Senin, 05 Desember 2011

Malu

Malu
Putu Setia, KOLUMNIS TEMPO
Sumber : TEMPO INTERAKTIF, 4 Desember 2011


Abraham Samad terpilih sebagai Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi yang baru. Saya tak paham--selain tak mau tahu--ada pertarungan politik apa di balik terpilihnya Samad. Bahwa Samad disokong oleh kelompok ini, bahwa koalisi partai pemerintah pecah, bahwa Samad sudah disandera partai tertentu, saya tak mau memikirkannya. Tambahkan lagi puluhan gosip di sekitar itu, saya tak peduli. Saya tetap senang dengan terpilihnya Samad.

Berkali-kali saya dikecewakan oleh para wakil rakyat. Dalam kasus tertentu bahkan saya dibuat muak. Namun, kali ini, ketika mereka memilih Samad sebagai Ketua KPK, saya kok sepakat. Saya setuju dengan pilihan itu, mungkin karena saya "buta politik".

Apakah karena Samad "anak muda", sedangkan negeri ini sepertinya akan terus dipimpin orang-orang lanjut usia? Apakah karena dia "orang daerah", pada saat urusan daerah tak kunjung diperhatikan pusat? Apakah karena tabungannya hanya Rp 200 juta--tak mungkin nanti ia mantu berbiaya miliaran--sehingga saya senang dia terpilih? Sedikit benar. Yang banyak benarnya adalah karena Samad secara terbuka menyebutkan kata "malu" pada saat dicecar anggota Dewan Perwakilan Rakyat. "Kalau setahun saya tak bisa menuntaskan kasus besar, saya mundur. Malu rasanya datang dari jauh, Makassar, tak bisa apa-apa," katanya.

Malu! Kata yang kehilangan arti di Kota Jakarta, kata yang tak pernah diucapkan, dan perilaku yang tak pernah dipraktekkan oleh pejabat dan petinggi negara. Tapi "orang daerah", yang masih kental dengan kearifan lokal, menempatkan kata "malu" sebagai sesuatu yang sakral. 

Saya percaya Samad memegang kata-katanya itu, karena sanksi moralnya berat. Ini sudah menjadi budaya di banyak daerah, seperti halnya orang Bali atau orang Minang, yang malu pulang kalau tak berhasil di rantau. Ketidakberhasilan itu, apalagi disertai kecurangan, harus dipertanggungjawabkan dengan malu, mundur, mengalah, dan sejenisnya.

Saat ini, siapa yang masih punya rasa malu, kalau indikatornya memakai budaya daerah? Nunun Nurbaetie, kita tahu, tersangka kasus cek pelawat yang sudah diburu pasukan Interpol. Abraham Samad pun menargetkan menangkap Nunun dalam setahun ini. Kalau tidak berhasil, dia malu. Tapi apakah suami Nunun, Adang Daradjatun, yang menjadi anggota Komisi Hukum DPR, merasa malu atas kasus istrinya ini? Jika indikatornya "orang daerah", semestinya malu, kemudian ikut "mencari" istrinya, dan menyerahkannya kepada KPK.

Ada pejabat negara yang menikahkan putranya dengan pesta demikian mewah, menghabiskan miliaran rupiah. Berapa tahunkah ia menabung uang ini dari gajinya sebagai pejabat negara? Padahal dia pernah mengeluhkan gajinya yang tak naik-naik. Kenapa bisa mengeluarkan uang sedemikian banyak untuk mantu? Seharusnya dia merasa malu, minimal malu kepada dirinya sendiri.

Para koruptor jelas tak punya rasa malu. Ketika kasusnya terbongkar, dia ditangkap, diperiksa, diadili, dan dipenjara, rasa malu itu tak ada. Termasuk keluarganya. Calon-calon koruptor pun akhirnya bertambah, toh kalau ketahuan dan dipenjara, itu hanya "nasib sial". Tak ada efek jera dari tertangkapnya koruptor terdahulu. Maka menjadi menarik kalau ide "Kebun Koruptor" Mahfud Md. direalisasi saja, toh hanya mempermainkan rasa malu, dan belum tentu pula ada efek jera.

Mari beri Samad kesempatan untuk berjuang, apakah dia berhasil menangkal rasa malu itu, sekaligus bisa mempermalukan lebih banyak lagi koruptor. Bahwa ia akan disetir dan disandera oleh mantan pemilihnya, lupakan sajalah. Kalau itu terjadi, rasa malu dia malah akan bertambah-tambah. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar