Keadilan Restoratif dalam Hukum Pidana
Romli Atmasasmita, Guru Besar Emeritus, Anggota Dewan Pakar
Partai NasDem
SUMBER
: SINDO, 01 Mei 2012
Pada
25 April 2012 Mahkamah Agung (MA) RI telah menyelenggarakan seminar nasional
dengan topik seperti judul di atas. Saya memberikan apresiasi yang tinggi
terhadap MA.
Yang
saya tangkap dari topik seminar tersebut, MA sebagai puncak kekuasaan kehakiman
yang menjadi penentu arah politik hukum pidana di Indonesia sekarang dan pada
masa mendatang berkeinginan melakukan perubahan pola pikir yang telah berusia
65 tahun di Indonesia yaitu dari keadilan retributif ke arah keadilan
restoratif. Jika benar dugaan saya,MA di bawah pimpinan Hatta Ali telah
melakukan lompatan besar dan jauh ke depan dalam meniti arah perkembangan
bangsa di dalam pembangunan hukum dan penegakan hukum.
Persoalan yang harus dikaji lebih jauh dan secara serius perlu ditindaklanjuti oleh MA adalah bukan saatnya hanya berwacana, melainkan juga harus dilakukan persiapanpersiapan. Antara lain dengan: Pertama, melakukan penelitian hukum komprehensif dan komparatif mengenai sejauh manakah konsep keadilan restoratif dapat diterima oleh masyarakat pencari keadilan dan para pemangku kepentingan di Indonesia.
Kedua, sampai sejauh manakah keadilan retributif masih memperoleh akseptabilitas dan kepercayaan sosial yang masih tinggi. Telah ada kasus-kasus pidana yang telah diselesaikan melalui cara “keadilan restoratif” oleh beberapa pengadilan negeri. Dalam beberapa UU ciri keadilan restoratif telah diakomodasi dalam beberapa ketentuannya seperti dalam UU Pengadilan Anak.Namun, pada hampir sebagian besar UU Pidana Khusus atau UU Pidana Administratif masih menggunakan keadilan retributif dibandingkan dengan keadilan restoratif.
Relevansi
Kondisi ini pun masih harus dipertanyakan, apakah karakter keadilan retributif dalam perkembangan masyarakat modern masih tetap relevan dianut secara total pada setiap keadaan dan setiap kasus pidana yang terjadi dalam masyarakat. Satu-satunya jawaban adalah melalui penelitian yang sa-ya usulkan juga di dalam seminar nasional tersebut.
Kegalauan saya dalam mengamati perkembangan pembentukan perundang- undangan pidana terlebih merenungkan praktik penegakan hukum pidana adalah: Pertama, memudarnya dan bahkan menghilangnya nilai-nilai kesusilaan Pancasila dalam penyusunan suatu naskah RUU dan dikedepankannya kepentingan pemangku kepentingan sematamata.
Kedua, proses pembentukan perundang-undangan saat ini lebih didasarkan pada prinsip ”tujuan menghalalkan cara” daripada prinsip “bagaimana menghalalkan tujuan dengan mempertimbangkan asas kepastian hukum, kemanfaatan, dan keadilan bangsa Indonesia”. Ketiga, rentannya pembentuk UU terhadap tekanan dan pengaruh internasional yang didominasi megakorporasi nasional dan transnasional.
Kegalauan saya terhadap pembentukan UU yang sangat menusuk perasaan kebangsaan adalah ketentuan UU RI Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian khusus definisi tentang “tindakan keimigrasian” yang didefinisikan: ”adalah sanksi administratif yang ditetapkan oleh pejabat imigrasi terhadap orang asing di luar pengadilan”. Definisi tersebut ternyata terkait ketentuan Pasal 89 tentang tindak pidana perdagangan orang (human trafficking) dan tindak pidana penyelundupan orang (peoples smuggling).
Bisa dibayangkan ketika terjadi dua peristiwa pidana yang melibatkan orang asing dan orang Indonesia, yang pasti dituntut dan diadili dan dijatuhi hukuman adalah orang Indonesia itu daripada orang asing yang bersangkutan. Sedangkan kedua-duanya berada di dalam wilayah kedaulatan hukum RI! Selain keganjilan tersebut, ketentuan tersebut bertentangan secara diametral terhadap ketentuan Konvensi TOC (2000) yang telah diratifikasi Indonesia dan UU RI tentang Larangan Perdagangan Manusia.
Tidak ada saya temukan UU di berbagai negara yang lebih “melindungi” orang asing dibandingkan dengan “warga negaranya” dan satu-satunya di Indonesia. Ketentuan semacam ini masih banyak lagi di dalam UU yang bersangkut paut dengan eksplorasi dan eksploitasi hasil sumber daya alam.
Kegalauan saya dalam praktik penegakan hukum adalah pola pikir keadilan retributif telah terbukti melekat pada hampir sebagian penegak hukum, termasuk para hakim di Indonesia yaitu bahwa prinsip “ultimum remedium” dan kluster “lex specialis systematic” telah dikesampingkan terhadap semua kasus pidana tanpa kecuali.
Prinsip Fundamental
Dalam praktik dilupakan dua prinsip fundamental hukum pidana (J Remmelink) yaitu, pertama, prinsip proporsional. Cara yang digunakan harus seimbang dengan tujuannya. Contohnya dalam perkara korupsi, tujuan menyelamatkan keuangan negara seharusnya diimbangi dengan sanksi pidana denda yang sangat tinggi ketimbang hukuman penjara yang tinggi, tetapi tidak dapat menyelamatkan keuangan negara.
Prinsip kedua, prinsip subsidiaritas. Baik pembentukan UU maupun penegakan hukum harus dicermati, risiko terkecil dan tidak kontraproduktif terhadap maksud dan tujuan semula dari pembentukan dan penegakannya. Dalam pembentukan undang-undang dan penegakan hukum adalah hukum bukan sumber sengketa dan solusi dari sengketa, melainkan hukum merupakan sumber perdamaian dan sekaligus solusi atas pemulihan kerugian korban oleh kesalahan pelaku.
Tujuan menemukan kebenaran material dari penyelesaian perkara pidana melalui penjatuhan hukuman bukanlah satu-satunya solusi yang bijak melainkan juga dapat diwujudkan melalui mediasi nonpenal dan penal. ●
Persoalan yang harus dikaji lebih jauh dan secara serius perlu ditindaklanjuti oleh MA adalah bukan saatnya hanya berwacana, melainkan juga harus dilakukan persiapanpersiapan. Antara lain dengan: Pertama, melakukan penelitian hukum komprehensif dan komparatif mengenai sejauh manakah konsep keadilan restoratif dapat diterima oleh masyarakat pencari keadilan dan para pemangku kepentingan di Indonesia.
Kedua, sampai sejauh manakah keadilan retributif masih memperoleh akseptabilitas dan kepercayaan sosial yang masih tinggi. Telah ada kasus-kasus pidana yang telah diselesaikan melalui cara “keadilan restoratif” oleh beberapa pengadilan negeri. Dalam beberapa UU ciri keadilan restoratif telah diakomodasi dalam beberapa ketentuannya seperti dalam UU Pengadilan Anak.Namun, pada hampir sebagian besar UU Pidana Khusus atau UU Pidana Administratif masih menggunakan keadilan retributif dibandingkan dengan keadilan restoratif.
Relevansi
Kondisi ini pun masih harus dipertanyakan, apakah karakter keadilan retributif dalam perkembangan masyarakat modern masih tetap relevan dianut secara total pada setiap keadaan dan setiap kasus pidana yang terjadi dalam masyarakat. Satu-satunya jawaban adalah melalui penelitian yang sa-ya usulkan juga di dalam seminar nasional tersebut.
Kegalauan saya dalam mengamati perkembangan pembentukan perundang- undangan pidana terlebih merenungkan praktik penegakan hukum pidana adalah: Pertama, memudarnya dan bahkan menghilangnya nilai-nilai kesusilaan Pancasila dalam penyusunan suatu naskah RUU dan dikedepankannya kepentingan pemangku kepentingan sematamata.
Kedua, proses pembentukan perundang-undangan saat ini lebih didasarkan pada prinsip ”tujuan menghalalkan cara” daripada prinsip “bagaimana menghalalkan tujuan dengan mempertimbangkan asas kepastian hukum, kemanfaatan, dan keadilan bangsa Indonesia”. Ketiga, rentannya pembentuk UU terhadap tekanan dan pengaruh internasional yang didominasi megakorporasi nasional dan transnasional.
Kegalauan saya terhadap pembentukan UU yang sangat menusuk perasaan kebangsaan adalah ketentuan UU RI Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian khusus definisi tentang “tindakan keimigrasian” yang didefinisikan: ”adalah sanksi administratif yang ditetapkan oleh pejabat imigrasi terhadap orang asing di luar pengadilan”. Definisi tersebut ternyata terkait ketentuan Pasal 89 tentang tindak pidana perdagangan orang (human trafficking) dan tindak pidana penyelundupan orang (peoples smuggling).
Bisa dibayangkan ketika terjadi dua peristiwa pidana yang melibatkan orang asing dan orang Indonesia, yang pasti dituntut dan diadili dan dijatuhi hukuman adalah orang Indonesia itu daripada orang asing yang bersangkutan. Sedangkan kedua-duanya berada di dalam wilayah kedaulatan hukum RI! Selain keganjilan tersebut, ketentuan tersebut bertentangan secara diametral terhadap ketentuan Konvensi TOC (2000) yang telah diratifikasi Indonesia dan UU RI tentang Larangan Perdagangan Manusia.
Tidak ada saya temukan UU di berbagai negara yang lebih “melindungi” orang asing dibandingkan dengan “warga negaranya” dan satu-satunya di Indonesia. Ketentuan semacam ini masih banyak lagi di dalam UU yang bersangkut paut dengan eksplorasi dan eksploitasi hasil sumber daya alam.
Kegalauan saya dalam praktik penegakan hukum adalah pola pikir keadilan retributif telah terbukti melekat pada hampir sebagian penegak hukum, termasuk para hakim di Indonesia yaitu bahwa prinsip “ultimum remedium” dan kluster “lex specialis systematic” telah dikesampingkan terhadap semua kasus pidana tanpa kecuali.
Prinsip Fundamental
Dalam praktik dilupakan dua prinsip fundamental hukum pidana (J Remmelink) yaitu, pertama, prinsip proporsional. Cara yang digunakan harus seimbang dengan tujuannya. Contohnya dalam perkara korupsi, tujuan menyelamatkan keuangan negara seharusnya diimbangi dengan sanksi pidana denda yang sangat tinggi ketimbang hukuman penjara yang tinggi, tetapi tidak dapat menyelamatkan keuangan negara.
Prinsip kedua, prinsip subsidiaritas. Baik pembentukan UU maupun penegakan hukum harus dicermati, risiko terkecil dan tidak kontraproduktif terhadap maksud dan tujuan semula dari pembentukan dan penegakannya. Dalam pembentukan undang-undang dan penegakan hukum adalah hukum bukan sumber sengketa dan solusi dari sengketa, melainkan hukum merupakan sumber perdamaian dan sekaligus solusi atas pemulihan kerugian korban oleh kesalahan pelaku.
Tujuan menemukan kebenaran material dari penyelesaian perkara pidana melalui penjatuhan hukuman bukanlah satu-satunya solusi yang bijak melainkan juga dapat diwujudkan melalui mediasi nonpenal dan penal. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar