Rabu, 23 Mei 2012

Kebangkitan Pangan Lokal


Kebangkitan Pangan Lokal
Posman Sibuea ; Guru Besar Jurusan Teknologi Hasil Pertanian Unika Santo Thomas SU Medan; Direktur Center for National Food Security Research (Tenfoser)
 SUMBER :  MEDIA INDONESIA, 22 Mei 2012


Pity the nation that wears a cloth it does not weave, eats a bread it does not harvest, and drinks a wine that flows not from its own wine-press (Khalil Gibran, 1933).

KEBANGKITAN nasional, yang dirayakan setiap 20 Mei, awalnya dimaknai sebagai masa bangkitnya semangat persatuan dan nasionalisme demi memperjuangkan kemerdekaan. Setelah itu kebangkitan nasional lebih dimaknai sebagai era kebangkitan menuju gerbang kemakmuran dan kesejahteraan rakyat Indonesia.

Masalahnya sekarang, setelah 104 tahun kebangkitan nasional, apakah cita-cita itu telah terwujud? Sekadar contoh, Indonesia, yang dikenal sebagai negara agraris, sektor pertaniannya belum dibangkitkan sebagai gerbong yang mendorong kesejahteraan petani. Pemerintah justru kerap membiarkan para petani tergusur dari tanahnya, menjadi tenaga kerja di luar negeri atau berimigrasi ke kota untuk bekerja di sektor informal, karena di desa tidak ada harapan.

Pertanyaannya, adakah yang salah dengan pembangunan pertanian kita? Mengapa kebijakan sektor pertanian kita tetap memiskinkan petani? Meski Indonesia telah merdeka sekitar 67 tahun, pemerintah masih gagal menyejahterakan petani. Petani kecil termarginalisasi, digilas roda pembangunan hedonis yang kapitalistis. Keterpurukan itu membawa konsekuensi logis, yakni ketahanan pangan nasional semakin rapuh. Kita terjebak dalam sistem pangan impor yang amat mahal. Sekitar Rp100 triliun-­setara 7% dari APBN--dihabiskan setiap tahun untuk mengimpor pangan.

Tidak Mampu

Kita menghuni negeri yang dipuja subur dan makmur, tapi tidak mampu memproduksi pangan untuk kebutuhan rakyat. Bencana kelaparan dan gizi buruk masih kerap membayangi perjalanan hidup bangsa ini. Pasalnya, harga pangan global cenderung naik. Lonjakan harga komoditas pangan di pasar dunia mendorong naiknya harga bahan makanan di dalam negeri.

Pemerintah telah sukses menggiring pola konsumsi pangan berhenti pada beras yang miskin diversifikasi. Setiap ada bencana, bantuan pangan yang ada untuk rakyat hanya berupa beras dan mi instan. Pemerintah pun, saat menolong warga miskin, selalu menyediakan beras, yakni raskin, beras untuk rakyat miskin. Mengapa tidak pernah mencoba memberi bantuan berupa pangan berbasis sumber daya lokal?

Pemerintah Orde Baru berhasil mempromosikan beras ke seluruh pelosok Tanah Air, bukan hanya sebagai komoditas pangan utama, melainkan juga sebagai indikator strata sosial. Kalangan masyarakat di berbagai daerah yang tidak mengonsumsi beras sebagai bahan makanan pokok ditenga rai sebagai kalangan terbelakang dan miskin. Kita telah tampil menjadi bangsa yang tidak piawai mengelola diversiļ¬ kasi konsumsi pangan.

Kurang berkembangnya teknologi pengolahan pangan lokal berbasis umbi-umbian di Indonesia menyebabkan bangsa ini terjebak dalam konsumsi beras yang amat tinggi. Produksi beras yang cenderung melandai tidak mampu lagi mengimbangi laju konsumsi yang mendorong pemerintah tetap membuka keran impor beras setiap tahun.

Kini impor beras bak candu yang mengantarkan pelakunya acap ketagihan karena keenakan menikmati keuntungan. Pangsa pasar beras impor amat jelas! Sekitar 95% penduduk bergantung pada beras mulai dari ujung timur hingga ujung barat Indonesia.

Pengagum Pasar Bebas

Bangsa Indonesia sudah terperangkap dalam ruang permainan kaum globalis dan pengagum pasar bebas. Gaung kebijakan revitalisasi pertanian yang sudah digulirkan pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono tak mampu menyumbat keran impor pangan, sebab kebijakan politik itu tidak diimplementasikan dengan sungguh-sungguh.
Muaranya, Indonesia harus mengimpor 45% dari kebutuhan kedelai nasional, 10% kebutuhan jagung, 15% kacang tanah, 30% gula, 25% kebutuhan daging sapi, dan 70% susu. Bawang putih dan garam pun harus diimpor. Sementara itu, impor beras mencapai 1,2 juta ton.

Untuk membangun ketahanan pangan yang kukuh, pangan berbasis sumber daya lokal patut dibangkitkan sebagai pilar kadaulatan pangan. Mengembangkan pangan berbasis sumber daya lokal berarti mengembangkan diversifikasi konsumsi pangan dan tidak berhenti pada beras. Patut dipahami bahwa kemajuan suatu bangsa bergantung pada kualitas sumber daya manusianya yang erat kaitannya dari berbagai jenis pangan yang dikonsumsi. Namun, sering kali sumbersumber pangan yang ada di Indonesia tidak dimanfaatkan secara optimal.

Sebaliknya, perut kita-–mulai dari anak-anak, remaja, anak-anak muda, dan orang tua--sudah dijajah produk makanan impor. Fenomena ini tentu sangat mengkhawatirkan. Imbasnya, anak-anak justru dekat dengan produk makanan impor yang di negara asalnya masuk kategori junk food karena efeknya buruk terhadap kesehatan.

Program mengenalkan dan menumbuhkan kecintaan akan pangan lokal patut dimulai sejak anak usia sekolah. Untuk itu, dua hal berikut patut dipertimbangkan untuk dilakukan. Pertama, pemerintah patut menggalakkan pengenalan pangan lokal lewat kantin sekolah yang menyediakan berbagai produk olahan umbi-umbian, jagung, dan kacang-kacangan. Langkah tersebut bentuk kampanye untuk membangkitkan pangan lokal dan sekaligus memproteksi gemburan produk makanan impor.

Kedua, pihak sekolah harus menyusun kurikulum muatan lokal yang erat kaitannya dengan pengembangan pangan berbasis sumber daya lokal. Sistem pembelajaran yang hendak dilakukan ialah memperkenalkan berbagai jenis pangan lokal, yang saat ini sudah tidak terlalu populer di kalangan anak-anak. Para guru harus mampu menjelaskan keunggulan pangan lokal berbasis umbi-umbian.

Pengenalan sejak dini patut dimaknai sebagai langkah awal kebangkitan pangan lokal guna menepis bentuk penjajahan baru di bidang pangan. Seiring dengan itu, amat perlu dikaji apakah kita mampu memosisikan produk pangan lokal itu sejajar dengan produk pangan impor dari negara-negara maju, baik mutu maupun harganya? Produk pangan lokal yang dikemas secara menarik menjadi salah satu faktor penting untuk memasuki pasar global yang semakin kompetitif. Pengembangan inovatif produk olahan pangan lokal akan lebih progresif jika dilakukan generasi muda yang memiliki latar belakang pendidikan teknologi pangan.

Pemerintah patut menyadari bahwa ketergantungan yang besar terhadap pangan impor dapat mengancam kemandirian pangan. Selain mengeluarkan ongkos lebih mahal, potensi makanan lokal menjadi terabaikan jika kebijakan pangan impor dan beras sebagai makanan pokok tetap dipertahankan. Daerah yang bukan penghasil beras harus menanggung biaya yang mahal jika mereka terus digiring untuk mengonsumsi beras.

Karena itu, harus dimulai perubahan terhadap makanan pokok dari beras sebagai komoditas strategis menjadi komoditas terdiversifikasi yang disesuaikan dengan potensi pangan berbasis sumber daya lokal demi menguatkan kedaulatan pangan. Kasihan, perut anak bangsa ini sudah terlalu lama dijajah pangan impor.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar