Etika
Tanggungjawab Kebebasan
Abu Rokhmad ; Dosen
IAIN Walisongo Semarang
SUMBER : SUARA
MERDEKA, 15 Mei 2012
"Kebebasan
berpendapat Manji menuai kritik dan penolakan karena ia mengabaikan filosofi di
mana bumi dipijak di situ langit dijunjung"
KEHADIRAN Irshad Manji ke Indonesia awal Mei
ini, menimbulkan pro dan kontra di masyarakat. Pegiat liberalisme menyambut
baik pikirannya, baik dalam buku The
Trouble with Islam Today maupun edisi terbarunya, Allah, Liberty, and Love. Buku pertama berisi kritik terhadap
umat Islam supaya mereka melakukan ijtihad menjawab tantangan zaman. Buku
keduanya memuat gagasan untuk melegalkan praktik lesbianisme atau
homoseksualitas. Gagasan inilah yang memantik reaksi negatif di masyarakat.
Bedah buku terbarunya di Salihara Jakarta
dibubarkan paksa oleh ormas. Diskusi yang akan diadakan di UGM Yogyakarta tak
jadi berlangsung karena rektorat tidak mengizinkan. Sekalipun demikian, tak
semua acara yang dihadiri Manji batal digelar. Di STAIN Salatiga, dia dapat
berdiskusi secara terbatas dengan suasana aman dan nyaman.
Kasus yang menimpa Manji hendaknya dibaca
dari perspektif utuh. Pembubaran diskusi dapat dilihat sebagai pelanggaran
kebebasan akademik. Di sisi lain, kebebasan berpendapat mesti dibarengi dengan
etika dan tanggung jawab.
Tidak banyak orang kenal dengan Manji.
Kedatangannya yang pertama ke Indonesia tidak menimbulkan kegaduhan karena
gagasan dalam buku pertamanya, The
Trouble with Islam Today sudah biasa terdengar. Kedatangan keduanya
memantik emosi karena ia tidak sekadar menjual pikiran tapi juga perilaku dan
budaya lewat buku Allah, Liberty, and
Love.
Profil dan pemikiran Manji dianggap berbahaya
bagi sebagian masyarakat. Konon, ia muslimah taat namun orientasi seksualnya
tidak wajar. ’’Islam agama saya, lesbian itu kebahagiaan saya,’’ begitu
katanya. Ia seorang lesbian dan memperjuangkan hak-hak kaumnya. Salah satu
agendanya adalah mendorong agar negara menjamin dan mengesahkan perkawinan
sejenis.
Tanggung
Jawab Sosial
Apakah penolakan itu merupakan upaya
memberangus kerja intelektual? Belum tentu. Manji boleh bicara bebas di tempat
yang audiensnya memuji pikirannya. Lewat buku dan media apa dan di mana pun,
asal masyarakat sekitar setuju dengan pemikirannya, dia bebas mengemukakan
pendapat.
Tapi ketika ditolak berbicara, ia pun harus
paham jalan pikiran penolakan itu.
Bahkan ia harus menghormati bila ditolak
secara paksa sekalipun karena hal itu bagian dari negosiasi kepentingan. Dalam
konteks itulah kebebasan harus diindahkan. Inilah wilayah etika dan semua
ilmuwan harus sadar bahwa dirinya memiliki tanggung jawab sosial untuk menjaga
harmonisasi di masyarakat, tanpa kehilangan nalar kritisnya.
Ilmuwan bukanlah nabi yang terbebas dari
kesalahan (ma’shum). Ia tetaplah
manusia dengan kelebihan dan kekurangannya. Dalam satu hal, pandangannya
mungkin sangat presisi, namun dalam kasus lain bisa jadi ada kesalahan. Apalagi
kebenaran dalam ilmu sosial sangat relatif sifatnya. Karena itu, setiap ilmuwan
hendaknya bersikap rendah hati dan tak merasa paling benar.
Pada sisi lain, seorang ilmuwan ketika
melemparkan gagasan ke publik harus disertai dengan tanggung jawab. lmuwan
bekerja tidak semata-mata untuk ilmu (science
for science) tetapi juga untuk kebahagian masyarakat (science for human being). Ilmuwan harus hati-hati berbahasa dan
memilih media yang tepat untuk menyampaikan gagasannya. Jika hal itu sudah
dilakukan, ia setidaknya sudah mengembangkan kebebasan akademik secara bertanggung
jawab.
Kebebasan berpendapat Manji menuai kritik dan
penolakan karena ia mengabaikan filosofi di mana bumi dipijak di situ langit
dijunjung. Kebebasan itu harus dimaknai bukan tanpa batas yang boleh melanggar
nilai hukum, sosial, dan agama. Manji adalah selembar pelajaran penting bahwa
kebebasan intelektual pada dasarnya tak boleh berlangsung secara anarkis karena
harus tetap menjunjung tinggi hukum dan etika. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar