Jumat, 09 Desember 2011

UU (Kedaulatan) Pangan


UU (Kedaulatan) Pangan
Dwi Andreas Santosa, DOSEN FAKULTAS PERTANIAN IPB; AKTIF DI GERAKAN PETANI
Sumber : KOMPAS, 9 Desember 2011



Pada 23 September 2011, penulis berkesempatan mengunjungi kembali beberapa teman petani di lereng Merapi di Magelang dan Boyolali yang terkena dampak erupsi Merapi setahun sebelumnya.

Selain bersilaturahim, penulis juga melihat ”dampak” sejumlah program seperti IPB Goes to Field 2011 dan beberapa aktivitas pendampingan yang kami lakukan bersama teman-teman dari gelanggang mahasiswa UGM (Gelanggang Emergency Response) dan yayasan Joglo Tani. Di banyak lokasi, pertanian mulai bergeliat kembali. Tanaman tembakau, sayur-sayuran, dan padi pelan-pelan mulai ditanam lagi meski belum mampu menggerakkan ekonomi petani sebagaimana sebelum erupsi Merapi, November 2010.

Sangat disayangkan banyak sayuran yang dibiarkan tak dipanen di lahan karena ongkos panennya lebih tinggi dibandingkan dengan harga sayuran tersebut. Kejadian tersebut sangat ironis jika disandingkan dengan data Badan Pusat Statistik yang menunjukkan total impor hortikultura naik 37,47 persen dan khusus sayuran 51,62 persen dibandingkan dengan periode sama 2010 (Kompas, 6/12/2011).

Apa yang dialami petani lereng Merapi tersebut sudah berlangsung cukup lama. Bahkan, pada saat Lebaran dua bulan sebelumnya harga justru jatuh dan banyak petani mengalami kerugian cukup besar. Hal tersebut terjadi di wilayah yang berjarak hanya 45-60 menit dari pusat kota Yogyakarta dengan jalan aspal mulus tanpa hambatan. Bagaimana bagi sebagian besar wilayah Indonesia yang memiliki infrastruktur buruk? Jawaban yang pasti sudah ada di benak kita semua.

Tidak hanya pada hortikultura, hal yang sama juga terjadi pada sejumlah komoditas lain. Pada awal tahun 2000 pemerintah membuka keran impor kedelai dan Pemerintah Amerika Serikat memberikan fasilitas bagi importir Indonesia melalui GSM 102. Selain itu, importir menerima fasilitas lain, yaitu kredit Impor dan Triple C. Harga kedelai impor saat itu sebesar Rp 2.300 per kilogram dan karena berbagai fasilitas yang diterima pengimpor, harga bisa ditekan menjadi hanya Rp 1.950, sedangkan biaya produksi petani kedelai di Jawa sebesar Rp 2.500 per kilogram.

Sebelum krisis tahun 1998, impor kedelai dikendalikan sepenuhnya oleh importir tunggal Bulog. Melalui program IMF, Bulog diswastakan dan importir umum diperbolehkan mengimpor kedelai. Pada saat bersamaan, bea masuk diturunkan menjadi 10 persen hingga 0 persen. 

Dampak berantai kemudian terjadi, petani kedelai terpuruk yang berujung hancurnya program kedelai nasional yang pernah hampir mencapai swasembada pada awal tahun 1990-an.
Beberapa hal tersebut merupakan contoh bagaimana kebijakan di bidang pangan dan pertanian semakin jauh dari upaya untuk menguatkan petani dan sistem pangan nasional. Banyak pihak sangat berharap dua RUU, yaitu RUU Pangan serta RUU Perlindungan dan Pemberdayaan Petani, bisa menjadi terobosan besar dalam mengurai berbagai permasalahan terkait pertanian dan pangan.

UU Kedaulatan Pangan

Dibandingkan dengan UU No 7/1996 tentang Pangan yang praktis hanya mengatur soal ”teknis pangan”, RUU Pangan jauh lebih maju. Nuansa politik pangan juga terasa kental dalam RUU tersebut. Tiga paradigma besar masuk sekaligus dalam RUU Pangan yang baru, yaitu kedaulatan pangan, kemandirian pangan, dan ketahanan pangan. Kedaulatan pangan sengaja ditempatkan paling depan. Sangat disayangkan istilah ini sekadar ditempelkan tanpa makna.

Desentralisasi urusan pangan justru menjadi ”jiwa” RUU Pangan yang diperkirakan akan memperparah kondisi yang ada saat ini. Impor pangan dapat dilakukan oleh daerah-daerah dalam upaya menjaga ”cadangan pangan pemerintah”. Selain itu, masyarakat (baca: korporasi) juga mempunyai hak dan kesempatan seluas-luasnya dalam upaya mewujudkan ”cadangan pangan masyarakat”. Impor yang seharusnya menjadi pilihan paling akhir bisa menjadi pilihan utama karena menggiurkan bagi para ”pemburu rente ekonomi”.

Hal-hal tersebut tampaknya tidak disadari oleh para perumus RUU Pangan sehingga hampir semua pasal merupakan turunan dari konsep ketahanan pangan, padahal paradigma kedaulatan pangan justru berkebalikan (counterframe) dari ketahanan pangan (Benford and Snow, 2000). Ketahanan pangan dapat dibedakan berdasarkan skalanya, yaitu dari ketahanan pangan rumah tangga, regional, nasional, dan global, meskipun ”ketahanan” (security) hampir selalu berasosiasi dengan skala nasional (Lee, 2007).

Ketahanan pangan nasional sering kali dipahami juga sebagai kemandirian pangan (food self-sufficiency) yang memiliki tiga elemen kebijakan pasokan pangan, yaitu prediksi/perencanaan, stabilitas, dan ketahanan. Untuk mencapai itu, strategi ketahanan pangan harus diletakkan dalam kerangka perdagangan internasional sebagaimana diatur Organisasi Perdagangan Dunia.

Di skala internasional, negara-negara maju dan korporasi agribisnis mempromosikan peningkatan liberalisasi perdagangan pangan serta mengonsentrasikan produksi pangan ke tangan korporasi agribisnis besar. Kelebihan produksi mereka dilemparkan ke pasar internasional melalui dumping, suatu strategi perdagangan internasional yang menempatkan pangan di negara tujuan ekspor dengan harga di bawah biaya produksi di negara tersebut (Wittman dkk, 2010). Strategi ini terbukti menghancurkan sistem pertanian dan pangan di negara berkembang yang tidak mampu berkompetisi dengan komoditas pangan padat subsidi dari negara maju.

Kedaulatan pangan secara radikal berbeda bahkan bertolak belakang dengan ketahanan pangan. Kedaulatan pangan menempatkan petani, pengedar, dan konsumen pangan pada jantung kebijakan dalam sistem pangan itu sendiri (Deklarasi Nyéléni 2007). Hal ini berbeda dengan pendekatan ketahanan pangan yang menyandarkan diri pada pasar dan korporasi serta mereduksi pangan sekadar sebagai komoditas perdagangan.
Paradigma ketahanan pangan lebih dari sekadar hak atas pangan, tetapi meliputi dimensi 
yang jauh lebih besar dengan menghubungkan antara pangan, alam, dan komunitas sebagai satu kesatuan (Wittman dkk, 2010). Kedaulatan pangan mempromosikan reformasi agraria sejati, menempatkan sistem kendali sumber daya produktif (tanah, air, benih, dan sumber daya alam) ke tangan yang memproduksi pangan, mengarusutamakan sistem agroekologi, pasar, dan perdagangan lokal, pembebasan petani kecil dari ancaman privatisasi, serta mendukung hak petani untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan di semua lini dan menetapkan sistem pangan dan pertanian mereka sendiri.

Di level teori dan praksis, kedaulatan pangan memiliki potensi untuk mempercepat perubahan besar di dalam sistem pertanian, politik, dan sosial yang berkaitan dengan pangan. Kedaulatan pangan menghendaki kita berpikir ulang apa yang sebenarnya ”paling penting” dalam proses perubahan tersebut, menghendaki bahwa pangan tidak sekadar sebagai barang yang cara akses dan produksinya ditetapkan oleh pasar, serta memahami bahwa terdapat keterkaitan sosial dalam proses produksi, konsumsi, dan pertukaran pangan (Handy, 2007).

Tahun 1999-2009 sudah enam negara di dunia mengintegrasikan kedaulatan pangan dalam legislasi nasional mereka. Pertanyaan selanjutnya sejauh mana negara mampu mengartikulasikan dalam undang-undang dan peraturan serta menciptakan struktur dan mekanisme untuk mengimplementasikan kedaulatan pangan yang akan berdampak pada transformasi sistem pertanian dan pangan yang saat ini dijalankan. Berdasarkan hal tersebut, RUU Pangan perlu dirumuskan ulang jika menghendaki Kedaulatan Pangan sebagai roh yang mewarnai pasal-pasal di dalam RUU tersebut, tak sekadar mencantumkan tanpa tahu makna sesungguhnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar