BBM
Bersubsidi dan Ancaman Daerah
Agunan
Samosir ; Alumnus
Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik FEUI;
Peneliti Madya Pusat Kebijakan APBN Badan Kebijakan Fiskal
SUMBER
: KOMPAS,
24 Mei 2012
Bila tak ada halangan, awal Juni 2012
penghematan penggunaan bahan bakar minyak bersubsidi akan diberlakukan.
Tahapan-tahapan kebijakan tersebut, pertama,
mewajibkan kendaraan dinas pemerintah dan BUMN/BUMD menggunakan bahan bakar
minyak (BBM) nonsubsidi.
Kedua, melarang kendaraan bermotor milik
industri pertambangan dan perkebunan mengonsumsi BBM bersubsidi.
Ketiga, melaksanakan program konversi BBM ke
bahan bakar gas (BBG).
Keempat, meniadakan pembangkit listrik baru
dengan BBM, dan kelima, penghematan listrik serta air di gedung-gedung
pemerintah.
Begitu lama pemerintah menempuh jalan untuk
sampai pada kebijakan penghematan itu setelah kenaikan harga BBM bersubsidi dan
pembatasan pengguna BBM bersubsidi batal.
Keberhasilan kebijakan itu pun masih diragukan
berbagai pihak. Hal itu terlihat dari kuota BBM bersubsidi tahun 2012 yang
hampir dipastikan melebihi batas kuota yang ditetapkan dalam APBN-P: 40 juta
kiloliter.
Simak pula bagaimana daerah-daerah bereaksi.
Beberapa daerah di Kalimantan merasa bahwa alokasi BBM bersubsidi yang
ditetapkan oleh pemerintah untuk provinsi, kabupaten, dan kota masih kurang.
Daerah-daerah tersebut menderita kelangkaan pasokan BBM bersubsidi.
Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan,
misalnya, mengusulkan kepada pemerintah pusat agar menambah kuota BBM
bersubsidi di wilayahnya.
Bila permintaan itu tidak dipenuhi,
pemerintah daerah se-Kalimantan akan mengembargo hasil tambang dari wilayah
mereka masing-masing. Tentu saja realisasi ancaman itu dapat mengganggu
stabilitas ekonomi nasional.
Alokasi BBM bersubsidi
Sepintas permintaan yang diajukan pemerintah
daerah se-Kalimantan itu mengada-ada. Manalah ada pemerintah daerah yang berani
mewujudkan ancaman itu sebab risiko yang akan dihadapinya juga tidak kecil.
Namun, muncul pertanyaan, apakah permintaan
pemerintah daerah se-Kalimantan itu mencerminkan realitas sesungguhnya? Mengapa
beban yang dirasakan daerah tersebut malah dilimpahkan kepada pemerintah pusat?
Bukankah daerah-daerah di Kalimantan itu kuyup dengan sumber daya alam?
Jelas hal ini membingungkan semua pihak
karena alokasi kuota BBM bersubsidi kepada wilayah Kalimantan selalu dianggap
kurang.
Perhitungan kuota BBM bersubsidi untuk
kabupaten atau kota dapat diketahui dengan cara sederhana. Dengan cara tersebut
dapat diketahui apakah alokasi kuota BBM bersubsidi kepada suatu daerah sudah
sesuai dengan kebutuhan atau memang masih kurang.
Dengan menggunakan perhitungan Bank Dunia
(2010) berdasarkan data survei ekonomi nasional Februari 2009, rata-rata
konsumsi kendaraan roda empat adalah 113 liter per bulan, sementara rata-rata
konsumsi kendaraan roda dua adalah 19 liter per bulan
Sekarang kita hitung alokasi kuota BBM
bersubsidi yang pas untuk sebuah daerah. Ambil Kabupaten X di Sumatera sebagai
contoh. Pada tahun 2011 di situ tersua 61.626 kendaraan roda dua; 974 sedan;
974 jip; dan 8.910 minibus, pikap, truk, dan bus.
Asumsi yang digunakan untuk perhitungan
adalah kendaraan roda dua dan sedan seluruhnya menggunakan premium bersubsidi.
Minibus, pikap, truk, dan bus menggunakan solar bersubsidi. Jip masing-masing
diasumsikan 50 persen menggunakan premium dan solar.
Hasil perhitungan sederhana menunjukkan bahwa
konsumsi BBM bersubsidi (premium) kendaraan roda dua di Kabupaten X per bulan
pada tahun 2011 adalah 1.171 kiloliter, konsumsi premium sedan dan jip sebanyak
165 kiloliter. Sementara konsumsi solar untuk kendaraan umum—minibus, pikap,
truk, bus, dan jip—adalah 1.062 kiloliter. Jika dikalikan dalam setahun, total
konsumsi premium dan solar tahun 2011 di Kabupaten X berturut-turut 16.031
kiloliter dan 12.742 kiloliter.
Masih relevankah?
Hasil di atas belum memperhitungkan kapal
nelayan yang berhak mengonsumsi solar. Bandingkan alokasi BBM bersubsidi yang
diberikan pemerintah pusat pada 2011 untuk premium sebanyak 59.404 kiloliter
dan solar sebanyak 42.332 kiloliter meski konsumsi rata-rata per bulan untuk
kendaraan umum, ditambah 100 persen, masih tetap di bawah alokasi yang
diberikan pada 2011.
Dengan menggunakan data jumlah kendaraan
bermotor, jumlah kapal nelayan yang berhak, dan rata-rata konsumsi BBM
bersubsidi, maka dapat diketahui berapa sebenarnya kebutuhan BBM bersubsidi di
suatu kabupaten atau kota. Bila jumlah alokasi yang diberikan ternyata
berlebih, ada kemungkinan BBM bersubsidi dinikmati oleh kendaraan bermotor dan
kapal yang tidak berhak mendapat BBM bersubsidi.
Bila Kalimantan menyatakan bahwa alokasi BBM
tahun 2012 masih kurang, ada baiknya ancaman tersebut dievaluasi dengan
menyampaikan kepada pemerintah pusat jumlah kendaraan bermotor dan kapal
nelayan tiap kabupaten dan kotanya.
Hal yang dapat diperoleh dari perhitungan ini
adalah semakin tepatnya pengalokasian BBM bersubsidi pada tiap-tiap daerah.
Maka, pertanyaan kita: masih relevankah ancaman daerah? ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar