Kamis, 15 Desember 2011

Liberalisasi Kalangan Islamis


Liberalisasi Kalangan Islamis
Darmaningtyas, DI REKTUR INSTRAN (INSTITUT STUDI TRANSPORTASI)
Sumber : KORAN TEMPO, 15 Desember 2011



Salah satu fenomena penting Musim Semi Arab yang berlangsung sampai kini adalah proses liberalisasi pemikiran yang terjadi di kalangan Islamis. Dalam sebuah kolom di harian Al-Hayat (11 Desember 2011), pemikir Mesir, Al-Sayyid Yasin, menyiratkan adanya gerakan ke tengah bandul yang kini terjadi dalam kancah politik Islam Timur Tengah. “Kalangan Islam-modernis kini tampak semakin Islamis, sementara kalangan Islam-fundamentalis—seperti di Partai Nahdlah (Tunisia), Partai Kebebasan dan Keadilan (Mesir), maupun Partai Keadilan dan Pembangunan Maroko—justru tampak makin liberal.”

Beberapa pernyataan kalangan Islamis Tunisia, Maroko, maupun Mesir setelah menang pemilihan umum menunjukkan bahwa mereka kini lebih liberal dibanding saat masih menjadi oposisi atau dipinggirkan oleh kekuasaan. Abdul Ilah bin Kiran, Sekjen Partai Keadilan dan Pembangunan Maroko, misalnya, mengatakan bahwa partainya akan memimpin Maroko sebagaimana layaknya partai politik, bukan sebagai institusi keagamaan. Seakan mengamini sekularisme, dia menegaskan bahwa tempat wacana dan anjuran keagamaan adalah masjid, bukan dunia politik. Karena itu, “Kami akan menjalankan politik praktis sembari tidak mencampuri urusan pribadi warga negara.”

Upaya menunjukkan moderasi Islam, kalau bukan liberalisme, juga tampak dari berbagai pernyataan petinggi Partai Kebangkitan Tunisia maupun Partai Kebebasan dan Keadilan Mesir. Mereka kini berupaya menghindar atau berkelit dari isu-isu sensitif yang sangat tipikal di kalangan Islamis, seperti soal Islamisasi konstitusi, pemaksaan aturan-aturan syariat, maupun pembatasan kebebasan sipil. Pertanyaannya: apakah kalangan Islamis kini benar-benar mengalami liberalisasi di tengah kekalahan partai-partai non-Islamis, atau ini hanya propaganda politik yang bersifat sementara belaka?

Setidaknya ada dua pandangan dalam melihat gejala ini. Dalam pandangan yang pesimistis, kalangan Islamis dianggap hanya “berlagak liberal” karena kekuasaan memang belum benar-benar dalam genggaman mereka. Secara geopolitik pun, mereka tetap harus ekstrahatihati dalam menghadapi jebakan-jebakan kekuasaan yang bisa menyalip mereka di tikungan-tikungan terakhir. Karena iklim global masih kurang bersahabat, mereka justru harus menunjukkan bahwa kehadiran mereka di tampuk kekuasaan tidak perlu dikhawatirkan. Moderasi dan liberalisasi dianggap bukanlah kondisi yang real dan genuine terjadi di kalangan Islamis.

Sementara itu, kalangan yang optimistis justru menganggap moderasi atau liberalisasi kalangan Islamis ini merupakan bagian dari pergulatan internal yang genuine dan respons Islamis yang masuk akal dalam menghadapi tantangan-tantangan kekuasaan. Pandangan ini juga menyatakan bahwa wacana-wacana yang dikembangkan kalangan liberal dalam soal hubungan agama dan negara serta kebebasan sipil sedikit-banyak telah merembes dan menembus banteng-benteng pertahanan ideologis kaum Islamis arus utama, seperti Ikhwanul Muslimin. Dalam konteks ini, wacana-wacana ekstrem yang berkembang di kalangan Islamis selama ini dianggap hanya sebagai cara mereka untuk mengadakan dan memobilisasi dukungan populer dalam menghadapi rezim yang otoriter. Pandangan kedua ini setidaknya diperkuat beberapa studi tentang pergolakan di jantung Islamis yang antara lain dilakukan Leonard Binder, Raymond William Baker, Shadi Hamid, James Piscatori, maupun Graham Fuller.

Studi Binder dalam Islamic Liberalism: A Critique of Development Ideologies (1988), misalnya, menunjukkan wujud dua jenis liberalisme Islam yang berkembang di Timur Tengah. Jenis pertama mengakui bahwa lembaga-lembaga politik liberal, seperti parlemen, pemilihan umum yang regular, dan pentingnya jaminan kebebasan sipil, dapat dibenarkan (justifiable) dari sudut pandang Islam. Ia tak hanya tidak bertentangan dengan teks-teks dasar Islam, tapi juga dapat dilihat sebagai aplikasi terhadap sebagian semangat Quran dan praktek perpolitikan Islam yang historis.

Jenis kedua liberalisme Islam justru menegaskan bahwa tegaknya negara Islam yang liberal bukan hanya mungkin, tapi bahkan sangat diharapkan. Negara yang Islamis sekaligus menghargai kebebasan warganya tak hanya dianggap sesuai dengan semangat Islam, tapi juga tidak bertentangan dengan kaidah-kaidah legal formal Islam yang tidak secara langsung dan ketat mengatur hubungan antara agama dan politik. Tampaknya, jenis kedua dari liberalisme Islam inilah yang kini mulai berkecambah dan mengalami pengarusutamaan di kalangan Islamis Timur Tengah.

Pandangan Binder ini lebih jauh diperkuat penulis buku Islam Without Fear: Egypt and The New Islamists (2003), Raymond William Baker. Dalam buku ini, Baker menunjukkan varian-varian baru kalangan Islamis Mesir, seperti Muhammad al-Ghazali, Kamal Abu al-Magd, Muhammad Salim al-Awa, Fahmi Huwaidi, Tareq al-Bishri, dan juga Yusuf al-Qardawi. Mereka bukan hanya kalangan Islamis tercerahkan, tapi juga ikut mentransformasi pemikiran politik Islam secara signifikan ke arah yang lebih liberal.

Kalangan-kalangan Islamis arus utama seperti merekalah yang kini memainkan peranan penting dalam mengeliminasi wajah garang Islam dalam kancah politik. Itu setidaknya tecermin dari buku Al-Qardawi, seperti Min Fiqh al-Daulah fi al-Islam (Fikih Kekuasaan dalam Islam) ataupun Thariq al-Bishri dalam Al-Malamih al-Amah li al-Fikr al-Siyasi al-Islami (Corak Umum Pemikiran Politik Islam Modern). Kecenderungan itu lebih jelas lagi dari buku Fahmi Huwaidi, Demi Islam, Demi Demokrasi (Lil Islam wa li al-Dimoqratiyyah), yang sangat menghargai kebebasan sipil dan mampu menghindarkan bahasa politik Islam dari isu-isu trivial yang khas pada kalangan Islamis.

Studi-studi Shadi Hamid, James Piscatori, maupun Graham Fuller juga menunjukkan bahwa akomodasi kalangan Islamis dalam kancah politik praktis justru akan memoderasi dan membuat mereka lebih ahlan wa sahlan terhadap pragmatisme. Wacana-wacana mereka yang bersifat ekstrem maupun eksklusif pelan-pelan akan menjadi lebih inklusif ketika berhadapan dengan tantangan untuk sukses memerintah, yang nyata-nyata penuh rintangan baik di tingkat lokal maupun regional.

Ini artinya, kecenderungan liberalisasi setidaknya menandakan bahwa wacana Islam liberal tidaklah sia-sia dan kini mulai mengalami perembesan—kalau bukan pengarusutamaan—di kalangan Islamis arus utama seperti Ikhwanul Muslimin. Namun apakah negara-negara Arab akan bertransformasi menjadi negara demokrasi liberal, tentu masih harus ditunggu. Sebab, pembaruan Islam acap kali tidak berhasil mengangkut semua gerbong umatnya. Selalu saja ada beberapa segmen yang ketinggalan kereta peradaban, seperti kaum Salafi Mesir saat ini. Sementara Ikhwani mulai friendly terhadap ide dan pandangan Islam yang liberal dan bergerak mendekati model Islamis Turki, kaum Salafi justru kini mengambil dan menempati posisi kolot Ikhwani. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar