Menakar
Peluang Papua Pisah dari RI
Kristanto Hartadi, REDAKTUR
SENIOR SINAR HARAPAN
Sumber : SINAR HARAPAN, 9 Desember 2011
Judul di atas sekadar hendak
mengingatkan pada Jakarta agar tak gegabah bertindak di bumi Papua. Ini karrna
rentetan peristiwa demi peristiwa politik yang terjadi sejak pelaksanaan UU No
21/2001 mengenai Otonomi Khusus (Otsus) Papua sampai insiden Kongres Rakyat
Papua III di Abepura 19 Oktober lalu memperlihatkan pelaksanaan kebijakan yang
keliru.
Dalam catatan saya, bukan hanya sekali
masyarakat di Papua meminta agar Otsus Papua dikembalikan. Misalnya, ribuan
rakyat pada 12 Agustus 2005 menggelar aksi menuntut dikembalikannya Otsus
Papua.
Ini dilakukan karena Jakarta dianggap
mengingkari UU No 21/2001 dengan menerbitkan Inpres No 1/2003 mengenai
Percepatan Pelaksanaan UU No 45/1999 mengenai Pembentukan Provinsi Irian Jaya
Tengah, Provinsi Irian Jaya Barat, Kabupaten Paniai, Kabupaten Mimika,
Kabupaten Jayawijaya, dan Kota Sorong.
Dalam UU Otsus Papua, status otonomi khusus di Provinsi Papua adalah satu kesatuan wilayah yang tidak terpecah-pecah. Kalaupun akan ada pemekaran, itu haruslah melalui mekanisme Majelis Rakyat Papua (sesuai PP No 54/2005), yang waktu itu belum terbentuk. Tentunya langkah pemekaran itu dilakukan dalam rangka memecah gerakan ingin merdeka, selain wilayah Papua yang memang terlalu luas.
Selain itu, sekian tahun pelaksanaan
Otsus juga tidak memperbaiki situasi. Penduduk aslinya rata-rata tetap miskin
dan terbelakang. Penikmat dana Otsus adalah para birokrat, para elite, atau
yang terkait, dan para pendatang di perkotaan.
Disinyalir sekitar 60 persen dana
Otsus kembali ke bank-bank besar di Jakarta, atau menjadi properti antara lain
di Jakarta, Manado, Sydney, dan Melbourne.
Ketika itu pemerintah (Departemen
Dalam Negeri) menjanjikan "penyempurnaan" pelaksanaan Otsus Papua,
termasuk akan ada audit dan berbagai langkah lain.
Tuntut Referendum
Pada Juni 2010, atau lima tahun
kemudian, juga berulang aksi politik mendesak pengembalian Otsus Papua. Kali
ini melibatkan Majelis Rakyat Papua dan peserta Musyawarah Masyarakat Asli
Papua.
Tuntutannya: gelar referendum yang
melibatkan masyarakat internasional, keluar dari RI, hentikan proses pilkada di
seluruh Papua, hentikan program transmigasi ke Papua, bebaskan para tahanan
politik Papua, dan demiliterisasi di Papua.
Penyebab kemarahan antara lain selama
pelaksanaan Otsus telah terjadi ketimpangan pertumbuhan penduduk antara orang
asli dan masyarakat pendatang. Komposisinya adalah penduduk asli 30 persen,
pendatang 70 persen. Dengan begitu, logikanya dana Otsus lebih banyak dinikmati
pendatang.
Pemekaran juga dituding sebagai
instrumen untuk memecah entitas Papua, sementara bagi uat elite lokal pemekaran
berarti posisi, kekuasaan, dan anggaran. Kini, banyak pejabat daerah di Papua
ikut menghiasi daftar koruptor yang divonis pidana oleh Pengadilan Tipikor.
Kajian Drooglever
Sebagai exercise apakah Papua
bisa merdeka, sejarawan Belanda Profesor Drooglever dari Universitas Leiden
(2004) membuat kajian ilmiah yang hasilnya menyatakan, proses Penentuan
Pendapat Rakyat (Pepera) 1969 tidak sah. Reaksi Jakarta adalah: integrasi Irian
Barat ke Republik Indonesia sudah final dan disahkan masyarakat internasional.
Terkait reaksi itu, seorang diplomat
senior, yang pernah aktif di badan HAM PBB, mengingatkan gerakan pemisahan diri
Papua sangat kuat di ranah internasional dan mereka memanfaatkan semua lini dan
kesempatan. Setiap pelanggaran HAM apa pun di Papua tercatat di Komisi HAM PBB.
Saya pun sependapat bahwa hasil Pepera
sudah final. Meski parameter yang dipakai 40 tahun lalu itu tak sesuai dengan
ukuran hari ini. Namun hukum internasional juga tidak menyebutkan formula one
man one vote untuk proses penentuan nasib sendiri. Apalagi ketika itu
Indonesia dan Belanda bersepakat Pepera dilaksanakan melalui musyawarah
perwakilan, 1 : 750.
Namun saya ragu, apakah pengakuan
dunia itu suatu harga mati?
Dalam sejumlah kasus, wilayah-wilayah
yang memisahkan diri dari induknya (seksesi) atau merdeka pasca-Perang Dingin
memenuhi sejumlah aspek: (1) pelanggaran HAM berat, khususnya terhadap kaum
minoritas/penduduk asli, (2) sejarah integrasi yang tidak mantap atau dipaksakan,
(3) pengakuan internasional terhadap hak untuk menentukan nasib sendiri, dan
(4) ada kepentingan negara-negara besar.
“Remedial Seccession”
Seorang diplomat senior lainnya
mengingatkan terbukanya peluang seksesi di Papua karena di sana terjadi
pelanggaran HAM berat, "pemusnahan" penduduk secara sistematis, dan
diskriminasi.
Menurutnya, dunia mengenal konsep remedial
seccession, yakni pemisahan diri demi mengakhiri diskriminasi dan
pelanggaran HAM. Pola itu berlaku pada kasus Bangladesh (pisah dari Pakistan),
Kosovo (pisah dari Serbia), dan Timor Timur.
Kita mengalami, dunia memihak rakyat
Timor Timur untuk pisah dari Indonesia. Dewan Keamanan melalui Resolusi 1264
tanggal 15 September 1999 memandatkan penggelaran pasukan multinasional. Segera
Australia memimpin pasukan multinasional masuk Timtim pada 19 September 1999,
untuk meredam kekacauan selepas jajak pendapat yang dimenangi kubu pro
kemerdekaan.
Negara-negara besar, terutama Amerika
Serikat, mendukung kelahiran negara Timor Leste, karena proses integrasinya
belum tuntas diakui dunia, terjadi pelanggaran HAM berat di sana, dan
pemerintah pusat di Jakarta tak berdaya. Kita beruntung tidak masuk ke
pengadilan HAM internasional karena masalah Timor Timur.
Di Kosovo, situasinya mirip dengan
Timor Timur, dan Serbia ditekan secara militer dan politik oleh NATO. Sementara
itu, di Chechnya (Rusia), meski di sana juga terjadi pelanggaran berat HAM,
Barat enggan ikut campur. Ini karena Moskwa punya hak veto di Dewan Keamanan,
juga karena mereka enggan berperang dengan Rusia.
Akhiri Pelanggaran HAM
Sulit menyangkal pelanggaran HAM tak
terjadi di Papua. Meski begitu, negara-negara besar belum langsung intervensi.
Mudah mendeteksi indikasi keterlibatan mereka, yakni bila berbagai media dan LSM
internasional mulai aktif mencoba mengubah opini dunia. Kemudian, dukungan
militer dan logistik secara konsisten dialirkan untuk kubu yang menuntut
pemisahan diri.
Sejauh ini, Amerika Serikat baru
menempatkan 2.500 prajurit di Darwin, Australia (hanya satu jam terbang ke
Papua). Pasukan sebesar satu batalion tim pendarat tentulah tak cukup kalau
harus berperang di Laut China Selatan, tetapi lebih cocok untuk mengamankan
Timika.
Kembali ke judul tulisan ini, saran
saya adalah: segera akhiri pelanggaran HAM di Papua oleh TNI/Polri, jangan
ulang kesalahan di Timor Timur. Segera wujudkan kesejahteraan di Papua lewat
pembangunan pendidikan, kesehatan, maupun infrastruktur.
Dampingi pelaksanaan Otsus Papua,
jangan biarkan mereka berjalan sendiri. Akhiri juga perampasan hak-hak ulayat
rakyat hanya demi kepentingan bisnis besar. Sangat mendesak untuk digelarnya
investigasi berbagai kasus pelanggaran HAM sampai tuntas. Segera wujudkan pula
janji dialog Jakarta-Papua itu. ●
sampai hari ini, saya selalu heran, pemerintah Indonesia dan rakyat indonesia kebanyakan masi merasa berhak atas tanah Papua barat. Padahal, secara budaya, sejarah, dan lain-lain kedua wilayah ini tidak punya hubungan sama sekali. yang ada hanya klaim-klaim politis tak berdasar.
BalasHapusSunguh, saya heran.
Sebagai orang asli Papua, saya juga iri dengan saudar-saudar di Papua New Gunea, mereka bisa menikmati kemerdekaan mereka, sedang kami tidak, Sunguh, saya Iri.
Saya juga kwatir, orang asli Papua di atas tanah Papua barat nanti akan musna juga, sama seperti orang aborigin atau orang indian. Bagaimana tidak kwatir, sekarng saja, presentase orang asli Papua dan pendatang di Papua suda mencapai 50%/50%. Ditamba lagi dengan adanya UP4B yang akan membuka sentra-sentara ekonomi di Papua. Ini tentu membutukan tenaga kerja yang banyak. Suda pasti jutaan orang dari luar papua akan datang membanjiri tanah Papua. Ah, sunguh, saya kwatir.