Selasa, 06 Maret 2012

Korupsi Birokrasi, Lagi?


Korupsi Birokrasi, Lagi?
Dewi Aryani, Anggota DPR RI Fraksi PDI Perjuangan;
Kandidat Doktor Administrasi dan Kebijakan Publik Universitas Indonesia;
DUTA Reformasi Birokrasi UI         
    
SUMBER : SINDO, 6 Maret 2012



Kasus Gayus belum berakhir di peradilan, sekarang muncul lagi kasus Dhana.Gayus dan Dhana adalah dua anak muda berstatus pegawai negeri sipil (PNS) di Direktorat Jenderal Pajak yang mendadak terkenal bukan karena prestasinya, melainkan karena indikasi korupsi sistemik di tempat kerjanya.
Sejatinya tidak semua birokrat seperti Gayus, tetapi fenomena ini seakan memperkuat persepsi bahwa Gayus tidaklah sendirian. Mungkin akan muncul Gayus dan Dhana lainnya.Kedua orang ini mencerminkan buruknya birokrasi di Indonesia. Ini bukan penyakit individu, melainkan penyakit sistemik dalam birokrasi di Indonesia.

Gayus dan Penyakit Korupsi

Kasus korupsi yang dilakukan Gayus dan Dhana bukanlah hal yang baru terjadi juga bukan hal yang baru dalam sejarah birokrasi di Indonesia. Jumlahnya pun mungkin relatif kecil jika dibandingkan dengan kasus-kasus serupa yang saat ini belum atau tidak terungkap. Kasus Gayus dan Dhana menjadi penting karena akhirnya kita menyadari bahwa korupsi telah menjadi penyakit sistemik dalam birokrasi di Indonesia.

Gejala ini dapat disebut sebagai sindrom Gayusisme atau Dhanaisme yang mewakili jenis penyakit birokrasi. Penyakit ini sebenarnya bukanlah bersifat individual, melainkan timbul karena kelemahan sistematik dari organisasi birokrasi. Jika kasuskasus semacam ini tidak diselesaikan dengan utuh dan menyeluruh, bukan tidak mungkin akan terungkap Gayus dan Dhana yang baru pada masa yang akan datang.

Mengutip pendapat pakar Ilmu Administrasi dari Amerika Serikat,Gerald Caiden, sebenarnya gejala ini dapat disebut sebagai maladministrasi yaitu “administrative action (or inaction) based on or influenced by improper consideration or conduct”. Caiden menyatakan bahwa ada kurang lebih 175 penyakit birokrasi (common bureaupathologies).

Sayangnya, hampir semua penyakit tersebut ada dan paling tidak berpotensi ada di Indonesia. Kasus Gayus dan Dhana merupakan kegagalan pemerintah untuk membentuk sistem yang dapat mencegah terjadi penyakit-penyakit birokrasi sehingga setiap pelanggaran oleh individu dianggap sebagai sesuatu yang biasa dan dapat diterima secara kolektif sebagai budaya.

Biasanya individu- individu yang idealis tidak dapat diterima oleh sistem dan dianggap sebagai lawan dari mainstreamyang ada.Individu tersebut akan menjadi pesakitan dan tidak akan menduduki jabatan-jabatan penting dalam birokrasi karena dianggap akan mengancam posisi kelompok status quo.

Gejala yang terjadi pada Gayus dan Dhana tidaklah mudah untuk diatasi karena penyakit ini bersifat menahun, menurun, sehingga dibutuhkan perubahan sistem yang radikal dan penyelesaian masalah yang serius. Penyakit ini menggerogoti sel-sel birokrasi yang produktif dan akan merusak mentalitas pegawai dan pejabat di semua lapisan. Pegawai yang baru saja masuk dalam sistem bahkan akan segera tertular dan terusak selnya oleh penyakit sistemik ini.

Sangat mungkin Gayus dan Dhana adalah pegawai yang dikorbankan untuk melindungi pejabat yang lebih tinggi. Kasus ini tidak hanya terjadi di Direktorat Jenderal Perpajakan, tetapi juga di beberapa kementerian dan lembaga pemerintahan daerah. Di daerah kondisi semakin besar berpeluang terjadi terutama sejak pemilihan langsung kepaladaerah, yangmenyebabkan semakin tumbuhnya penyakit birokrasidaerah,semakinparah dan sulit disembuhkan.

Reformasi Birokrasi Komprehensif

Berbagai reformasi yang telah dilakukan tampaknya belum mampu mengubah budaya birokrasi di Indonesia. Harus diakui bahwa pemberian tunjangan kinerja dalam rangka reformasi birokrasi ternyata belum dapat mengubah perilaku korup para pejabat birokrasi. Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi yang menjadi mesin reformasi tampaknya harus bekerja lebih keras lagi untuk melakukan reformasi yang fundamental untuk dapat mengubah kebiasaan buruk pejabat birokrasi kita.

Masyarakat sudah mulai kehilangan kepercayaan apakah reformasi birokrasi dapat menghilangkan perilaku korup birokrasi. Dibutuhkan komitmen politik yang besar dari Presiden dan seluruh menteri untuk melakukan perubahan fundamental. Di samping itu,karena penyakit birokrasi ini sudah sangat parah, harus dicari agenda reformasi yang bisa langsung menembak sasaran penyakitnya.

Misalnya dengan pengawasan terhadap kekayaan dan harta pegawai negeri sipil, penerapan sistem pembuktian terbalik, promosi jabatan yang dilakukan secara terbuka, serta pengukuran kinerja birokrasi yang lebih baik. Kasus Dhana ini harus benar- benar dipergunakan sebagai momen untuk menuntaskan penyakit dalam birokrasi.

Megawati Soekarnoputri bahkan menegaskan berkalikali dalam setiap pidatonya bahwa kader partai politik harus menjadi mesin penggerak pemberantasan korupsi sehingga partai politik dapat mencetak kader berpotensi dan sekaligus memahami makna good governance sebagai dasar menjalankan pemerintahan yang baik dan menjaga amanah rakyat,mengedepankan pelaksanaan pembuatan kebijakan yang berbasis kepada konstitusi.

Jika pemerintah telah menjadikan reformasi birokrasi sebagai prioritas nasional pembangunan, hal ini harus tercermin juga dalam dukungan pendanaan untuk melakukan reformasi birokrasi tersebut. Jangan sampai reformasi birokrasi kehilangan kepercayaan dari masyarakat. Para menteri juga harus sepenuhnya menyadari pentingnya birokrasi sebagai ujung tombak dalam pemerintahan dan pelayanan publik.

Reformasi birokrasi tidak boleh sekadar wacana atau tunjangan kinerja dan menjadi komitmen sebagian kecil orang di kementerian dan lembaga. Hanya dengan komitmen tinggi dari seluruh menteri, kasus seperti Gayus dan Dhana ini dapat dihilangkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar