Jumat, 16 Desember 2011

Mempertanyakan Kembali HAM untuk LGBTI

Mempertanyakan Kembali HAM untuk LGBTI
Muhammad Royyan Firdaus, MAHASISWA AKIDAH-FILSAFAT IAIN CIREBON
Sumber : JIL, 15 Desember 2011


Penghormatan terhadap hak- hak manusia (human rights) tampaknya sudah diterima sebagai bagian dari pikiran bangsa Indonesia. Negara Republik Indonesia (RI) juga sudah menjadi salah satu dari negara-negara peserta karena sudah menandatangani dan meratifikasi sebagian perjanjian internasional hak-hak manusia (international human right treaties) yang utama sebagai bagian dari hukum dan kebijakan nasionalnya. Dengan demikian, RI terikat secara hukum dan kebijakan dalam menunaikan kewajiban untuk menghormati, melindungi dan memenuhi hak-hak manusia. Satu kewajiban tambahan adalah mempromosikan hak-hak manusia supaya dapat diketahui publik.

Selain itu, di pasal 28 UUD 1945 dan UU No. 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia disebutkan secara rinci mengenai penghormatan terhadap hak-hak manusia. Bahkan, Indonesia berusaha mengakomodasi kebutuhan keadilan bagi korban yang menderita karena suatu kejahatan serius (serious crime), kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity) dan genosida melalui UU No. 26/2000 tentang pengadilan Hak Asasi Manusia.

Wacana hak-hak manusia terus meluas dengan ratusan judul buku diterbitkan atau dipublikasikan dan beredar di mana-mana. Begitu pula organisasi-organisasi kemasyarakatan baik organisasi yang punya “hubungan” dengan pemerintah (tercatat dari pemerintahan rezim Soeharto hingga sekarang) atau pun berdiri secara independen, bertumbuh biak layak jamur di musim hujan. Pendek kata, wacana hak-hak manusia sudah menyebar di tengah-tengah masyarakat.

Secara legal maxim, memang kita akui wacana hak-hak manusia sudah menyebar di tengah-tengah masyarakat kita. Ironinya, wacana HAM ini justru dibarengi dengan serangkaian fenomena sebaliknya di negeri tercinta ini. Mulai dari kasus Ahmadiyah, pemaksaan para murid non-Islam untuk mengenakan jilbab di berbagai daerah, kasus pembunuhan Munir, Perda- Perda tentang hukuman cambuk dan hukuman mati. Belum lagi kasus-kasus besar yang hilang begitu saja dari perhatian media. Kita bisa sebut di sini misalnya kasus Poso, Timor Leste, Trisakti, Semanggi I dan II, serta tragedi Tanjung Priok, penyerbuan ormas Islam pada hari Pancasila di Tugu Monas, dan sebagainya.

Belum lagi kalau kita memasukkan kasus-kasus diskriminasi terhadap kaum LGBTI (Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender, dan Interseks) yang nota bene perhatian pemerintah dalam soal ini kurang serius. Paradigmanya mungkin begini: menangani pelanggaran HAM berat saja yang menjadi prioritas tidak kelar-kelar, apalagi perkara sepele seperti itu. Mestinya apa pun jenisnya, pelanggaran tetap saja pelanggaran. Boleh saja dibuat skala prioritas. Tapi jangan sampai ada politik tebang pilih, apalagi politik belah bambu. Yang satu diangkat, sementara kelompok LGBTI terus diinjak dan dibiarkan terus dalam kondisi ketertindasan.

Pandangan tentang seksualitas, dalam hal ini LGBTI, menempati posisi peripheral atau pinggiran di dalam konstitusi publik. Bagaimana tidak? Konstitusi publik selalu dilegitimasi kekacauan tafsir keagamaan. Sedangkan tafsir keagamaan dihegemoni oleh “paradigm” heteronormativitas, yaitu pandangan bahwa yang disebut normal dalam relasi seksual adalah dengan lawan jenis. Sementara tafsir keagamaan, kita tahu, memandang fenomena LGBTI sebagai immoral, less-religius, penyakit sosial, menyalahi kodrat, dan bahkan dituduh sekutu setan. Tafsir keagamaan yang dihegemoni oleh heteronormativitas ini jugalah yang ikut serta melegitimasi tindakan diskriminasi terhadap pelaku LGBTI; mulai dari pengasosiaan kaum LGBTI dengan HIV/AIDS, penayangan sinetron-sinetron Islam di TV yang berbau mendiskriditkan kaum LGBTI (misal sinetron “Azab bagi Homoseksual”), razia satpol PP, hingga mindset negatif publik terhadap mereka.

Secara teologis, penolakan terhadap homoseksual dinisbahkan pada ayat-ayat al-Qur’an yang berkisah tentang Nabi Luth (lihat Q.S. al-Naml, 27: 54-58; al-A’raf, 7: 80-81; al-Syu’ara, 26: 160-175). Di samping al-Qur’an, ditemukan juga sejumlah hadis Nabi. Di antaranya, hadis riwayat al-Tabrani dan al-Baihaqi, Ibnu Abbas, Ahmad, Abu Dawud, Muslim dan al-Tirmizi, dan masih banyak dasar teologis lainnya. Atas dasar teologis inilah, sejumlah kelompok tertentu yang konon mengaku paling saleh menghakimi seraya memandang mereka (kaum LGBTI) tidak kurang dan tidak lebih layaknya hewan.

Benarkah al-Qur’an dan hadis yang kita prioritaskan paling “VVIP” sebagai tibyan li kulli syai’ berkata demikian? jika memang benar adanya, lalu apa yang memotivasi Nabi Luth untuk mengeluarkan fatwa tersebut? Apakah hanya karena kaum Nabi Luth melakukan sesuatu yang ma sabaqokum bihaa min ahadin min al-‘alamin (sesuatu yang belum dikerjakan oleh seorang pun sebelum kamu di dunia ini), lantas secara langsung diorentasikan sebagai kegiatan fahisyah/keji? Di samping itu ditemukan ayat lain dalam Q.S. Hud (11: 77-83) yang menjelaskan tawaran Nabi Luth dalam negosiasi menawarkan putrinya untuk dinikahi oleh pelaku LGBTI. Ayat di atas jelas sekali beraroma kepentingan individu Nabi Luth.

Hemat saya pribadi, rasanya naïf mengaitkan satu tragedi (azab) dengan sebab tertentu (perilaku kaum Luth), seolah-olah kita tahu persis apa yang menjadi kehendak Tuhan (tragedi pemusnahan kaum Nabi Luth dianggap sebagai akibat perilaku homoseksualitas mereka).

Menurut hemat saya, “azab” ini sebenarnya lebih disebabkan kepada pengingkaran kaum Nabi Luth yang mendustakan, mencemooh, dan mengancam akan mengusir Nabi Luth serta tamu-tamu kehormatannya, bukan karena orientasi seksualnya yang dianggap menyimpang. Azab juga lebih disebabkan pada kesombongan kaum Luth yang menantang Tuhan agar menurunkan azab dan siksaan-Nya. Kesimpulan ini berdasarkan pada teks suci yang menyebutkan adanya ancaman kaum Luth yang mengatakan, ’’Hai Luth, sesungguhnya jika kamu tidak berhenti, benar-benar kamu termasuk orang-orang yang diusir (la in lam tantahi ya luth latakunanna minal mukhrajin, Q.S. al-Syura [26]: 167). Kaum Luth juga mengatakan bahwa Nabi Luth sebagai orang yang munafik dan sok suci (innahum unasun yatathahharun, Q.S. al-A’raf [7]: 82). Selain menghina nabi, kaum Luth juga memperlakukan tamu-tamu Nabi Luth dengan tidak baik dan membuatnya malu sampai-sampai Nabi Luth mengatakan, “Sesungguhnya mereka adalah tamuku, maka janganlah kamu memberi malu” (inna ha-ula’i dhaifii fala tafdlahun). Buruknya lagi, kaum Luth yang sombong itu menantang Tuhan agar Dia menimpakan siksa dan azab terhadap mereka.

Jikalau memang Allah membenci kaum LGBTI, toh kaum LGBTI baik-baik saja di Belanda, kanada, dan Inggris dan Negara- Negara yang sudah melegalkan kaum minoritas ini?

Pada prinsipnya kaum LGBTI ini memiliki dua “varian”. Pertama, bersifat kontruksi sosial budaya, seperti budaya warok Reog Ponorogo, wandhu dalam tradisi Ludruk dan tari Bugis Cirebon. Kedua, bersifat “given” yang merupakan hak mutlak Tuhan. Seorang dokter syaraf dalam suatu forum tertentu menyatakan tentang laporan terbaru dari penelitian Human Genom Project (proyek gen manusia). Dikatakan dalam laporan tersebut bahwa potensi homoseksualitas adalah sesuatu yang inheren di dalam setiap orang. Struktur gen manusia “pada-mulanya” adalah perempuan. Kromosom Y yang menjadikan seorang laki- laki, sebenarnya merupakan penyimpangan terhadap susunan kromsom manusia. Hanya saja, di dalam diri setiap manusia kadar penyimpangannya berbeda. Bila penyimpangannya itu bersifat total, maka manusia itu menjadi laki-laki sepenuhnya, sedangkan jika penyimpangannya itu hanya sedikit atau sebagian saja maka muncullah manusia-manusia “yang-lain”, termasuk homoseksual.

Membaca kasus-kasus diskriminasi terhadap kaum LGBTI, jelas memperlihatkan bahwa negara sudah masuk dalam ranah privat kaum ini karena memaksa mereka untuk meninggalkan identifikasi diri yang dianggap “menyimpang” itu demi sebuah “moral publik” yang konsepnya menggunakan pandangan mayoritas terhadap minoritas. Padahal proses identifikasi diri dan pencarian jati diri seorang manusia merupakan sebuah ranah privat yang tidak dapat diintervensi oleh siapa pun, bahkan orang-orang terdekatnya. 

Dalam proses pengidentifikasian diri inilah harga diri dan martabat (dignity) seorang manusia melekat. Martabat manusia adalah hal yang paling hakiki sebagai manusia. Dalam konvensi internasional dan UUD 1945 hasil amandemen beserta UU HAM telah juga dinyatakan bahwa martabat manusia adalah termasuk jenis kebebasan pribadi dan haruslah dilindungi tanpa diskriminasi.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar