Ketika
Guru Besar “Dilecehkan”
Tjipta Lesmana, GURU
BESAR KOMUNIKASI POLITIK UNIVERSITAS PELITA HARAPAN
Sumber
: SINAR HARAPAN, 2 Desember 2011
Sejak
pemerintah mengalokasikan 20 persen anggarannya untuk sektor pendidikan,
Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Dikti), Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan, melancarkan berbagai kebijakan dalam upaya meningkatkan kualitas
akademik pendidikan tinggi.
Salah
satu di antaranya keharusan bagi setiap dosen untuk mengantongi sertifikat dari
Dikti. Nantinya, hanya pengajar yang berstatus “serdos” (sertifikat dosen)
boleh mengajar di perguruan tinggi/universitas. Untuk mendapatkannya, pengajar
tentu harus memenuhi sejumlah persyaratan yang ditetapkan pemerintah.
Sebagai
imbalannya, tiap dosen yang sudah bersertifikat diberikan tunjangan oleh Dikti.
Besarnya, tampaknya, disesuaikan dengan pangkat akademik yang disandangnya.
Makin tinggi pangkat seorang dosen, makin besar tunjangannya.
Untuk
guru besar (profesor), kecuali tunjangan dosen, diberikan juga Tunjangan
Kehormatan, karena mereka dianggap orang-orang "terhormat". Bahkan
kabarnya, ada juga tunjangan khusus. Sebelumnya, selama puluhan tahun tunjangan
guru besar hanya diberikan kepada profesor dari perguruan tinggi negeri (PTN).
Di
atas kertas kebijakan itu bagus. Para dosen bertambah semangat untuk mengejar
“cum” dan pangkat akademik supaya tunjangan dari pemerintah terus meningkat.
Para profesor juga gembira seraya berterima kasih kepada pemerintah.
Tunjangan
kepada dosen diberikan setiap tahun, dibayar dua kali setahun, masing-masing
untuk semester ganjil dan semester genap. Untuk itu, tiap semester dosen
diwajibkan mengajukan laporan BKD (Beban Kerja Dosen) kepada Dikti melalui
Kopertis (Koordinasi Perguruan Tinggi Swasta) di daerahnya. Berapa persisnya
tunjangan dosen, tidak ada yang tahu.
Saya
sebagai guru besar tidak mengetahui persis berapa besaran tunjangan guru besar
yang diberikan pemerintah. Pihak Dikti tidak pernah mengumumkan. Mestinya,
jumlah dan cara perhitungannya diumumkan secara terbuka, supaya jelas dan kita
sama-sama mengeceknya. Maklum, di republik tercinta ini, pengeluaran apa saja
cenderung disunat atau ditilep oknum-oknum pejabat kotor.
Pada
awalnya, tunjangan kepada dosen bersertifikat diberikan secara otomatis, setiap
Mei dan Oktober/November. Namun, tunjangan untuk Mei tahun ini tiba-tiba
dihentikan sementara tanpa ada pemberitahuan. Para pengajar bertanya-tanya.
Semula, dikabarkan tunjangan itu macet, susah dicairkan di Kementerian
Keuangan.
Tapi,
pada Agustus 2011 pihak Kopertis mengeluarkan pemberitahuan resmi bahwa
tunjangan dosen “mulai sekarang” tidak diberikan otomatis, melainkan bergantung
pada laporan BKD. Hanya dosen yang: (a) sudah memasukkan laporan BKD per
semester, (b) isinya benar, dan (c) sudah diverifikasi Kopertis yang berhak
menerima tunjangan.
Benar
dan Diverifikasi?
Apa
yang dimaksud “isian BKD benar dan sudah diverifikasi” Kopertis? Di sinilah
permasalahan berawal! Ternyata, tidak mudah mengisi BKD yang benar, yang sesuai
ketentuan yang dibuat pemerintah.
Pertama,
dosen yang melakukan aktivitas di luar (kampus) harus mendapat persetujuan dari
pemimpinnya. Kalau Anda seorang dosen, misalnya diminta berceramah di Markas
Besar Kepolisian RI, sebelumnya Anda harus mengantongi persetujuan tertulis
dari pemimpin anda. Jika tidak ada izin, kegiatan itu tidak bisa dimasukkan
dalam laporan BKD.
Apakah
para pejabat Kopertis dan Dikti tidak paham hukum? Ketentuan hukum tidak boleh
berlaku surut! Ini prinsip hukum yang amat mendasar dan ditulis jelas di KUHAP.
Lagi
pula, kenapa harus ada persetujuan dari pemimpin in advanced? Bagaimana
kalau undangan datang mendadak? Bagaimana kalau seorang profesor mendadak
diundang untuk memberikan pendapat di layar televisi tentang masalah bangsa
yang serius? Bagaimana kalau pemimpin kita sedang cuti?
Kedua,
beban kerja dosen, termasuk profesor, tidak boleh melebihi 16 SKS/semester.
Jika di BKD beban tugas Anda melebihi 16 SKS, kesimpulannya otomatis diberikan
predikat “T” alias tidak lolos, padahal kesimpulan laporan Anda harus "M“
(memenuhi syarat).
Bagaimana
jika seorang guru besar, de facto, pada semester berjalan melaksanakan
ketiga Tri Dharma Perguruan Tinggi lebih dari 16 SKS? Bahkan 20 SKS lebih? Ada
dua opsi yang harus dilakukan sesuai arahan orang Dikti. Pertama, SKS-SKS yang
lebih diberikan kualifikasi “beban lebih”, sehingga tidak dihitung SKS-nya.
Kedua, kegiatan-kegiatan Tri Dharma sebagian jangan dimasukkan alias dilempar
ke tong sampah!
Bukankah
ini sama juga menyuruh profesor curang atau berbohong? Ya, kita disuruh
berbohong, teriak beberapa teman saya serempak! Mestinya, profesor yang memang
mempunyai kehebatan melakukan kegiatan lebih dari 20 SKS/semester diberikan
ekstra penghargaan atau ekstra tunjangan, bukan sebaliknya, tidak bisa keluar
tunjangannya dengan alasan laporan BKD-nya ditolak sistem.
Jangan
lupa, kemampuan intelektual seseorang berbeda. Ada akademikus yang mampu
membaca cepat, menulis supercepat, menganalisis permasalahan cepat, dan setiap
tahun sanggup menyempurnakan SAP-nya. Ada juga akademikus yang lelet,
membaca teks bahasa Inggris pun tidak mampu, bahan kuliah diberikan bak tape
recorder, dan tidak pernah direvisi selama 20 tahun!
Mengapa
dosen yang berkemampuan luar biasa disamakan penghargaannya dengan dosen yang
pas-pasan kapasitas intelektualnya? Lebih tragis lagi, dosen yang berprestasi
hebat itu disuruh berbohong, disuruh menyembunyikan kinerjanya untuk mengajar,
meneliti, dan mengabdi kepada masyarakat.
Menulis
Buku
Ketiga,
dosen wajib setidak-tidaknya dalam kurun waktu tiga tahun menulis buku,
melakukan penelitian, dan menyebarluaskan ilmunya kepada masyarakat. Ini bagus,
tapi ketika dosen menunjukkan karya buku yang ditulisnya, dipermasalahkan
hal-hal tetek-bengek dengan tuduhan tak memenuhi persyaratan ilmiah.
Keempat,
tunjangan dosen rupanya dibayarkan “per blok”. Jika di satu PTS terdapat 10
dosen bersertifikat, dan ada lima yang laporan BKD-nya dinilai belum memenuhi
persyaratan, tunjangan ke-10 dosen itu macet, menunggu perbaikan laporan BKD
lima dosen itu.
Logikanya,
dosen yang dinilai BKD-nya memenuhi syarat harus langsung dibayarkan
tunjangannya. Dalam laporan BKD terakhir, saya sudah masukkan penulisan buku
dan penelitian yang saya lakukan, serta begitu banyak kegiatan pengabdian
kepada masyarakat dan penyebarluasan ilmu saya kepada masyarakat. Kenapa masih
juga ditolak? No news!
Kelima,
satu PTS “dipegang” satu assessor. Assessor itu tentu juga sibuk
dengan kegiatannya. Senin (28/11), pihak Kopertis III mengundang seluruh guru
besar yang ada, sekitar 170 orang. Mereka diberi penjelasan tentang pengisian
laporan BKD yang benar.
Banyak
di antara yang hadir kecewa, bertanya-tanya, kenapa kita dipersulit. Setelah
itu secara umum, masing-masing PTS diminta berkonsultasi lebih dalam lagi
dengan assessor yang sudah ditetapkan.
Sebaiknya
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, yang adalah profesor doktor dan mantan
rektor, memperbaiki sistem pelaporan dosen bersertifikat. Buatlah sesederhana
mungkin, tak perlu hitung-hitungan jelimet. Guru besar kok disuruh
mengerjakan administrasi yang begitu jelimet.
Tugas
pokok guru besar di seluruh dunia sama, yakni meningkatkan kualitas akademik,
menciptakan inovasi akademik, serta meningkatkan kepeduliannya kepada
masyarakat melalui pengabdian ilmunya.
Apakah
tunjangan kepada dosen dan guru besar dari pemerintah sesungguhnya diberikan
setengah hati? Atau semua ini memang bagian dari kesemrawutan birokrasi
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan karena penyaluran tunjangan untuk guru
pun ternyata problematik? ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar