Jokowi dan Kebo
Ijo
Mahmudi Asyari ; Peneliti
dari ICIS Jakarta
SUMBER : SUARA
MERDEKA, 15 Mei 2012
JOKOWI yang berpasangan dengan Basuki Tjahaja
Purnama (Ahok) sudah mengantongi nomor urut 3 dari KPU untuk berkampanye di DKI
Jakarta pada 24 Juni-7 Juli mendatang (SM, 12/05/12). Kiprahnya memang
fenomenal, dipuncaki mencuatnya Esemka, mobil rakitan anak SMK yang pada
awalnya difasilitasi Bengkel Kiat Motor. Dia pun mendapat pujian atas
keberaniannya menjadi brand ambassador mobil tersebut.
Bahkan ketika Gubernur Bibit Waluyo tak
sepaham de-ngan kiprahnya itu, sejumlah elemen masyarakat membelanya.
Barangkali itulah yang menjadikannya seperti terlena ketika PDIP meminang
menjadi salah satu jago dalam pilgub di Ibu Kota. Berbekal heroisme Esemka dan
pujian masyarakat, Jokowi seperti mengunci diri bahwa ia hanya mau dicalonkan
menjadi gubernur.
Meskipun ada tarik ulur di internal PDIP,
sebagaimana pernyataan Taufik Kiemas bahwa partai akan memasangkan dengan
Foke, faktanya Jokowi ditetapkan sebagai cagub partai banteng ber-pasangan
dengan Ahok, yang sebelumnya dari Golkar. Akhirnya, Jokowi di-duetkan dengan
Ahok, yang secara kilat menjadi kader Gerinda.
Saya mendukung Jokowi sehubungan kiprahnya
atas mobil Esemka. Namun terkait kepercayaan dirinya maju di Jakarta, saya
teringat kisah Douglas McArthur, jenderal bintang lima, yang sehabis Perang
Dunia II dipuji sela-ngit namun tak mendapat tempat ketika mencalonkan sebagai
presiden Amerika Serikat. Penyebabnya ia mabuk pujian kemudian mengenyampingkan
fenomena politik yang dalam keadaan tertentu membuat pujian jadi alat untuk
menyingkirkan.
Itulah yang terjadi pada Jokowi, pujian
seperti membuatnya lupa dan tak sepenuhnya mencermati fenomena politik di balik
penggiringannya ke Ibu Kota. Istilah pengasingan itu mengingat siapa kelak yang
dicalonkan PDIP untuk Jateng-1, sepertinya masih condong ke Bibit Waluyo.
Seandainya tidak terlalu miring ke Bibit, 50 persennya lari ke Rustriningsih,
yang secara politik juga bisa dikatakan tercela ketika teperdaya oleh angin
surga Nasdem.
Alat
Menyingkirkan
Jokowi pernah menyatakan tak tertarik dengan
tantangan menjadi Jateng-1, seiring masih kuatnya suara PDIP untuk kembali
mendukung Bibit. Ketidaktertarikan itu bisa jadi lantaran pembacaannya atas
fenomena itu, atau bisa juga modal pujian membuatnya merasa perlu mencari
tantangan lebih besar di Jakarta.
Saya berpendapat peluangnya di Ibu Kota tidak
besar mengingat ia berasal dari daerah yang luas wilayahnya relatif kecil.
Peluangnya makin diperkecil ketika memilih Ahok yang secara ekonomi kuat, namun
lemah dari segi entitas keagamaan dan etnis. Saya tidak diskriminatif apalagi
rasis, namun fakta politik menunjukkan bahwa mayoritas entitas keagamaan dan
etnis sangat menentukan pada era reformasi.
Lihatlah realitas dari Kota Singkawang
Kalimantan Barat, yang dihuni etnis Melayu. Karena di kota itu etnis Tionghoa
menjadi mayoritas, warga menjatuhkan pilihan pada calon kepala daerah yang
berlatar belakang etnis Tionghoa. Hal ini berbeda bila tujuan Pilgub DKI 2012
itu untuk pendidikan demokrasi, dan hal itu justru sangat baik. Tapi adalah
orang mau mencalonkan diri sebagai pejabat politik sekadar untuk memberikan
pendidikan politik?
Seorang teman yang lagi menyelesaikan
disertasi sastra gending mengatakan Jokowi seperti Kebo Ijo yang ke sana kemari
bangga memamerkan keris pinjaman dari Ken Arok. Padahal keris yang membuatnya
merasa gagah itu hanya menggiringnya menjadi tumbal. Begitulah Jokowi, lanjut
kawan saya itu, yang merasa sudah terkenal dengan Esemka, ternyata itu menjadi
alat oleh sementara pihak guna menyingkirkan dari bursa Jateng.
Modusnya, mendalihkan pada keberhasilannya di
Solo sehingga layak membenahi Ibu Kota. Semoga ia bisa memenangi Pilgub DKI
Jakarta pada 11 Juli mendatang. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar