Ironi
Agrobisnis Hortikultura
Bustanul Arifin, GURU BESAR UNIVERSITAS LAMPUNG;
PROFESSORIAL FELLOW INTERCAFE DAN MB-IPB
Sumber
: KOMPAS, 12 Desember 2011
Diskusi publik tentang kinerja hortikultura
Indonesia selama seminggu terakhir seharusnya menjadi panggilan bangun tidur
(wake-up call)
bagi perumus kebijakan dan pejabat pemerintah.
Sektor agrobisnis yang seharusnya berpotensi
mendorong kesejahteraan petani dan memajukan pertanian Indonesia ternyata jauh
dari harapan. Kinerja produksi tidak kunjung membaik, jika tidak dikatakan
semuanya hampir menurun.
Pada periode 2007-2010, produksi mangga turun
29 persen menjadi 1,3 juta ton, jeruk turun 23 persen menjadi 2 juta ton,
durian turun 17 persen menjadi 0,5 juta ton, rambutan turun 27 persen menjadi
0,5 juta ton, dan manggis turun 24 persen menjadi hanya 84.000 kilogram.
Produksi pepaya, pisang, dan markisa naik tipis.
Pada periode yang sama, produksi bawang merah
naik 31 persen menjadi 1,1 juta ton, produksi cabai naik 17 persen menjadi 1,3
juta ton, produksi kubis naik 7 persen menjadi 1,4 juta ton, produksi wortel
naik 14 persen menjadi 400.000 ton, dan produksi kentang naik 6 persen menjadi
1,1 juta ton.
Kinerja perdagangan hortikultura setali tiga
uang. Alih-alih menghasilkan devisa negara, impor sektor hortikultura semakin
besar. Sampai Oktober 2011, nilai impor komoditas dan produk olahannya itu
tercatat Rp 17,6 triliun atau naik 38 persen dari periode yang sama tahun 2010.
Sebaliknya, upaya menembus pasar ekspor
komoditas hortikultura tropis nan eksotis, seperti markisa, manggis, paprika,
anggrek ungu, dan mawar hitam, seakan menghadapi tembok besar. Persyaratan
karantina yang superketat di negara tujuan masih sangat sulit ditembus oleh
pelaku hortikultura domestik, kecuali hanya beberapa eksportir. Dalam urusan
ini, pemerintah masih belum menunjukkan kinerja yang dapat dibanggakan.
Agrobisnis hortikultura memang sangat
bervariasi, baik dalam kapasitas pelaku, skala usaha dan akses terhadap
informasi, jaringan pasar, teknologi, pembiayaan, maupun perbankan. Subsektor
sayuran umumnya melibatkan petani kecil dengan tingkat pendidikan tidak terlalu
tinggi, skala usaha ekonomi tidak terlalu efisien, dan sering terombang-ambing
oleh struktur pasar yang tidak bersahabat.
Subsektor buah-buahan masih mengandalkan
musim, tanpa sentuhan teknik budidaya yang memadai sehingga juga cukup sulit
menghadapi keganasan administrasi bisnis supermarket dan ritel modern. Kedua
subsektor ini seakan mewakili sebagian besar dari agrobisnis hortikultura
Indonesia yang sampai saat ini masih sangat rentan terhadap kejutan-kejutan
perdagangan internasional, seperti pada kasus banjir impor kentang dan bawang
merah selama ini.
Sebagaimana khasnya sektor lain yang berisiko
tinggi, kesalahan penghitungan sedikit saja pada ekonomi hortikultura dapat
mengakibatkan kerugian yang tidak kecil. Tidak terlalu mengherankan apabila inisiatif
investasi di sektor hortikultura yang sebenarnya berpenghasilan sangat tinggi
itu juga cukup rendah. Pemerintah seakan tidak mampu bekerja keras untuk
memfasilitasi aktivitas investasi sektor hortikultura yang amat dibutuhkan saat
ini.
Beberapa kasus lapangan seakan mengonfirmasi
ironi agrobisnis hortikultura sehingga solusi yang harus diambil juga perlu
lebih spesifik, tidak pukul rata.
Beberapa petani bawang di Brebes, Jawa
Tengah, dua minggu lalu, bercerita tentang ketidakpastian dan keterpurukan agrobisnis
bawang merah yang mereka usahakan. Petani jelas menderita kerugian ekonomi (dan
emosional) jika harga jual bawang merah jatuh sampai Rp 3.000 per kilogram.
Ekspektasi petani ketika mulai tanam, harga jual bawang merah setidaknya Rp
10.000 per kilogram. Ketua kelompok tani dengan emosional menyampaikan usul
kepada pemerintah agar menutup total impor bawang merah.
Seorang sahabat yang menekuni bisnis
buah-buahan sejak mahasiswa di era 1980-an ternyata harus mengalami
jatuh-bangun yang dahsyat karena agrobisnis buah-buahan memang penuh tantangan
dan risiko.
Risiko usaha, seperti gangguan cuaca serta
serangan hama dan penyakit tumbuhan, tidak terlalu berat dan masih dalam batas
toleransi. Beban menjadi besar ketika pelaku di sektor hulu ini harus menanggung
risiko pemasaran, potongan harga, kontribusi promosi, dan lain-lain yang
diterapkan supermarket dan hipermarket yang menjadi outlet pelaku agrobisnis
buah-buahan.
Pemerintah perlu mengambil langkah kebijakan.
Pertama, izin impor produk hortikultura lebih diperketat, terutama yang
berpotensi mencederai ekonomi petani kecil yang jumlahnya sangat besar.
Kementerian Pertanian perlu lebih selektif memberikan rekomendasi impor sambil
memanfaatkan kaidah-kaidah perlindungan teknis dan ekonomis sebagaimana yang
menjadi kewenangan Badan Karantina Pertanian.
Kedua, pembenahan struktur pasar hortikultura
dalam negeri, termasuk peningkatan kapasitas pelaku tentang peningkatan mutu,
persyaratan kesehatan sesuai tuntutan konsumen modern yang lebih beragam.
Ketiga, pembenahan fungsi intelijen pasar dan
perbaikan diplomasi ekonomi oleh semua kantor perwakilan Indonesia di luar
negeri. Langkah ini selain bermanfaat untuk promosi negara Indonesia, juga akan
berkontribusi pada peningkatan daya saing agrobisnis secara umum. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar