Senin, 05 Maret 2012

Pedang Hukum Senyatanya


Pedang Hukum Senyatanya
Asmaji Muchtar, DOSEN PASCASARJANA UII YOGYAKARTA DAN UNSIQ WONOSOBO, PENGASUH PONPES AL-MATHAR KUDUS
SUMBER : SUARA MERDEKA, 5 Maret 2012



DEDDY Sugarda adalah sosok yang tidak dikenal sebelum ini. Tetapi Rabu (29/02) di Pengadilan Tipikor Bandung, ia membuat berita besar di hampir semua media. Ia membacok dengan pedang yang dibungkus koran terhadap jaksa Sistoyo, seusia persidangan jaksa itu atas tuduhan menerima suap Rp 100 juta terkait dengan perkara yang ditangani.
 
Komentar atas pembacokan itu bermunculan dari masyarakat, utamanya kalangan bawah. ‘’Nah, ini baru pedang hukum sungguhan. Koruptor tidak mungkin diberantas dengan pedang hukum yang tumpul bila mengarah kepada mereka yang kuat dan kaya tapi tajam untuk masyarakat kecil,’’ demikian salah satu komentar itu.

Apapun dalihnya, tindakan Deddy Sugarda salah secara hukum. Tetapi jika penegakan hukum yang diharapkan oleh rakyat sering dipermainkan oleh penegak hukum, penyelenggara negara, dan orang tertentu yang memiliki kekuatan untuk mengatur hukum maka tindakan nekat Deddy menjadi catatan tersendiri. Bisa dikatakan, sikap itu merepresentasikan pendapat banyak orang.

Hampir tiap hari kita disuguhi tontonan tindakan amoral (korupsi) sejumlah penyelenggara negara. Tiap bulan mereka memperoleh gaji dan remunerasi yang diambil dari uang rakyat, dan rakyat tidak protes sekali pun kinerja para abdi negara itu buruk. Bandingkan dengan pekerja pabrik atau kuli bangunan yang bekerja di bawah tekanan, cucuran keringat, dan tenaga ekstra tapi dengan gaji tidak memadai. Koruptor menggunakan adagium filosofi para penakluk sebagaimana dikatakan Bertrand Russel, untuk apa menaklukkan dunia jika tak dapat minum, membunuh, dan bercinta sebagai nafsu yang membuat mereka ekspansif?

Tidak Terampuni

Sejak kecil, ketika kita masih di bangku sekolah tingkat dasar (SD/ MI), guru sudah mengajarkan bahwa mencuri itu jahat. Ustad, kiai, pastur, biksu, dan rohaniwan juga mengajarkan hal yang sama, yakni mencuri adalah perbuatan jahat, dan tiap kejahatan harus diberantas. Kejahatan korupsi lebih dari sekadar mencuri, sebab objek yang menjadi sasaran bukan kekayaan milik personal melainkan  milik rakyat. Tak bisa dipilah-pilah, mana milik si A, B, dan seterusnya.

Sedemikian susah memilah-pilah kekayaan itu maka ditilik dari sudut pandang agama Islam maka  korupsi adalah bentuk kejahatan yang tak bisa dimaafkan. Ajaran Islam menyebutkan bahwa Tuhan takkan mengampuni kesalahan (dosa) yang bersentuhan dengan hak Adami secara jama’i (kolektif). Hak Adami adalah hak tiap orang (person) yang bila dilanggar maka pelakunya berdosa. Untuk memperoleh kebebasan dari tanggung jawab itu, pelaku harus meminta maaf atau keikhlasannya.

Koruptor tidak mungkin bisa meminta maaf  kepada semua rakyat Indonesia yang dirugikan secara person to person sebagaimana syarat memperoleh kebebasan dari hak Adami itu. Di sini muncul peluang yang memungkinkan orang berbuat anarkis terhadap pelaku korupsi, sebab hak-haknya merasa dirampas.

Negara ini memang harus diselamatkan dari segala bentuk korupsi. Wacana menciptakan efek jera terhadap pelaku korupsi hingga kini belum beranjak menjadi realitas hukuman yang memberatkan mereka. Bandingkan dengan pencuri pisang, cokelat, sandal, kapuk, semangka dan masih banyak lagi yang berujung dengan pemenjaraan yang berat. Keadilan tidak berjalan.

Jika semua elemen bangsa sepakat dengan pandangan ini maka korupsi harus dijadikan musuh bersama secara masif. Langkah yang ditempuh Deddy dengan pedangnya menjadi warning bagi para penegak hukum dalam menangani kasus-kasus korupsi. Pasalnya korupsi tidak mungkin diberantas dengan perang-perangan tetapi harus dengan perang senyatanya. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar