Kebangkitan
Pangan Lokal
Posman
Sibuea ; Guru Besar Jurusan Teknologi Hasil
Pertanian Unika Santo Thomas SU Medan; Direktur Center for National Food
Security Research (Tenfoser)
SUMBER : MEDIA
INDONESIA, 22 Mei 2012
Pity the nation that wears a cloth
it does not weave, eats a bread it does not harvest, and drinks a wine that
flows not from its own wine-press (Khalil
Gibran, 1933).
KEBANGKITAN
nasional, yang dirayakan setiap 20 Mei, awalnya dimaknai sebagai masa bangkitnya
semangat persatuan dan nasionalisme demi memperjuangkan kemerdekaan. Setelah
itu kebangkitan nasional lebih dimaknai sebagai era kebangkitan menuju gerbang
kemakmuran dan kesejahteraan rakyat Indonesia.
Masalahnya
sekarang, setelah 104 tahun kebangkitan nasional, apakah cita-cita itu telah
terwujud? Sekadar contoh, Indonesia, yang dikenal sebagai negara agraris,
sektor pertaniannya belum dibangkitkan sebagai gerbong yang mendorong
kesejahteraan petani. Pemerintah justru kerap membiarkan para petani tergusur
dari tanahnya, menjadi tenaga kerja di luar negeri atau berimigrasi ke kota
untuk bekerja di sektor informal, karena di desa tidak ada harapan.
Pertanyaannya,
adakah yang salah dengan pembangunan pertanian kita? Mengapa kebijakan sektor
pertanian kita tetap memiskinkan petani? Meski Indonesia telah merdeka sekitar
67 tahun, pemerintah masih gagal menyejahterakan petani. Petani kecil
termarginalisasi, digilas roda pembangunan hedonis yang kapitalistis.
Keterpurukan itu membawa konsekuensi logis, yakni ketahanan pangan nasional
semakin rapuh. Kita terjebak dalam sistem pangan impor yang amat mahal. Sekitar
Rp100 triliun-setara 7% dari APBN--dihabiskan setiap tahun untuk mengimpor
pangan.
Tidak Mampu
Kita
menghuni negeri yang dipuja subur dan makmur, tapi tidak mampu memproduksi
pangan untuk kebutuhan rakyat. Bencana kelaparan dan gizi buruk masih kerap
membayangi perjalanan hidup bangsa ini. Pasalnya, harga pangan global cenderung
naik. Lonjakan harga komoditas pangan di pasar dunia mendorong naiknya harga
bahan makanan di dalam negeri.
Pemerintah
telah sukses menggiring pola konsumsi pangan berhenti pada beras yang miskin
diversifikasi. Setiap ada bencana, bantuan pangan yang ada untuk rakyat hanya
berupa beras dan mi instan. Pemerintah pun, saat menolong warga miskin, selalu
menyediakan beras, yakni raskin, beras untuk rakyat miskin. Mengapa tidak
pernah mencoba memberi bantuan berupa pangan berbasis sumber daya lokal?
Pemerintah
Orde Baru berhasil mempromosikan beras ke seluruh pelosok Tanah Air, bukan
hanya sebagai komoditas pangan utama, melainkan juga sebagai indikator strata
sosial. Kalangan masyarakat di berbagai daerah yang tidak mengonsumsi beras
sebagai bahan makanan pokok ditenga rai sebagai kalangan terbelakang dan
miskin. Kita telah tampil menjadi bangsa yang tidak piawai mengelola diversiļ¬
kasi konsumsi pangan.
Kurang
berkembangnya teknologi pengolahan pangan lokal berbasis umbi-umbian di
Indonesia menyebabkan bangsa ini terjebak dalam konsumsi beras yang amat
tinggi. Produksi beras yang cenderung melandai tidak mampu lagi mengimbangi
laju konsumsi yang mendorong pemerintah tetap membuka keran impor beras setiap
tahun.
Kini
impor beras bak candu yang mengantarkan pelakunya acap ketagihan karena
keenakan menikmati keuntungan. Pangsa pasar beras impor amat jelas! Sekitar 95%
penduduk bergantung pada beras mulai dari ujung timur hingga ujung barat
Indonesia.
Pengagum Pasar Bebas
Bangsa
Indonesia sudah terperangkap dalam ruang permainan kaum globalis dan pengagum
pasar bebas. Gaung kebijakan revitalisasi pertanian yang sudah digulirkan
pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono tak mampu menyumbat keran impor pangan,
sebab kebijakan politik itu tidak diimplementasikan dengan sungguh-sungguh.
Muaranya,
Indonesia harus mengimpor 45% dari kebutuhan kedelai nasional, 10% kebutuhan
jagung, 15% kacang tanah, 30% gula, 25% kebutuhan daging sapi, dan 70% susu.
Bawang putih dan garam pun harus diimpor. Sementara itu, impor beras mencapai
1,2 juta ton.
Untuk
membangun ketahanan pangan yang kukuh, pangan berbasis sumber daya lokal patut
dibangkitkan sebagai pilar kadaulatan pangan. Mengembangkan pangan berbasis
sumber daya lokal berarti mengembangkan diversifikasi konsumsi pangan dan tidak
berhenti pada beras. Patut dipahami bahwa kemajuan suatu bangsa bergantung pada
kualitas sumber daya manusianya yang erat kaitannya dari berbagai jenis pangan
yang dikonsumsi. Namun, sering kali sumbersumber pangan yang ada di Indonesia
tidak dimanfaatkan secara optimal.
Sebaliknya,
perut kita-–mulai dari anak-anak, remaja, anak-anak muda, dan orang tua--sudah
dijajah produk makanan impor. Fenomena ini tentu sangat mengkhawatirkan.
Imbasnya, anak-anak justru dekat dengan produk makanan impor yang di negara
asalnya masuk kategori junk food karena efeknya buruk terhadap kesehatan.
Program
mengenalkan dan menumbuhkan kecintaan akan pangan lokal patut dimulai sejak
anak usia sekolah. Untuk itu, dua hal berikut patut dipertimbangkan untuk
dilakukan. Pertama, pemerintah patut menggalakkan pengenalan pangan lokal lewat
kantin sekolah yang menyediakan berbagai produk olahan umbi-umbian, jagung, dan
kacang-kacangan. Langkah tersebut bentuk kampanye untuk membangkitkan pangan
lokal dan sekaligus memproteksi gemburan produk makanan impor.
Kedua,
pihak sekolah harus menyusun kurikulum muatan lokal yang erat kaitannya dengan
pengembangan pangan berbasis sumber daya lokal. Sistem pembelajaran yang hendak
dilakukan ialah memperkenalkan berbagai jenis pangan lokal, yang saat ini sudah
tidak terlalu populer di kalangan anak-anak. Para guru harus mampu menjelaskan
keunggulan pangan lokal berbasis umbi-umbian.
Pengenalan
sejak dini patut dimaknai sebagai langkah awal kebangkitan pangan lokal guna
menepis bentuk penjajahan baru di bidang pangan. Seiring dengan itu, amat perlu
dikaji apakah kita mampu memosisikan produk pangan lokal itu sejajar dengan
produk pangan impor dari negara-negara maju, baik mutu maupun harganya? Produk
pangan lokal yang dikemas secara menarik menjadi salah satu faktor penting
untuk memasuki pasar global yang semakin kompetitif. Pengembangan inovatif
produk olahan pangan lokal akan lebih progresif jika dilakukan generasi muda
yang memiliki latar belakang pendidikan teknologi pangan.
Pemerintah
patut menyadari bahwa ketergantungan yang besar terhadap pangan impor dapat
mengancam kemandirian pangan. Selain mengeluarkan ongkos lebih mahal, potensi
makanan lokal menjadi terabaikan jika kebijakan pangan impor dan beras sebagai
makanan pokok tetap dipertahankan. Daerah yang bukan penghasil beras harus
menanggung biaya yang mahal jika mereka terus digiring untuk mengonsumsi beras.
Karena
itu, harus dimulai perubahan terhadap makanan pokok dari beras sebagai
komoditas strategis menjadi komoditas terdiversifikasi yang disesuaikan dengan
potensi pangan berbasis sumber daya lokal demi menguatkan kedaulatan pangan.
Kasihan, perut anak bangsa ini sudah terlalu lama dijajah pangan impor. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar