Asas Resiprokal Bank
Susidarto; Praktisi Perbankan
SUMBER
: SUARA
KARYA, 10 Mei 2012
Bank Sentral Indonesia dan stakeholders perbankan tampaknya
kebakaran jenggot dengan fenomena akuisisi DBS Group atas PT Bank Danamon
Indonesia. DBS Group Holding
melakukan transaksi akuisisi terhadap 100% saham Asia Financial Indonesia milik Fullerton
Financial Holding (FFH), sehingga secara tidak langsung mengakuisisi 67%
saham Bank Danamon. Rencana, Danamon akan di-merger dengan DBS Indonesia dan
menjadi bank asing dengan aset sekitar Rp 175 triliun karena terbentur aturan single presence polity (kepemilikan
tunggal perbankan).
Ini merupakan gabungan antara Danamon dan asset per 2011 sebesar Rp 141 triliun dan DBS Indonesia dengan aset
Rp 34 triliun. Saat ini Danamon memiliki 3.000 outlet dengan 6 juta nasabah. Adapun DBS Indonesia memiliki 40
cabang. Yang bikin bulu kuduk berdiri adalah fenomena berikut. Jika laporan
keuangan Danamon dan DBS Group digabungkan, Danamon hanya berkontribusi 5%
terhadap total aset DBS yang mencapai USD 341 milyar (sekitar Rp 3.000
triliun). Namun, dari segi pendapatan, Danamon berkontribusi 21%.
Sedangkan dari sisi laba bersih, kontribusi Danamon bisa mencapai
14% dari total 3,36 miliar dolar AS. Padahal, dilihat dari rencana bisnis bank
yang sudah dimasukkan ke BI, target pertumbuhan kredit Danamon tahun 2011 ini
antara 18-20% dan rencana membuka 300 outlet
baru di berbagai pelosok Tanah Air. Data-data inilah yang barangkali akan
membuat mata kita terbelalak kagek. Betapa gurih dan legitnya Danamon dan
bank-bank nasional di Indonesia. Tak aneh, kalau DBS Group sangat getol dalam
membeli Danamon kendati nantinya tetap harus berurusan dengan BI untuk urusan
operasional dan governance-nya.
Bank-bank asing, tampaknya sudah berupaya mempersiapkan diri
menjelang berlakunya Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) yang akan kita jelang pada
2015 mendatang. Sementara untuk bank-bank lokal, masih berkutat di negeri
sendiri. Adalah rahasia umum, kalau sampai hari ini kita menjumpai fenomena
sulitnya perbankan domestik melakukan penetrasi pasar di kawasan ASEAN.
Jangankah untuk membuka cabang dan menghimpun dana masyarakat, untuk
mendapatkan izin membuka gerai ATM di Bandara Changi, Singapura saja, sampai
hari ini belum bisa terealisasikan.
Selama ini sangat sulit bagi perbankan domestik sekelas Bank
Mandiri, BRI, BCA ataupun BNI membuka kantor cabang dan gerai mesin ATM di
Singapura, Malaysia, India, Hongkong serta negara-negara maju lainnya. Padahal,
sepak terjang bank asing di Indonesia, sunggung sangat mencengangkan. Sekali
membeli dan memiliki bank nasional, mereka langsung memiliki jaringan ribuan
cabang dengan sebaran ATM yang demikian luas dan masifnya. Ini sebagai dampak
dari berlakunya regulasi yang tertuang dalam PP 29/ 1999), tentang pembelian saham
bank umum, yang membolehkan asing memiliki saham perbankan hingga 99%.
Tak aneh, akibat kesalahan kolektif dalam membuat regulasi maupun
perundangan, menjadikan industry perbankan nasional separuh lebihnya dikuasai
asing. Dengan pola akuisisi saham perbankan domestik yang cenderung diobral
(karena harganya relatif murah), masuklah bank-bank asing menguasai peta
perbankan domestik. Kalau sebelumnya, bank asing dibatasi untuk membuka kantor
cabang atau jaringan ATM, kini aturan itu bisa disiasati dengan pembelian
bank-bank domestik yang sudah memiliki jaringan kantor cabang dan ATM yang
meluas.
Sementara di waktu yang sama, bank-bank domestik sangat kesulitan
untuk sekadar membuka jaringan kantor cabang di luar negeri, termasuk
Singapura. Berangkat dari situasi yang kontradikstif ini, perlu diciptakan
kondisi dimana berlaku asas resiprokal (kesetaraan) bank. Untuk itu, BI bisa
saja menunda akuisisi transaksi DBS Group atas Bank Danamon. Dalam kaitan ini,
BI bisa melakukan tawar menawar dengan otoritas atau bank sentral Singapura
untuk juga mempermudah pembukaan kantor cabang bank domestik di negara
tersebut. Bahkan kalangan DPR menghimbau agar BI menunda persetujuan hingga UU
Perbankan yang baru selesai digarap.
RUU Perbankan kini memang tengah digarap oleh kalangan
legislative. Perlu dilakukan revisi besar-besaran diantaranya memperbaharui
pasal-pasal krusial yang berkaitan dengan kepemilikan asing, seperti pengaturan
pembukaan cabang bank asing di wilayah tertentu, asas resiprokal, pola dan
jangka waktu pelepasan kepemilikan asing, hingga skala bank yang boleh membeli
saham bank di Indonesia. Payung hukum semacam ini mendesak untuk segera
dirampungkan sebagai payung hukumnya. Terlebih RUU Perbankan yang tengah
digodok DPR, yang ditargetkan selesai tahun ini. RUU Perbankan ini sudah masuk
dalam Prolegnas (Program Legislasi Nasional) tahun 2012.
Dengan demikian, jika Indonesia ingin menuntut asas resiprokal,
maka BI diharapkan tidak hanya sebatas meminta negara lain melonggarkan aturan
yang sudah dibuatnya. Kendati terlambat, BI (tentu bersama DPR) harus membuat
aturan yang minimal sama dengan yang diterapkan negara lain. Beberapa
diantaranya adalah harmonisasi aturan BI dan pemerintah mengenai kepemilikan
asing pada saham perbankan di Indonesia. Regulasi yang berlaku selama ini
(milsanya PP 29/1999), warga asing (badan hukum asing) boleh menguasi saham
perbankan (baik melalui pembelian langsung maupun bursa efek) hingga 99 persen.
Semestinya, aturan yang ideal, kepemilikan asing maksimal di bawah
50 persen. Logikanya sederhana, semakin banyak pemilik bank (yang mengawasi
bank), maka tingkat kehati-hatian bank akan semakin bagus. Aturan yang berlaku
tahun 1999 itu dimaksudkan sebagai langkah antisipasi terhadap krisis ekonomi
tahun 1998, yang terlalu kebablasan, jadi agak kurang hati-hati.
Sayangnya, kendati sudah berlaku cukup lama, aturan itu tidak
pernah direvisi atau coba diperbaiki. Kita baru merasa kecolongan kalau
dominasi asing sudah sedemikian parahnya. Kita selalu terlambat dan kedodoran
mengantisipasi sebuah masalah. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar