuk masalah
SARA, terjadilah pengendapan social
resentment dengan potensi konflik dan kekerasan terhadap warga keturunan.
Hal
inilah yang mengakibatkan terjadinya ledakan kekerasan (violence outburst) dari waktu ke waktu, dari masyarakat pribumi
terhadap warga keturunan. Puncaknya adalah kerusuhan antiwarga keturunan Cina
dalam skala besar pada hari-hari seputar jatuhnya Soeharto dari kekuasaannya
pada Mei 1998.
Kini,
di masa pasca-Soeharto ketika masyarakat keturunan Cina bebas mengekspresikan
kekayaan sosio-kultural dan keagamaannya, hubungan antara warga keturunan dan
masyarakat Muslim pribumi relatif tidak terganggu lagi. Adopsi demokrasi sejak
1999 membuka peluang munculnya politisi keturunan dalam kancah politik dan pemerintahan
pusat serta daerah. Perkembangan seperti ini cukup menjanjikan bagi hubungan
lebih harmonis di antara warga keturunan dengan komunitas lainnya di Indonesia,
yakni dapat semakin kuat di masa kini dan mendatang.
Warga
keturunan bersama banyak komunitas lain kian dapat menghilangkan—atau
setidaknya meminimalisasi— prasangka sosial-kultural dan keagamaan timbal balik
yang tidak menguntungkan. Oleh sebab itu, seluruh komunitas bangsa mesti terus
meningkatkan dan memperluas kerja sama, program, dan kegiatan, yang berkaitan
dengan upa ya mempererat tali solidaritas kebangsaan dengan menggunakan
berbagai sarana yang tersedia. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar