Selasa, 01 Mei 2012

Pilpres 2014 (Tidak) di Depan Mata


Pilpres 2014 (Tidak) di Depan Mata
Denny Indrayana, Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia,
Guru Besar Hukum Tata Negara UGM
SUMBER : SINDO, 01 Mei 2012


Waktu adalah relativitas. Jika kita menunggunya, waktu menjadi serasa lambat, suasana menjadi sangat membosankan. Jika kita sedang menikmatinya, waktu berlalu dengan sangat cepat, sekelebat kilat tak terbayangkan. 

Menunggu putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait konstitusionalitas aturan terkait wakil menteri misalnya bisa terasa lambat bagi yang menunggu. Berita terakhir, MK akan memutuskan pada Mei ini. Yang pasti bagi kami, para wamen, kami sepakat untuk terus bekerja saja memberikan darma bakti yang terbaik bagi Ibu Pertiwi. Kami bekerja tanpa menunggu apa bunyi putusan MK, biarlah itu menjadi wilayah kerja dan keputusan yang akan dibuat oleh sembilan hakim konstitusi yang mulia.

Pada hal lain, menunggu 2014 menjadi berbeda-beda perasaan cepat atau lambatnya, tergantung apa kepentingan dan urusan masing-masing pihak melihatnya. Pada 2014 pastilah tahun keramat dalam dunia politik di Tanah Air. Tentulah terkait dengan agenda pemilihan presiden yang akan terjadi pada tahun itu. Bagi yang kepentingannya lebih pada pemenangan partai dalam pemilu legislatif, percepatan penentuan calon presiden menjadi tidak prioritas. Sebaliknya, bagi yang berkepentingan untuk memenangkan Pilpres 2014, penentuan capres lebih awal berarti persiapan lebih cepat untuk pemenangan pemilihan presiden.

Meskipun, cepat atau lambatnya penentuan kandidat calon presiden sebenarnya tidak berpengaruh terlalu signifikan dengan kemungkinan menangnya seseorang dalam pemilihan presiden. Pada 2004 pasangan SBY-JK baru dideklarasikan beberapa saat menjelang pencoblosan dan akhirnya tetap bisa memenangkan Piplres 2004. Dari segi waktu, Pilpres 2014 masih berjarak dua tahun dari sekarang. Namun dari sisi persiapan, ada saja yang merasa 2014 sudah di depan mata.

Maka itu, nyaris seluruh agenda bernegara kita menjadi bercita rasa 2014. Termasuk yang baru saja berlalu soal kebijakan nasional terkait bahan bakar minyak (BBM). Jika saja cita rasa 2014 tidak terlalu mewarnai, pemikiran rasional mayoritas fraksi di DPR sebenarnya menyetujui subsidi harga BBM dikurangi dan dananya digunakan untuk keperluan yang lebih bermanfaat seperti pendidikan, kesehatan, dan pembangunan infrastruktur.

Di Amerika Serikat (AS), untuk menjadi calon presiden dibuka jalur melalui sistem kepartaian dan independen (nonpartai). Sejarah AS mencatat bahwa mekanisme pemilihan kandidat calon presiden terus berubah. Fase pertama (1800 – 1824) capres ditentukan oleh kaukus Kongres. Sedangkan sistem penominasian capres lewat konvensi pertama kali dilakukan pada 1830, oleh Partai Anti-Mason, diikuti Partai Republik Nasional pada 1931 dan Partai Demokrat pada 1932.

Konvensi adalah pemilihan calon presiden dari masing-masing partai di level pertemuan nasional yang dilakukan delegasi dari masing-masing negara bagian. Konvensi akhirnya menjadi semacam mekanisme baku pemilihan kandidat calon presiden, setelah AS pertama kali memilih presiden pada 1789, dan terakhir pada 2008, atau 56 pemilihan presiden, dan terakhir menghasilkan Barack Obama sebagai presiden ke-44 bagi AS.

Sejarah panjang pemilihan presiden AS yang sudah berlangsung 223 tahun lebih tentu saja tidak dapat dibandingkan dengan sejarah pemilihan presiden langsung di Tanah Air yang baru berumur delapan tahun. Namun, kita harus makin menjadikan agenda politik pemilihan presiden sebagai agenda rutin yang berjalan biasa saja. Bahwasanya pemilihan presiden adalah agenda politik yang penting, itu tidak mungkin dibantahkan.

Tetapi, menggantungkan semua agenda politik kepada pemilihan presiden semata tentu menjadi tidak sehat. Terlalu banyak agenda kenegaraan yang lain, yang harus terus berjalan, tanpa harus digantungkan semata-mata pada pemilihan presiden. Itulah salah satu inti pesan Presiden SBY ketika memberikan sambutan dalam Musyawarah Perencanaan Pembangunan Nasional (Musrenbangnas) pekan lalu.

Presiden SBY memerintahkan kepala daerah yang telah terpilih dan dilantik untuk berhenti berkampanye dan mulai bekerja. Masa kampanye yang penuh dengan janji telah berakhir dan harus berganti dengan masa bekerja untuk mewujudkan janji-janji tersebut. Bagi Presiden SBY, dan kami yang membantu beliau, masa yang tersisa hingga 2014 adalah masa bekerja. Aturan yang membatasi maksimal dua kali periode kepresidenan membawa berkah untuk lebih berkonsentrasi dengan kerja nyata dan meninggalkan kerja politik.

Saya meyakini Presiden SBY tentulah memikirkan bagaimana sebaiknya ujung jalan Pilpres 2014. Namun, beliau tidak ingin menghabiskan energinya hanya pada agenda politik tersebut. Bagi Presiden, prioritasnya lebih pada meninggalkan warisan prestasi yang dapat bermanfaat bagi rakyat Indonesia. Suatu hal yang tidak mudah karena di era demokrasi saat ini ekspektasi publik selalu berada jauh di depan realisasi.

Tetapi, sebagai bagian untuk tetap menjaga keberlanjutan kerja, siapa yang menjadi presiden ke depan tentu tetap penting bagi Presiden SBY. Hanya, momen untuk Pilpres 2014 menjadi fokus perhatian tetap ada saatnya.Tentang memutuskan pada saat yang tepat itu, Presiden pernah mengatakan pentingnya momentum suatu keputusan bagi seorang pemimpin. Yang tak terhindarkan, waktu untuk terlibat dengan Pilpres 2014 pasti telah dimulai.

Para peminat calon presiden beberapa sudah bertemu dan menyampaikan berbagai rencananya dengan Presiden SBY. Rata-rata menghormati dan menganggap ”restu” dari Presiden SBY tetap penting. Dengan kenyataan demikian, dua tahun yang tersisa menjadi tahun bekerja yang penuh tantangan. Agenda politik Pilpres 2014 akan terus mewarnai dan menjadi cita rasa utama penentu arah kebijakan publik.

Semua calon presiden seharusnya menyadari bahwa pemenang Pilpres 2014 justru ditentukan oleh pilihan-pilihan kebijakan dahulu, sekarang, dan menjelang 2014. Jika kebijakan- kebijakan publik terus diambil dengan kepentingan politik jangka pendek 2014, calon presiden yang mendukungnya justru tidak akan menjadi negarawan dan karenanya tidak layak dipilih menjadi presiden.

Dalam masa dua tahun menjelang 2014 inilah, kita harus dengan jeli melihat siapakah yang hanya melakukan kerja-kerja politik penggalangan Pilpres 2014 dan manakah yang betul- betul bekerja untuk rakyat. Yang pasti, siapa menjadi presiden 2014 tidaklah sama dengan waktu yang relatif. Siapa presiden Indonesia 2014 adalah fakta sejarah, tanpa relativitas.

Kita sendiri harus berikhtiar dan memastikan bahwa presiden 2014 adalah figur yang lebih ikhlas bekerja untuk Indonesia yang lebih baik. Hanya kepada sosok demikianlah patut kita sematkan lencana negarawan, lencana presiden periode 2014. Doa and do the best. Keep on fighting for the better Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar