Rabu, 16 Mei 2012

Etika Tanggungjawab Kebebasan


Etika Tanggungjawab Kebebasan
Abu Rokhmad ;  Dosen IAIN Walisongo Semarang
SUMBER :  SUARA MERDEKA, 15 Mei 2012


"Kebebasan berpendapat Manji menuai kritik dan penolakan karena ia mengabaikan filosofi di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung"

KEHADIRAN Irshad Manji ke Indonesia awal Mei ini, menimbulkan pro dan kontra di masyarakat. Pegiat liberalisme menyambut baik pikirannya, baik dalam buku The Trouble with Islam Today maupun edisi terbarunya, Allah, Liberty, and Love. Buku pertama berisi kritik terhadap umat Islam supaya mereka melakukan ijtihad menjawab tantangan zaman. Buku keduanya memuat gagasan untuk melegalkan praktik lesbianisme atau homoseksualitas. Gagasan inilah yang memantik reaksi negatif di masyarakat.

Bedah buku terbarunya di Salihara Jakarta dibubarkan paksa oleh ormas. Diskusi yang akan diadakan di UGM Yogyakarta tak jadi berlangsung karena rektorat tidak mengizinkan. Sekalipun demikian, tak semua acara yang dihadiri Manji batal digelar. Di STAIN Salatiga, dia dapat berdiskusi secara terbatas dengan suasana aman dan nyaman.

Kasus yang menimpa Manji hendaknya dibaca dari perspektif utuh. Pembubaran diskusi dapat dilihat sebagai pelanggaran kebebasan akademik. Di sisi lain, kebebasan berpendapat mesti dibarengi dengan etika dan tanggung jawab.

Tidak banyak orang kenal dengan Manji. Kedatangannya yang pertama ke Indonesia tidak menimbulkan kegaduhan karena gagasan dalam buku pertamanya, The Trouble with Islam Today sudah biasa terdengar. Kedatangan keduanya memantik emosi karena ia tidak sekadar menjual pikiran tapi juga perilaku dan budaya lewat buku Allah, Liberty, and Love.

Profil dan pemikiran Manji dianggap berbahaya bagi sebagian masyarakat. Konon, ia muslimah taat namun orientasi seksualnya tidak wajar. ’’Islam agama saya, lesbian itu kebahagiaan saya,’’ begitu katanya. Ia seorang lesbian dan memperjuangkan hak-hak kaumnya. Salah satu agendanya adalah mendorong agar negara menjamin dan mengesahkan perkawinan sejenis.

Tanggung Jawab Sosial

Apakah penolakan itu merupakan upaya memberangus kerja intelektual? Belum tentu. Manji boleh bicara bebas di tempat yang audiensnya memuji pikirannya. Lewat buku dan media apa dan di mana pun, asal masyarakat sekitar setuju dengan pemikirannya, dia bebas mengemukakan pendapat.

Tapi ketika ditolak berbicara, ia pun harus paham jalan pikiran penolakan itu.
Bahkan ia harus menghormati bila ditolak secara paksa sekalipun karena hal itu bagian dari negosiasi kepentingan. Dalam konteks itulah kebebasan harus diindahkan. Inilah wilayah etika dan semua ilmuwan harus sadar bahwa dirinya memiliki tanggung jawab sosial untuk menjaga harmonisasi di masyarakat, tanpa kehilangan nalar kritisnya.

Ilmuwan bukanlah nabi yang terbebas dari kesalahan (ma’shum). Ia tetaplah manusia dengan kelebihan dan kekurangannya. Dalam satu hal, pandangannya mungkin sangat presisi, namun dalam kasus lain bisa jadi ada kesalahan. Apalagi kebenaran dalam ilmu sosial sangat relatif sifatnya. Karena itu, setiap ilmuwan hendaknya bersikap rendah hati dan tak merasa paling benar.

Pada sisi lain, seorang ilmuwan ketika melemparkan gagasan ke publik harus disertai dengan tanggung jawab. lmuwan bekerja tidak semata-mata untuk ilmu (science for science) tetapi juga untuk kebahagian masyarakat (science for human being). Ilmuwan harus hati-hati berbahasa dan memilih media yang tepat untuk menyampaikan gagasannya. Jika hal itu sudah dilakukan, ia setidaknya sudah mengembangkan kebebasan akademik secara bertanggung jawab.     

Kebebasan berpendapat Manji menuai kritik dan penolakan karena ia mengabaikan filosofi di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung. Kebebasan itu harus dimaknai bukan tanpa batas yang boleh melanggar nilai hukum, sosial, dan agama. Manji adalah selembar pelajaran penting bahwa kebebasan intelektual pada dasarnya tak boleh berlangsung secara anarkis karena harus tetap menjunjung tinggi hukum dan etika.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar