Selasa, 20 Desember 2011

Reformasi Alutsista, Wawancara dengan Menteri Pertahanan

MENYAMBUT INDONESIA 2012
Reformasi Alutsista
Wawancara dengan Menhan Purnomo Yusgantoro
Sumber : SINDO, 19 Desember 2011




Reformasi alat utama sistem senjata (alutsista) TNI melalui program minimum essential force (MEF) 2024 membutuhkan anggaran sangat besar.Hingga 2014, anggaran yang dialokasikan untuk keperluan ini mencapai Rp150 triliun.

Anggaran sebanyak itu akan digunakan untuk membangkitkan daya tangkal sekaligus mendorong revitalisasi industri strategis pertahanan Tanah Air. Bagaimana kedua hal itu bisa berjalan? Berikut petikan wawancara SINDO dengan Menteri Pertahanan Purnomo Yusgiantoro.

Bagaimana memanfaatkan anggaran alutsista yang demikian besar?

Anggaran kita memang naik pada tahun sekarang, dibandingkan lima tahun lalu. Untuk pembangunan alutsista (perawatan,pemeliharaan, pembelian baru) selama lima tahun,kita mendapatkan Rp150 triliun,itu di luar belanja pegawai. Kalau dihitung per tahun, pada 2012 kita dapat Rp72 triliun.Tapi,48%-nya untuk belanja pegawai.Sisanya,36% untuk belanja modal (alutsista) dan 16% belanja barang (pemeliharaan dan perawatan). Tentu,(alutsista) yang kita pilih adalah untuk pembelian alutsista yang sudah kita rencanakan sejak awal masuk kabinet 2010.

Proporsi pembelian dari dalam negeri dan luar negeri seperti apa?

Kita sudah buat perencanaan untuk 15 tahun yang dibagi dalam tiga rencana strategis lima tahunan.Dalam pokok perencanaan itu, kita sudah tahu mana yang dibeli dari dalam negeri dan luar negeri. Semaksimal mungkin,kita beli dari dalam negeri. Tapi kalau tidak bisa,kita beli yang bisa dibangun bersama-sama atau joint productions. Lalu, yang tidak bisa dibangun di Indonesia dan harus dibeli dari luar, kita upayakan adanya tansfer of technology( ToT) ataupun off-set dan trade off.

Untuk jangka panjang juga kita siapkan, contohnya dengan Korea Selatan (Korsel), kita melakukan penelitian dan pengembangan untuk pesawat tempur generasi 4,5 yaitu IFX/KFX. Itu baru datang pada 2020. Padahal selama jangka waktu itu, kebutuhan pesawat tempur tetap harus kita diisi.

Ada tawaran kerja sama dari sejumlah negara di Eropa, seperti Serbia. Tanggapan atas tawaran-tawaran itu?

Mereka memang banyak menawarkan teknologi timur. Dulu, kita banyak memakai teknologi timur pada era 60-an. Tapi, ujung-ujungnya adalah apakah cocok dengan RMA, kepentingan kita, dan modernisasi peralatan kita. Jadi, yang menawarkan banyak, tapi harus kita lihat satu per satu.

Bagaimana strategi yang digunakan dalam menentukan alutsista yang dibeli?

Pertama, kita lihat ancamannya seperti apa, di mana, dan berupa apa. Kemudian, anggaran yang dipersiapkan untuk penangkalnya seberapa besar. Lalu, dari situ kita desain,kita bangun kekuatan alutsista kita. Indonesia itu besar, jadi yang didesain tidak hanya kuantitas, tapi juga kualitas. Contohnya pembelian pesawat tempur F-16.Kita punya anggaran USD470 juta.

Kalau membeli baru cuma dapat 6 unit dan datangnya baru sekitar 6-7 tahun lagi. Tapi, kalau dapat hibah F-16 bekas, bisa datang cepat. Pesawat hibah itu tetap bisa diupgrade kemampuannya menjadi seperti pesawat baru. Dengan hibah ini kita dapat 24 unit. Karena itu,kita kemudian memilih yang hibah ini dengan 24 unit pesawat. Selain itu, kondisi geografis juga harus diperhitungkan.

Di wilayah barat, laut kita dangkal, sehingga tidak membutuhkan kapal-kapal berukuran besar. Yang penting sekarang adalah kapal-kapal yang ada dipasang meriam dan rudal. Sedangkan di wilayah timur, lautnya dalam sehingga cocok untuk kapal-kapal besar.

Salah satu kendala industri strategis pertahanan dalam negeri adalah tidak ada sinergi antarindustri. Apa yang Kemhan lakukan untuk mendorong terciptanya sinergitas ini?

Biasanya kita menyerahkan ke vendor manufaktur untuk menetapkan itu sendiri. Misalnya, bangun kapal perang,maka kita serahkan ke PT PAL.Mereka yang akan mencari (dari industri mana saja komponennya). Kita cuma bilang harga segini, barang seperti ini.

Bagaimana dengan RUU tentang Revitalisasi Industri Strategis Pertahanan?

Sekarang sedang dibahas DPR. Yang penting kita berikan fleksibilitas kepada BUMNIP agar mereka bisa kembangkan industri pertahanannya lebih baik.Contohnya, kewajiban untuk membeli dari dalam negeri, dalam hal tender mungkin ada keberpihakan kita, ketentuan local content, dan diizinkan untuk melakukan kerja sama. Itu memang perlu dipayungi hukum.

Kemampuan seperti apa yang Kemhan harapkan dimiliki industri pertahanan untuk dapat memenuhi kebutuhan alutsista?

Kita menyadari ToT tidak bisa cepat. Pembuatan kapal selam, misalnya.Kapal pertama dibuat di luar negeri tidak apa-apa, tapi kita kirim banyak anak muda ke sana untuk belajar. Mungkin yang kedua bisa dibangun sebagian di sini. Nah, yang ketiga, kita berharap bisa dibangun di sini semua. Jadi itu bertahap. Itu sebetulnya tidak sulit. Contohnya kapal LPD yang kita punya. Dulu, dua dibangun di Korea, dua di Indonesia. Sekarang, Filipina sudah berminat membeli dari kita.

Dengan pembelian alutsista yang demikian gencar,apa tidak khawatir menimbulkan persaingan persenjataan di kawasan?

Sebetulnya kalau di ASEAN tidak. Pertama, karena kita punya ADMM (rapat tahunan menteri pertahanan se-ASEAN). Kita juga sudah sepakat kebijakan pertahanan kita harus transparan. Kita juga ada kerja sama industri pertahanan dan kerja sama militer selain perang. Kedua, kita semua tahu, sebenarnya kita membangun kekuatan ini bukan untuk menyerang, melainkan untuk mempertahankan kedaulatan. Ketiga, sekarang ini ancaman lebih banyak pada ancaman non-tradisional dan asimetrik.

Bisa digambarkan kekuatan pertahanan yang ingin dibangun, apakah seperti era 1960-an?

Tentu berbeda antara era 60- an dengan sekarang. Sekarang ada RMA (revolution military affair), jadi sekarang ini peranan teknologi sangat besar sekali. Sekarang kita tidak perlu kapal-kapal besar,yang penting punya peluru kendali.

Bagaimana dengan platform perluasan pasukan?

Memang, sekarang kebijakan kita di bidang sumber daya manusia ada tiga. Pertama, zero growth. Kita ingin pertahankan jumlah personel tetap. Kita juga menganut restrukturisasi dan right sizing.

Pengaruh zero growth terhadap ketersediaan belanja modal seperti apa?

Memang itu yang kita harapkan (persentase belanja modal lebih besar). Dulu kita 51% dari anggaran untuk belanja pegawai, sekarang sudah turun menjadi 48%. Memang tidak bisa drastis, harus pelan-pelan. Tapi, persentasenya untuk belanja modal tentu naik seiring dengan kebijakan zero growth ini.
   

Tidak ada komentar:

Posting Komentar