N
y a w a
Kristanto Hartadi, REDAKTUR SENIOR SINAR HARAPAN
Sumber
: SINAR
HARAPAN, 20
Desember 2011
PADA minggu pertama Desember ini, merebak
kabar di berbagai media, seorang remaja pandai dan pernah meraih medali perak
olimpiade sains, tewas ditikam ketika hendak pulang seusai main futsal.
Remaja bernama Christopher Melky Tanujaya itu
dibunuh oleh seorang pemuda pengangguran, Ayub, yang mengincar handphone Blackberry
warna putih yang tengah dimainkan korban, seturun dari bus Transjakarta, di
daerah Pluit.
Setelah kejadian itu, foto korban dengan
lehernya yang berlubang karena ditembus pisau beredar di berbagai media sosial.
Foto tersebut cukup menggetarkan, karena demi sebuah handphone pelaku
menikam korbannya di posisi-posisi tubuh yang mematikan.
Hampir bersamaan dengan penangkapan tersangka
pembunuh Christopher, jajaran Polda Metro Jaya juga menangkap pembunuh seorang
remaja, siswa SMA Pangudi Luhur, dalam sebuah insiden di klub malam. Keterangan
dari polisi menyebutkan dalam kasus ini, baik korban maupun pelaku sama-sama
dalam pengaruh alkohol, dan penusukan dimulai dari senggolan di lantai dansa.
Di Depok, seorang ibu pedagang sayur yang
hendak belanja ke pasar pada dini hari diperkosa oleh empat pria dalam sebuah
mikrolet M-26. Ibu itu menyerah tak berdaya karena dia ditodong golok oleh para
pelaku. Sampai kini para pelaku masih diburu polisi. Mungkin, kalau ibu itu
melawan, nyawanya juga melayang.
Dalam acara sarasehan “Harapan Masyarakat
terhadap Polri” menyambut HUT ke-62 Polda Metro Jaya, saya berbincang dengan
Wakapolda Metrojaya, Brigjen (Pol) Suhardi Alius mengenai berbagai aksi
kriminalitas yang mengerikan itu. Dia mengakui, nyawa di Jakarta sangat
“murah”.
Hanya karena urusan uang Rp 50 ribu saja
nyawa bisa melayang. Saya mencoba menganalisis dengan mengatakan mungkin faktor
kesenjangan sosial yang semakin lebar ikut memicu tindak-tindak kriminalitas seperti
itu, dan dia tidak menampik analisis tersebut.
Apakah Jakarta semakin tidak aman? Ataukah
kualitas kejahatan jalanan (street crime) meningkat? Praktikus psikologi
forensik, Reza Indragiri Amriel, mengingatkan agar tidak terlalu percaya pada
statistik kriminalitas, karena hal itu bukan cerminan situasi yang nyata.
Dia mengingatkan tugas polisi 70 persen
adalah pembinaan keamanan, dan hanya 30 persen yang merupakan penegakan hukum.
Dalam pandangan saya perasaan Jakarta semakin aman atau tidak ditentukan oleh
persepsi masyarakat. Sementara yang ikut membentuk persepsi itu adalah media
massa.
Mengapa Memenggal?
Namun, di Sungai Sodong, di Kecamatan Mesuji,
di Kabupaten Ogan Komering Ilir, ada kejadian mengerikan bentrok antar penduduk
dan centeng perkebunan (yang dibeking aparat keamanan) pada 21 April 2011 lalu,
berlanjut pada pemenggalan kepala beberapa penduduk yang tewas.
Kebiadaban itu dapat dilihat di rekaman video
yang beredar di media sosial, termasuk adegan seorang anggota polisi (karena
mengenakan seragam hitam dan menyandang senapan serbu) memegang kepala yang
telah dipenggal, sementara seseorang menyampaikan semacam ancaman dalam dialek
lokal.
Anggota Komisi III DPR yang mengunjungi
lokasi kejadian pada Minggu (18/12) kemarin baru menyadari kejadian itu ada dan
sama sekali bukan rekayasa karena mendengar langsung dari Kapolres OKI, Ajun
Komisaris Besar Agus F, kemungkinan besar pada aksi pemenggalan itu terjadi
saat pecah bentrokan antara warga Sungai Sodong dan karyawan perkebunan kelapa
sawit PT Sumber Wangi Alam.
Saya hanya bertanya, mengapa kebiadaban
seperti itu dibiarkan, bahkan di depan mata polisi? Apakah orang-orang yang
dibunuh lalu dipenggal kepalanya itu bukan sesama rakyat Indonesia? Apakah
mereka musuh negara? Apakah patut perlakuan seperti itu?
Kepala saya rasanya berat melihat kenyataan
ini bahwa bangsa kita banyak yang masih biadab, ketika mengungkapkan dendam dan
amarah. Mereka masih hidup dengan nilai-nilai di abad pertengahan. Saya sendiri
tidak ingin masuk dan mencampuri persengketaan mana yang benar dan salah dalam
perebutan lahan kelapa sawit di Mesuji tersebut.
Yang pasti, pembantaian dan pemenggalan
seperti yang terjadi di Sungai Sodong itu, apalagi ada rekamannya, akan
menimbulkan trauma, dan collective memory yang panjang serta sulit
dilupakan, khususnya bagi anak-anak dari kelompok mana pun yang menjadi korban.
Benih dendam demi dendam telah ditabur.
Sudah sepatutnya Pemerintah membentuk tim
untuk memulihkan trauma-trauma tersebut, selain mengirim Tim Gabungan Pencari Fakta.
Bahkan, secara permanen harus ada orang-orang yang khusus dilatih untuk
memulihkan trauma karena tindak-tindak kekerasan dan kebiadaban seperti itu.
Dari kasus di Sungai Sodong itu, yang juga
pernah terjadi dalam konflik di Sampit, Maluku, Poso, Cikeusik, Jakarta,
Lampung, pembantaian PKI dll harus menyadarkan kita bahwa sebagian bangsa ini
masih primitif.
Kalau sudah begini tentulah bukan lagi soal
efek media, karena nyawa dan rasa kemanusiaan pada akhirnya sangat rendah
harganya di negeri kita. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar