Kamis, 10 Mei 2012

Entrepreneur Pasar Spiritual


Entrepreneur Pasar Spiritual
Biyanto; Doktor, Dosen Program Pascasarjana IAIN Sunan Ampel
SUMBER :  JAWA POS, 10 Mei 2012


ERA modern ditandai adanya dominasi nilai simbol barang, proses estetisasi kehidupan, dan melemahnya sistem referensi tradisional. Ciri-ciri itu ditandai Mike Featherstone dalam Global Culture: Nationalism, Globalization, and Modernity (1991). Agama juga tidak kalis dari jamahan modernitas itu.

Ajaran agama yang bersifat sakral sekalipun dapat dinilai dari sisi komersial dan materialnya. Karena itu, tidak mengherankan jika nilai-nilai agama kemudian dikemas begitu rupa sehingga memiliki nilai komersial sebagaimana dipasarkan para penggiat training spiritual. Sebagaimana diketahui, di beberapa kota besar, kegiatan training spiritual ternyata memiliki nilai komersial yang sangat tinggi.

Beberapa kajian keagamaan dan paket pelatihan spiritual telah menjadi gejala di beberapa kota besar. Bahkan jika ditelisik lebih jauh, training spiritual itu telah menjadi fenomena global era 1990-an. Tepatnya, sejak Daniel Goleman memublikasikan temuan para neurosaintis dan psikolog tentang kecerdasan emosi (emotional intelligence). Dikatakan Goleman bahwa dengan kecerdasan emosi, seseorang dapat mengerti perasaan orang lain sehingga muncul kemampuan untuk mendeteksi kekuatan dan kelemahan diri, berempati, termotivasi, dan berinteraksi dengan baik.

Selanjutnya, Danah Zohar dan Ian Marshall pada awal 2000-an juga mempromosikan temuan mengenai kecerdasan spiritual (spiritual intelligence). Melalui kecerdasan spiritual, seseorang memiliki kemampuan untuk memperoleh nilai-nilai, pengalaman, dan kenikmatan spiritual. Dengan kecerdasan emosi dan spiritual, ukuran kesuksesan hidup seseorang tidak lagi ditentukan melalui kemampuan IQ (intelligence quotient) yang sepanjang era modern begitu dominan. Sejak buku-buku karya Daniel Goleman, Danah Zohar, dan Ian Marshall diterbitkan dalam edisi Indonesia, kesadaran terhadap usaha untuk mengoptimalkan kecerdasan akal, emosi, dan spiritual untuk meraih kesuksesan dalam kehidupan menjadi tren berbagai kalangan.

Beberapa penulis produktif dalam negeri juga menghasilkan banyak karya mengenai spiritualitas dan tasawuf. Sebagai contoh, Ary Ginanjar (ESQ Power), Agus Mustofa (Seri Dialog Tasawuf dan Modernitas), Mohammad Sholeh (Training Shalat Tahajud), dan Abu Sangkan (Training Shalat Khusyu'). Yang mengagumkan, ternyata karya-karya tersebut masuk kategori best seller. Respons luar biasa itulah yang kemudian mengilhami beberapa penulisnya untuk melakukan terobosan dengan menawarkan berbagai paket pelatihan. Anehnya, paket pelatihan tersebut ternyata juga sangat diminati, terutama keluarga muslim di metropolis. Training-training keagamaan itu selanjutnya menjadi bisnis bagi entrepreneur spiritual.

Komodifikasi Agama

Dengan meminjam istilah Peter Corrigan dalam The Sociology of Consumption (1998), apa yang dilakukan penggiat training spiritual itu dapat dinamakan komodifikasi nilai-nilai agama. Istilah komodifikasi (commodification) merupakan perpaduan dari dua kosakata; komoditas dan modifikasi, yang berarti usaha untuk menawarkan kemasan barang atau jasa sehingga memiliki nilai komersial dan material. Dikatakan Corrigan bahwa di era dunia kapitalisme sekarang ini segala sesuatu memiliki nilai komoditas. Karena itulah, segala sesuatu, baik berupa barang maupun jasa, harus dikemas sebaik mungkin agar bernilai tinggi.

Entrepreneur training spiritual, tampaknya, berhasil menyinergikan nilai-nilai keagamaan dan modernitas. Mereka benar-benar telah menyelami suasana hati kalangan muslim perkotaan yang mengalami dahaga spiritual akibat kehidupan modern yang indualistis dan materialistis. Dalam situasi ini, kehidupan yang bermakna (meaningful) menjadi kebutuhan utama. Pada konteks itulah, keberadaan training spiritual menemukan momentum yang tepat. Training spiritual juga dapat menjadi benteng dari pengaruh dunia mistik, klenik, dan perdukunan yang juga menjadi tren kehidupan modern. Sebab, training spiritual yang diadakan penggiatnya pasti memiliki rujukan normatif dalam ajaran agama.

Berkaitan dengan adanya kepentingan ekonomi (economic interest) yang menyertai kegiatan training spiritual, maka itu harus diakui sebagai dampak dari modernisasi dan industrialisasi yang salah satu di antaranya menuntut seseorang berlaku profesional. Karena itu, di tengah budaya industri dan pengaruh global, training spiritual harus dikelola layaknya bisnis yang nilai keuntungannya dapat dikalkulasi secara ekonomis. Dengan demikian, apa yang dilakukan entrepreneur spiritual yang melaksanakan training di hotel-hotel berbintang dengan menawarkan harga mahal adalah absah jika dilihat dari perspektif ekonomi-bisnis.

Para entrepreneur spiritual pun mengemas training agar memiliki daya tarik dengan memanfaatkan kecanggihan informasi dan teknologi (IT). Dengan cara tersebut, seorang entrepreneur spiritual seperti Ary Ginanjar selalu memanfaatkan IT guna memainkan emosi keagamaan peserta training. Demikian juga halnya dengan Agus Mustofa yang menjadikan foto dan video aura sebagai salah satu daya tarik. Juga Mohammad Sholeh dengan kecanggihan pendekatan agama dan medis telah membuktikan adanya korelasi positif salat Tahajud dan daya imunitas tubuh seseorang. Bahkan, Mohammad Sholeh telah menjadikan training salat Tahajud sebagai media penyembuhan berbagai penyakit.

Untuk urusan penataan ruangan, soundsystem, dan cahaya lampu juga menjadi bagian yang sangat diperhatikan entrepreneur spiritual. Sebab, dengan itu semua, emosi keagamaan peserta training dapat dikondisikan sehingga mampu menghadirkan rasa penyesalan, kesedihan, dan kesyahduan yang mendalam. Puncaknya, ketika peserta training spiritual larut dalam penyesalan, tanpa terasa air mata mereka menetes.

Pertanyaannya, apakah dengan cara seperti itu seseorang dapat berubah menjadi lebih baik. Untuk menjawab pertanyaan tersebut tentu dibutuhkan konfirmasi kepada mereka yang mengikuti training spiritual. Tetapi, apa pun jawabannya, rasanya kita layak memberikan apresiasi kepada para entrepreneur spiritual. Sebab, mereka telah membantu kalangan muslim perkotaan yang ingin merasakan kenikmatan spiritual (the taste of spirituality). ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar