Mempertanyakan
Kembali HAM untuk LGBTI
Muhammad Royyan Firdaus, MAHASISWA AKIDAH-FILSAFAT IAIN CIREBON
Sumber
: JIL, 15 Desember
2011
Penghormatan terhadap hak- hak manusia (human
rights) tampaknya sudah diterima sebagai bagian dari pikiran bangsa Indonesia.
Negara Republik Indonesia (RI) juga sudah menjadi salah satu dari negara-negara
peserta karena sudah menandatangani dan meratifikasi sebagian perjanjian
internasional hak-hak manusia (international human right treaties) yang utama
sebagai bagian dari hukum dan kebijakan nasionalnya. Dengan demikian, RI
terikat secara hukum dan kebijakan dalam menunaikan kewajiban untuk
menghormati, melindungi dan memenuhi hak-hak manusia. Satu kewajiban tambahan
adalah mempromosikan hak-hak manusia supaya dapat diketahui publik.
Selain itu, di pasal 28 UUD 1945 dan UU No.
39/1999 tentang Hak Asasi Manusia disebutkan secara rinci mengenai penghormatan
terhadap hak-hak manusia. Bahkan, Indonesia berusaha mengakomodasi kebutuhan
keadilan bagi korban yang menderita karena suatu kejahatan serius (serious
crime), kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity) dan genosida
melalui UU No. 26/2000 tentang pengadilan Hak Asasi Manusia.
Wacana hak-hak manusia terus meluas dengan
ratusan judul buku diterbitkan atau dipublikasikan dan beredar di mana-mana.
Begitu pula organisasi-organisasi kemasyarakatan baik organisasi yang punya
“hubungan” dengan pemerintah (tercatat dari pemerintahan rezim Soeharto hingga
sekarang) atau pun berdiri secara independen, bertumbuh biak layak jamur di
musim hujan. Pendek kata, wacana hak-hak manusia sudah menyebar di
tengah-tengah masyarakat.
Secara legal maxim, memang kita akui wacana
hak-hak manusia sudah menyebar di tengah-tengah masyarakat kita. Ironinya,
wacana HAM ini justru dibarengi dengan serangkaian fenomena sebaliknya di
negeri tercinta ini. Mulai dari kasus Ahmadiyah, pemaksaan para murid non-Islam
untuk mengenakan jilbab di berbagai daerah, kasus pembunuhan Munir, Perda-
Perda tentang hukuman cambuk dan hukuman mati. Belum lagi kasus-kasus besar
yang hilang begitu saja dari perhatian media. Kita bisa sebut di sini misalnya
kasus Poso, Timor Leste, Trisakti, Semanggi I dan II, serta tragedi Tanjung
Priok, penyerbuan ormas Islam pada hari Pancasila di Tugu Monas, dan
sebagainya.
Belum lagi kalau kita memasukkan kasus-kasus
diskriminasi terhadap kaum LGBTI (Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender, dan
Interseks) yang nota bene perhatian pemerintah dalam soal ini kurang serius.
Paradigmanya mungkin begini: menangani pelanggaran HAM berat saja yang menjadi
prioritas tidak kelar-kelar, apalagi perkara sepele seperti itu. Mestinya apa
pun jenisnya, pelanggaran tetap saja pelanggaran. Boleh saja dibuat skala
prioritas. Tapi jangan sampai ada politik tebang pilih, apalagi politik belah
bambu. Yang satu diangkat, sementara kelompok LGBTI terus diinjak dan dibiarkan
terus dalam kondisi ketertindasan.
Pandangan tentang seksualitas, dalam hal ini
LGBTI, menempati posisi peripheral atau pinggiran di dalam konstitusi publik.
Bagaimana tidak? Konstitusi publik selalu dilegitimasi kekacauan tafsir keagamaan.
Sedangkan tafsir keagamaan dihegemoni oleh “paradigm” heteronormativitas, yaitu
pandangan bahwa yang disebut normal dalam relasi seksual adalah dengan lawan
jenis. Sementara tafsir keagamaan, kita tahu, memandang fenomena LGBTI sebagai
immoral, less-religius, penyakit sosial, menyalahi kodrat, dan bahkan dituduh
sekutu setan. Tafsir keagamaan yang dihegemoni oleh heteronormativitas ini
jugalah yang ikut serta melegitimasi tindakan diskriminasi terhadap pelaku
LGBTI; mulai dari pengasosiaan kaum LGBTI dengan HIV/AIDS, penayangan
sinetron-sinetron Islam di TV yang berbau mendiskriditkan kaum LGBTI (misal
sinetron “Azab bagi Homoseksual”), razia satpol PP, hingga mindset negatif
publik terhadap mereka.
Secara teologis, penolakan terhadap
homoseksual dinisbahkan pada ayat-ayat al-Qur’an yang berkisah tentang Nabi
Luth (lihat Q.S. al-Naml, 27: 54-58; al-A’raf, 7: 80-81; al-Syu’ara, 26:
160-175). Di samping al-Qur’an, ditemukan juga sejumlah hadis Nabi. Di
antaranya, hadis riwayat al-Tabrani dan al-Baihaqi, Ibnu Abbas, Ahmad, Abu
Dawud, Muslim dan al-Tirmizi, dan masih banyak dasar teologis lainnya. Atas
dasar teologis inilah, sejumlah kelompok tertentu yang konon mengaku paling
saleh menghakimi seraya memandang mereka (kaum LGBTI) tidak kurang dan tidak lebih
layaknya hewan.
Benarkah al-Qur’an dan hadis yang kita
prioritaskan paling “VVIP” sebagai tibyan li kulli syai’ berkata demikian? jika
memang benar adanya, lalu apa yang memotivasi Nabi Luth untuk mengeluarkan
fatwa tersebut? Apakah hanya karena kaum Nabi Luth melakukan sesuatu yang ma
sabaqokum bihaa min ahadin min al-‘alamin (sesuatu yang belum dikerjakan oleh
seorang pun sebelum kamu di dunia ini), lantas secara langsung diorentasikan
sebagai kegiatan fahisyah/keji? Di samping itu ditemukan ayat lain dalam Q.S.
Hud (11: 77-83) yang menjelaskan tawaran Nabi Luth dalam negosiasi menawarkan
putrinya untuk dinikahi oleh pelaku LGBTI. Ayat di atas jelas sekali beraroma
kepentingan individu Nabi Luth.
Hemat saya pribadi, rasanya naïf mengaitkan
satu tragedi (azab) dengan sebab tertentu (perilaku kaum Luth), seolah-olah
kita tahu persis apa yang menjadi kehendak Tuhan (tragedi pemusnahan kaum Nabi
Luth dianggap sebagai akibat perilaku homoseksualitas mereka).
Menurut hemat saya, “azab” ini sebenarnya lebih
disebabkan kepada pengingkaran kaum Nabi Luth yang mendustakan, mencemooh, dan
mengancam akan mengusir Nabi Luth serta tamu-tamu kehormatannya, bukan karena
orientasi seksualnya yang dianggap menyimpang. Azab juga lebih disebabkan pada
kesombongan kaum Luth yang menantang Tuhan agar menurunkan azab dan
siksaan-Nya. Kesimpulan ini berdasarkan pada teks suci yang menyebutkan adanya
ancaman kaum Luth yang mengatakan, ’’Hai Luth, sesungguhnya jika kamu tidak
berhenti, benar-benar kamu termasuk orang-orang yang diusir (la in lam tantahi
ya luth latakunanna minal mukhrajin, Q.S. al-Syura [26]: 167). Kaum Luth juga
mengatakan bahwa Nabi Luth sebagai orang yang munafik dan sok suci (innahum
unasun yatathahharun, Q.S. al-A’raf [7]: 82). Selain menghina nabi, kaum Luth
juga memperlakukan tamu-tamu Nabi Luth dengan tidak baik dan membuatnya malu
sampai-sampai Nabi Luth mengatakan, “Sesungguhnya mereka adalah tamuku, maka
janganlah kamu memberi malu” (inna ha-ula’i dhaifii fala tafdlahun). Buruknya
lagi, kaum Luth yang sombong itu menantang Tuhan agar Dia menimpakan siksa dan
azab terhadap mereka.
Jikalau memang Allah membenci kaum LGBTI, toh
kaum LGBTI baik-baik saja di Belanda, kanada, dan Inggris dan Negara- Negara
yang sudah melegalkan kaum minoritas ini?
Pada prinsipnya kaum LGBTI ini memiliki dua
“varian”. Pertama, bersifat kontruksi sosial budaya, seperti budaya warok Reog
Ponorogo, wandhu dalam tradisi Ludruk dan tari Bugis Cirebon. Kedua, bersifat
“given” yang merupakan hak mutlak Tuhan. Seorang dokter syaraf dalam suatu
forum tertentu menyatakan tentang laporan terbaru dari penelitian Human Genom
Project (proyek gen manusia). Dikatakan dalam laporan tersebut bahwa potensi
homoseksualitas adalah sesuatu yang inheren di dalam setiap orang. Struktur gen
manusia “pada-mulanya” adalah perempuan. Kromosom Y yang menjadikan seorang
laki- laki, sebenarnya merupakan penyimpangan terhadap susunan kromsom manusia.
Hanya saja, di dalam diri setiap manusia kadar penyimpangannya berbeda. Bila
penyimpangannya itu bersifat total, maka manusia itu menjadi laki-laki
sepenuhnya, sedangkan jika penyimpangannya itu hanya sedikit atau sebagian saja
maka muncullah manusia-manusia “yang-lain”, termasuk homoseksual.
Membaca kasus-kasus diskriminasi terhadap
kaum LGBTI, jelas memperlihatkan bahwa negara sudah masuk dalam ranah privat
kaum ini karena memaksa mereka untuk meninggalkan identifikasi diri yang
dianggap “menyimpang” itu demi sebuah “moral publik” yang konsepnya menggunakan
pandangan mayoritas terhadap minoritas. Padahal proses identifikasi diri dan
pencarian jati diri seorang manusia merupakan sebuah ranah privat yang tidak
dapat diintervensi oleh siapa pun, bahkan orang-orang terdekatnya.
Dalam proses
pengidentifikasian diri inilah harga diri dan martabat (dignity) seorang manusia
melekat. Martabat manusia adalah hal yang paling hakiki sebagai manusia. Dalam
konvensi internasional dan UUD 1945 hasil amandemen beserta UU HAM telah juga
dinyatakan bahwa martabat manusia adalah termasuk jenis kebebasan pribadi dan
haruslah dilindungi tanpa diskriminasi. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar