Senin, 05 Maret 2012

Krisis Iran dan Kebijakan Migas


Krisis Iran dan Kebijakan Migas
Eddy Purwanto, MANTAN DEPUTI BP MIGAS 
SUMBER : SINDO, 5 Maret 2012



Baru-baru ini pemerintah menyatakan tidak khawatir menghadapi dampak embargo minyak Iran ke Inggris dan Prancis, sebab impor Indonesia lebih banyak dari Timur Tengah seperti Arab Saudi serta dari Singapura dan Brunei Darussalam.
Untuk sementara, pemerintah tidak perlu khawatir,namun jangan terlena karena situasi krisis di Iran tanpa diduga bisa bersifat eskalatif yang jangkauan dampaknya akan meluas hingga ke Indonesia. Fluktuasi harga minyak juga akan merepotkan Indonesia yang ketergantungan terhadap impor semakin akut.

Volume impor Indonesia sudah menyamai angka lifting minyak nasional, yaitu sekitar 900.000 barel per hari, terdiri dari minyak mentah 400.000 barel per hari ditambah produk BBM 500.000 barel per hari. Bila krisis mendekati puncak, sulit menebak pergerakan harga minyak dunia karena di lapangan bisa melibatkan banyak pemain tergantung dalamnya krisis, tidak hanya Amerika Serikat dan Uni Eropa di satu sisi, di sisi lain ada China dan Rusia,dan jangan lupa ada “wild card” Israel yang sudah gatal ingin menyerang Iran.

Bila Israel benar-benar nekat menyerang Iran yang menurut rumor akan dilaksanakan bulan September mendatang, dikhawatirkan krisis akan meluas dan berkepanjangan karena cenderung menarik pemain lain dari kedua belah pihak ke dalam kancah perang terbuka, termasuk tetangga di seberang tembok Israel seperti Suriah dan lainnya.

Pada puncak krisis pasokan minyak dunia akan tersendat sehingga harga minyak bisa melonjak hingga USD200 per barel. Untuk meredam fluktuasi harga minyak dunia, memang ada Arab Saudi, Kuwait, UEA dan lainnya yang lebih “US friendly” serta bisa menjadi penyangga pasokan minyak untuk sementara,

namun apabila akses jalur pasokan tertutup sulit bagi negara penyangga untuk mensubstitusi seluruh pembeli karena selain ancaman Iran kepada negara-negara penyangga untuk tidak membantu mengucurkan pasokan minyak, juga adanya keraguan dunia terhadap kemampuan Saudi Arabia, terutama setelah adanya bocoran dari Wikileaks perihal kabel rahasia dari Kedutaan Amerika di Dahran yang melaporkan terjadinya “overstated” atau kekeliruan perhitungan cadangan minyak Arab Saudi sekitar 40 persen sehingga menghadapi masa krisis kemampuan Arab Saudi untuk memasok minyak dalam jangka panjang mulai diragukan.

Walaupun gas terus berkembang menjadi primadona energi dunia, termasuk di AS dengan penemuan shale-gas yang luar biasa, setidaknya untuk dua dasawarsa ke depan minyak masih akan mendominasi kartu diplomasi yang ampuh. Dampak krisis Iran yang tingkatnya baru “pemanasan” telah membuat gerah Indonesia karena harga minyak (ICP) melonjak melewati toleransi APBN sebesar 10 persen.

Di sisi lain pemerintah direpotkan oleh meningkatnya konsumsi energi nasional sehingga melambungkan defisit anggaran khususnya untuk belanja impor minyak dan BBM. Melonjaknya konsumsi BBM menjadi beban berat karena belum diiringi oleh peningkatan produksi dan cadangan minyak nasional serta belum terwujudnya rencana penambahan kilang domestik yang sangat dibutuhkan.

Indonesia tidak punya pilihan lain, guna menye-lamatkan perekonomian dan APBN wajar bila pemerintah segera berunding dengan DPR untuk mempercepat pembahasan APBN Perubahan dan sebaiknya segera memutuskan kebijakan atau opsi apa pun yang akan diambil dalam pemangkasan subsidi BBM, karena situasinya cenderung eskalatif baik di luar negeri maupun di dalam negeri.

Menghadapi potensi krisis, program penghematan energi secara nasional semakin dibutuhkan mengingat Indonesia terbilang negara terboros di Asia dalam urusan energi, utamanya di sektor industri yang menyedot 51,86% dari total penggunaan energi nasional, disusul sektor transportasi sebanyak 30,77%, diikuti rumah tangga 13,08%.

Bagi pemerintah yang paling mendesak adalah penghematan di sektor industri dan transportasi karena kedua sektor ini cenderung menyedot energi fosil, utamanya minyak yang cadangannya semakin tipis (cadangan terbukti tinggal 3,7 miliar barel). Indonesia membutuhkan program penghematan yang lebih terstruktur dan terukur dengan melibatkan partisipasi seluruh tingkat pengguna,bukan hanya retorika.

Kita lihat contoh sederhana, di Korea Selatan, lampulampu billboard atau papan reklame dimatikan mulai jam 12.00 malam. Program penghematan lain yang strategis adalah konversi BBM oleh gas yang tidak boleh ditunda-tunda lagi, pemerintah segera menyusun program yang terstruktur dan terukur terutama di dalam penyiapan infrastruktur dan jaminan pasokan gas bumi jangka panjang.

Ditopang stabilnya pertumbuhan ekonomi, jumlah kendaraan akan bertambah secara eskalatif, secara bertahap perlu pembangunan stasiun pengisian bahan bakar gas (SPBG). Di Jakarta saja butuh minimal 60 hingga 100 unit SPBG dengan pasokan gas bumi antara 30 hingga 50 juta kaki kubik yang harus dialokasikan khusus bagi SPBG.

Namun, strategi ini akan berhasil bila dibarengi dengan keberanian pemerintah dan legislatif memangkas subsidi BBM secara bertahap, karena dengan naiknya harga bensin premium bersubsidi diharapkan akan menarik minat masyarakat untuk beralih ke gas (BBG) yang lebih murah dan bersih. Dari sisi pasokan dalam negeri,meningkatkan produksi dan cadangan adalah keharusan melalui kampanye eksplorasi dan eksploitasi, sayangnya kegiatan ini masih memerlukan masuknya modal asing sehingga membutuhkan dukungan perbaikan iklim investasi baik di pusat maupun di daerah.

Sudah sangat banyak program yang digagas para pemangku kebijakan namun cenderung jalan di tempat karena pelaksanaannya tersendat oleh berbagai hambatan lintas sektoral. Program migas harus ditangani secara lintas sektor,tidak cukup hanya oleh satu atau dua instansi, tetapi harus mengajak seluruh pemangku kepentingan yang terkait sambil menanggalkan ego-sektor baik di pusat maupun di daerah.

Semua ada hikmahnya, dampak krisis Iran hanyalah pemicu, ancaman yang sebenarnya terhadap ketahanan energi nasional berada di dalam negeri yaitu melonjaknya konsumsi energi yang menyebabkan semakin tingginya ketergantungan terhadap impor minyak dan BBM karena belum diimbangi oleh peningkatan cadangan dan produksi migas serta belum terealisasinya pembangunan kilang-kilang BBM yang baru.

Pemerintah memerlukan percepatan program baik di sektor hulu maupun hilir dan berani menawarkan insentif baik fiskal maupun non-fiskal yang memadai, disertai upaya perbaikan iklim investasi baik di Pusat maupun Daerah utamanya yang terkait dengan perizinan, tata ruang, birokrasi, dampak otonomi daerah, xenophobia, dan lainnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar