Kamis, 15 Desember 2011

Berkaca pada Runtuhnya Jembatan

Berkaca pada Runtuhnya Jembatan
W. Riawan Tjandra, DIREKTUR PASCASARJANA DAN DOSEN FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS ATMA JAYA, YOGYAKARTA
Sumber : KORAN TEMPO, 15 Desember 2011



Jembatan merupakan salah satu wujud terpenting dari sarana pelayanan publik pemerintah dalam bentuk barang yang dipergunakan sebagai fasilitas umum. Keberadaan jembatan menjadi sangat penting karena, di balik sebuah jembatan yang terbentang, tecermin hubungan antar wilayah yang melancarkan akses ekonomi, sosial, dan budaya. Eksistensi sebuah jembatan juga mencerminkan sebuah komitmen penguasa mengenai perlindungan/jaminan keamanan yang diberikan kepada rakyat pengguna terhadap bahaya alam, terutama sungai besar. Maka, di balik ambruknya sebuah jembatan, sebenarnya tak hanya semata-mata runtuhnya sebuah bangunan fasilitas umum atau suatu konstruksi, namun juga terputusnya akses ekonomi, sosial, dan budaya, serta gagalnya perlindungan negara terhadap rakyat yang menggunakan jembatan tersebut.

Jika menggunakan telaah filosofis, ditinjau dari semiotika, jembatan ibarat sebuah uang publik yang menghubungkan negara dengan ruang privat. Ruang publik mempunyai peran yang sangat sentral, yang melaluinya komunikasi sosial dan politik dapat berlangsung. Ruang publik adalah ruang konkret sekaligus abstrak yang di dalamnya opini publik dibentuk. Ruang publik terbentuk ketika dalam suatu masyarakat berkembang minat bersama (common interest) dan mengkomunikasikan serta mensosialisasi minat bersama tersebut tanpa ada paksaan apa pun. Dalam konstruksi sebuah jembatan tecermin hubungan antara negara yang melaksanakan mandat konstitusional untuk melindungi rakyatnya dan aktivitas antarindividu yang menggunakan jembatan sebagai akses penghubung. Ibarat sebuah ruang publik, jembatan menghubungkan kepentingan privat dan fungsi proteksi negara.

Sungguh merupakan suatu ironi, di saat para atlet negeri ini berhasil mendulang emas di SEA Games dan di tengah sukses penyelenggaraan KTT ASEAN 2011 yang digelar di Nusa Dua, Bali, dalam waktu yang hampir bersamaan, baru saja Jembatan Mahakam II di Kutai Kartanegara, yang menghubungkan Tenggarong Seberang dan Tenggarong Kota, runtuh dan menimbulkan korban luka, meninggal, dan tenggelam di arus sungai Mahakam, serta menyebabkan beberapa unit mobil rusak. Berdasarkan temuan dari Pusat Pengendalian Operasi Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Provinsi Kalimantan Timur, Kodim Tenggarong, Kementerian Pekerjaan Umum Bidang Jalan, dan Badan Kesatuan Bangsa Politik dan Perlindungan Masyarakat Kabupaten Tenggarong, jembatan tersebut ternyata sudah enam kali ditabrak ponton, yaitu kapal pengangkut batu bara yang berlambung datar.

Tabrakan terakhir diindikasikan terjadi pada 23 Januari 2010, yang mengakibatkan jembatan sepanjang tak kurang dari 700 meter dengan lebar sekitar 10 meter dan memiliki tinggi 5 meter ini hampir ambruk. Sejak peristiwa itu, BNPB meminta BPPT melakukan audit teknologi dan sekaligus perbaikan dengan mengencangkan baut di bawah jembatan. Runtuhnya jembatan itu bisa juga akibat, saat perbaikan, jembatan yang menjadi jalur alternatif utama lalu lintas Tenggarong Seberang-Tenggarong Kota ini tidak ditutup. Jembatan yang menjadi kebanggaan masyarakat Kutai Kartanegara ini runtuh dalam waktu 30 detik setelah talitali penyangga jembatan gantung ini satu per satu putus. Menjelang jembatan itu runtuh, beberapa saksi mata mengisahkan puluhan
kendaraan dengan tujuan Samarinda sedang antre di jalur kiri.

Jika menilik kisah ambruknya jembatan yang juga dikenal sebagai Jembatan Kutai Kartanegara (Kukar) itu, kultur ketidakdisiplinan bisa diletakkan sebagai salah satu faktor utama penyebab runtuhnya jembatan itu. Melihat rentetan tabrakan kapal dengan tiang penyangga utama jembatan tersebut, seharusnya otoritas yang berwenang mengatur pemanfaatan Sungai Mahakam segera membuat kebijakan menutup akses kapal-kapal yang membahayakan jembatan tersebut. Di sisi lain, sudah jamak di negeri ini, mulai dari pengadaan beras hingga pembangunan jembatan maupun jalan tak lepas dari perilaku koruptif. Contoh material konstruksi dari jembatan yang runtuh tersebut harus diteliti di sebuah laboratorium yang independen untuk meneliti kualitas material konstruksi berdasarkan standar konstruksi menurut regulasi di bidang jasa konstruksi. Setiap kegagalan konstruksi membutuhkan analisis mengacu pada etika maupun regulasi konstruksi untuk menemukan akar masalah yang menjadi penyebab utama kegagalan tersebut. Kontraktor yang membangun dan merawat jembatan merupakan kunci utama untuk menelusuri penyebab robohnya Jembatan Kukar.

Pembangunan sebuah jembatan mengharuskan adanya perencanaan berdasarkan analisis konstruksi yang sangat cermat, apalagi sebagai sebuah jembatan gantung yang panjangnya lebih dari 500 meter, tentu membutuhkan standar keamanan yang sangat tinggi. Jika dibandingkan dengan Jembatan Suramadu yang menghubungkan Pulau Jawa dengan Madura, Jembatan Suramadu memiliki konstruksi yang berbeda dengan Jembatan Kukar. Bahkan jembatan sepanjang 5,4 km yang menghubungkan akses “Kota Buaya” dengan “Pulau Garam” ini diprediksi mampu bertahan hingga 100 tahun. Ditinjau dari aspek manajemen konstruksi, konstruksi yang dipergunakan untuk kedua jembatan tersebut sangat berbeda. Untuk Jembatan Kukar, dipergunakan konstruksi cable stay yang konvensional, sedangkan Jembatan Suramadu menggunakan cable stay namun dirancang secara lebih kokoh dan tinggi. Berbeda dengan konstruksi yang dipergunakan untuk Jembatan Kukar yang merupakan jembatan rangka yang dimodifikasi.

Runtuhnya Jembatan Kukar juga menjadi cermin ketidaksigapan pemerintah terhadap manajemen bencana. Hal itu juga dikeluhkan SBY sendiri ihwal lambatnya informasi yang diterimanya setelah ambruknya Jembatan Kukar. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengkritik lambatnya sistem pelaporan runtuhnya Jembatan Kukar. SBY mengaku menerima informasi musibah ini malah dari SMS dan berita media massa, bukan dari saluran informasi resmi yang seharusnya segera berfungsi setelah terjadinya musibah tersebut. Di era informasi seperti saat ini, tentunya manajemen informasi seperti yang terjadi pada saat robohnya Jembatan Kukar tentu juga mencerminkan kegagalan sistem informasi dan komunikasi pemerintah.

Sinergi Kebijakan

Selain itu, belum adanya sinergi kebijakan antarinstitusi penyelenggara pemerintahan baik pusat maupun daerah tak jarang turut memperparah kondisi pelayanan publik. Pengawasan dan pembinaan jembatan yang ada di seluruh Indonesia sepenuhnya tetap berada di bawah kendali Kementerian Pekerjaan Umum. Hal itu juga berlaku untuk Jembatan Kutai Kartanegara yang roboh tersebut meski jembatan tersebut hanya menghubungkan antarkecamatan. Meskipun dibangun oleh pemerintah kabupaten, Kementerian Pekerjaan Umum semestinya ikut bertanggung jawab mengawasi sejak pembangunan hingga pemeliharaan. Pada saat pemeliharaan pun ada sejumlah pedoman pemeliharaan yang harus dipatuhi. Pengerjaan harus dilakukan dengan menggunakan tenaga ahli di bidangnya.

Dinas perhubungan dan kepolisian setempat seharusnya juga bertanggung jawab dalam menentukan izin akses lalu lintas di atas jembatan itu. Jika perbaikan hanya berupa pengecatan jembatan, maka lalu lintas di atas jembatan masih diperkenankan. Namun, jika merupakan perbaikan berkala yang menyangkut struktur jembatan, seharusnya diambil langkah tegas untuk menutup akses lalu lintas di atas jembatan itu.

Pemeliharaan sebuah jembatan merupakan suatu hal yang tak kalah penting dibandingkan dengan momentum saat membangun jembatan itu. Pemeliharaan sebuah jembatan harus diserahkan kepada kontraktor yang memiliki standar, karena di balik pemeliharaan sebuah jembatan tecermin manajemen keselamatan terhadap rakyat pengguna jembatan itu. Hal itu menjadi bagian dari fungsi proteksi negara terhadap rakyatnya. Jembatan merupakan salah satu sarana pemerintah (government instrument) yang harus dikelola berdasarkan asas-asas umum pemerintahan yang baik, seperti asas kecermatan, asas kehati-hatian, dan asas perlindungan keselamatan publik.

Runtuhnya Jembatan Kukar dan beberapa jembatan lain setelah ambruknya Jembatan Kukar, antara lain di Sulawesi Selatan dan Papua, untuk kesekian kalinya bisa digunakan sebagai cermin mengenai perlunya ada sinergi antaraktor kebijakan dan sekaligus pentingnya memiliki kultur kedisiplinan sebagai sebuah bangsa yang besar. Rusaknya sebuah fasilitas publik selama ini sering kali hanya merupakan ujung dari ruwetnya berbagai persoalan di belakangnya, dari soal lemahnya koordinasi hingga korupsi. Sangat mungkin, di balik kegagalan sebuah konstruksi juga tecermin mentalitas korup yang abai terhadap dampak keselamatan sebuah konstruksi fisik, yang pada tingkat tertentu juga merusak konstruksi sosial suatu negara. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar