Rabu, 23 Mei 2012

Hubungan Muslim RI-China (2)


Hubungan Muslim RI-China (2)
Azyumardi Azra ; Direktur Sekolah Pascasarjana
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta
 SUMBER :  REPUBLIKA, 22 Mei 2012


Integrasi orang dan komunitas Cina perantauan ke dalam masyarakat Muslim nusantara mulai terganggu dengan kedatang an kolonialisme Belanda. Mereka menjadikan orang-orang Cina sebagai pialang (middlemen atau brokers) dalam perdagangan mereka dengan masyarakat pribumi.

Disrupsi dan kehancuran ekonomi masyarakat Muslim pribumi akibat praktik monopoli pasca-Belanda yang dibantu pialang Cina dalam perjalanan waktu, menumbuhkan sikap antipati dari kalangan pribumi terhadap masyarakat Cina keturunan.

Terputusnya hubungan antara nusantara dan Cina mainland sejak 1740-an sempat menimbulkan kebingungan di kalangan Cina Muslim keturunan. Sehingga muncullah kecenderungan mereka untuk menganut Islam dalam rangka asimilasi atau pembauran dengan ma sya rakat pribumi. Komunitas Muslim keturunan kembali membangun masjid mereka sendiri. Pada saat yang sama juga terjadi asi milasi kultural. Orangorang dan ke luarga terkemuka Cina menerima dan mengadopsi aspek tertentu budaya Jawa, Sunda, Minang, dan seterusnya.

Asimilasi dan upaya dakwah Islam terhadap warga keturunan kembali terganggu dengan terjadinya radikalisasi masyarakat Muslim pribumi dalam melawan Belanda. Dan di sini, warga keturunan kadang-kadang menjadi terkait dalam konflik dan perang, seperti terli hat dalam Perang Jawa, pimpinan Pangeran Diponegoro (1825-1830).

Menurut sejarah resmi Indonesia, Pangeran Diponegoro dan para pengikutnya marah karena adanya warga keturunan Cina yang diberikan hak istimewa untuk memungut pajak dan biaya toll jalan di sekitar kediaman Diponegoro. Konflik yang sering berujung pada kerusuhan anti-Cina juga terjadi dalam waktu-waktu tertentu sepanjang masa kolonialisme Belanda.

Alienasi warga keturunan dari masyarakat pribumi mencapai puncaknya pada 1854, dengan penetapan status warga Belanda (dan Eropa lainnya) pada puncak stratifikasi sosial masyarakat kolonial. Selanjutnya, warga keturunan (Cina) ditempatkan pada stratifikasi sosial kedua bersama bangsa-bangsa Timur Asia (India dan Arab).

Sedangkan masyarakat pribumi di tempatkan sebagai kelas tiga—stratifi kasi sosial terbawah. Stratifikasi sosial dan penggolongan warga Netherlands East-Indies berdasarkan kategori etnis ini kian memperkuat cultural gap di antara warga keturunan dengan masyarakat pribumi.

Sebaliknya, asosiasi kultural dan keagamaan dengan Belanda—dan sekaligus Kristianitas (Kristen Protestan dan Katolik)—semakin meningkat di kalangan masyarakat keturunan. Dalam semua proses ini, terjadilah pembentukan prasangka timbal balik di antara warga keturunan dengan masyarakat Muslim pribumi. Prasangka dan bias kultural itu juga mencakup agama yang dipeluk masing-masing komunitas tersebut.

Perkembangan sosio-kultural dan politik pasca-G30S/PKI semakin kurang menguntungkan bagi hubungan antara masyarakat pribumi Muslim dan warga keturunan. Sama seperti banyak orang komunis lain yang secara massal masuk Kristianitas karena takut dituduh “ateis”, terjadilah gelombang besar warga keturunan masuk agama Kristianitas. Perkembangan ini kian kurang menguntungkan dengan kebijakan pemerintah Orde Baru yang mengharamkan setiap dan seluruh ekspresi sosio-kultural warga keturunan.

Meski demikian, upaya mengembangkan akulturasi dan asimilasi, khususnya melalui Islam bukan tidak ada. Dalam hal ini, penting dicatat usaha yang dilakukan Haji Abdul Karim Oei Tjeng Hien (6 Juni 1905-14 Oktober 1988), tokoh Muhammadiyah, yang kemudian bersama Abdusshomad Yap Asiong (pimpinan PIT/Persatuan Islam Tionghoa) dan Kho Goan Tjin (pimpinan Persatuan Muslim Tionghoa/PMT) mendirikan organisasi Persatuan Islam Tiong hoa Indonesia (PITI) pada 14 April 1961.

Meski ada PITI, economic and socio-cultural gaps antara warga keturunan dan masyarakat Muslim pribumi sebagian besar tetap bertahan terutama, terkait dengan adanya disparitas ekonomi yang semakin tajam pada masa Orde Baru antara warga keturunan dan masyarakat lainnya. Tetapi, para pengusaha keturunan berkolaborasi dengan penguasa Orde Baru yang beragama Islam dalam berbagai sektor ekonomi.

Karena pemerintah Presiden Soeharto mengharamkan setiap pembicaraan tentang hubungan antara warga keturunan dan masyarakat pribumi dengan alasan termasuk masalah SARA, terjadilah pengendapan social resentment dengan potensi konflik dan kekerasan terhadap warga keturunan.

Hal inilah yang mengakibatkan terjadinya ledakan kekerasan (violence outburst) dari waktu ke waktu, dari masyarakat pribumi terhadap warga keturunan. Puncaknya adalah kerusuhan antiwarga keturunan Cina dalam skala besar pada hari-hari seputar jatuhnya Soeharto dari kekuasaannya pada Mei 1998.

Kini, di masa pasca-Soeharto ketika masyarakat keturunan Cina bebas mengekspresikan kekayaan sosio-kultural dan keagamaannya, hubungan antara warga keturunan dan masyarakat Muslim pribumi relatif tidak terganggu lagi. Adopsi demokrasi sejak 1999 membuka peluang munculnya politisi keturunan dalam kancah politik dan pemerintahan pusat serta daerah. Perkembangan seperti ini cukup menjanjikan bagi hubungan lebih harmonis di antara warga keturunan dengan komunitas lainnya di Indonesia, yakni dapat semakin kuat di masa kini dan mendatang.

Warga keturunan bersama banyak komunitas lain kian dapat menghilangkan—atau setidaknya meminimalisasi— prasangka sosial-kultural dan keagamaan timbal balik yang tidak menguntungkan. Oleh sebab itu, seluruh komunitas bangsa mesti terus meningkatkan dan memperluas kerja sama, program, dan kegiatan, yang berkaitan dengan upa ya mempererat tali solidaritas kebangsaan dengan menggunakan berbagai sarana yang tersedia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar