Ekumenisme
dan Masyarakat Terbuka
Ulil Abshar-Abdalla, AKTIVIS JARINGAN ISLAM LIBERAL (JIL)
Sumber
: JIL, 12 Desember 2011
Dalam setiap peradaban atau lingkungan
kebudayaan, atau lebih kecil lagi lingkungan tradisi tertentu, selalu akan kita
jumpai dua kelompok yang saling berseberangan: kaum puritan dan kaum ekumenis.
Kaum puritan – yakni mereka yang hendak menjaga kemurnian tradisi dan
peradaban. Kaum ekumenis – yakni mereka yang membuka diri pada komunikasi
dengan, juga pengaruh dari tradisi dan peradaban yang lain.
Entah kenapa, tampaknya setiap peradaban
cenderung membutuhkan semacam “lawan” di seberang yang menjadi kebalikan dari
citra-diri (self image) peradaban itu – semacam “enemy in the mirror” (istilah
Roxanne L. Euben). Mungkin dengan lawan semacam itu, suatu peradaban agak mudah
menegakkan garis batas antara apa yang tergolong “peradaban” dan
“non-peradaban”.
Bangsa Yunani, misalnya, mengenal istilah
“barbar” (dari kata barbaros): mereka yang bukan warga negara (civis), dan
dengan demikian juga tak beradab. Dalam tradisi Yahudi, dikenal istilah
gentiles: orang-orang non-Yahudi yang dipandang lebih rendah karena menyembah
“ilah-ilah” atau Tuhan palsu. Dalam tradisi Arab, dikenal istilah ‘ajami
(plural: ‘ajam): orang-orang non-Arab yang berkomunikasi dalam bahasa yang
buruk (‘ujmah), dan karena itu sulit dipahami. Dalam tradisi fikih Islam
klasik, dikenal dua istilah yang oleh kaum Islamis-radikal di era modern
dieksploitasi untuk merumuskan pandangan dunia yang dikotomis: dar al-Islam
(negara Islam) dan dar al-harb (negara perang atau non-Islam). Dalam peradaban
India kuno dikenal istilah mleccha – yakni orang-orang yang berasal dari luar
etnik Aria dan dianggap sebagai bangsa yang kotor. Dan seterusnya, dan
seterusnya.
Dalam setiap peradaban terdapat juga
kecenderungan “centrism” – kecenderungan melihat dirinya sebagai pusat dunia
(paku buwana, paku dunia, istilah dalam tradisi politik Jawa), sebagai puncak
perkembangan dari yang terbaik pada zamannya, dan karena itu cenderung
memandang orang-orang lain yang berada di luar lingkup pengaruhnya dengan mata
yang agak merendahkan. Bahkan, suatu peradaban kadang memandang “peradaban”
lain sebagai pesaing, kalau tidak malah lawan yang harus disingkirkan.
Tentu saja, kecurigaan antara peradaban tak
menghalangi adanya kontak dan saling pengaruh antar mereka. Secara historis
kontak antar peradaban sebetulnya jauh lebih sering berlangsung ketimbang
permusuhan. Meskipun tetap ada, permusuhan biasanya bersifat intermittent,
kadang-kadang saja, tidak berlangsung terus-menerus.
Wahana di mana kontak ini berlangsung sangat
beragam, umumnya pada sektor budaya, pengetahuan, ekonomi, dan kehidupan
sehari-hari yang berwatak fluid, cair. Salah satu contoh sangat baik adalah
kegiatan penerjemahan buku-buku berbahasa Yunani pada era Islam klasik,
persisnya pada zaman dinasti Abbasiyah (r. 750-1519 M) di Baghdad – terutama
buku-buku filsafat. Kegiatan penerjemahan yang penuh antusiasme ini direkam
oleh seorang Arabist dari Universitas Yale, Dimitri Gutas, dalam bukunya Greek
Thought, Arabic Culture (1998).
Kontak dan saling pengaruh antar peradaban
memang sama sekali tak terhindarkan. Hampir mustahil membayangkan suatu
peradaban yang “murni” secara total, serta terisolasi sama sekali dari
pengaruh-pengaruh di sekitarnya. Memang, dalam setiap peradaban/kebudayaan
selalu kita jumpai kaum purist, mereka yang menghendaki kemurnian total bagi
peradaban tertentu, serta hendak membersihkan elemen-elemen asing yang “najis”
yang akan mengotorinya.
Tetapi, yang menghuni peradaban, bukan hanya
kaum puritan saja. Ada orang-orang lain yang, saya kira, jauh lebih banyak
jumlahnya, yang ingin saya sebut sebagai kaum ekumenis – mereka yang hendak
membangun kontak dan komunikasi antar peradaban dan kebudayaan (hiwar
al-hadarat, istilah mantan presiden Iran Muhammad Khatami dulu).
Yang menarik, permusuhan antar peradaban
biasanya cenderung terjadi antara kaum “puritan” dari peradaban yang satu
vis-a-vis kaum puritan dari peradaban lain. Apa yang pernah dikatakan oleh
Tariq Ali, penulis The Clash of Fundamentalisms, memang tepat: yang kerap
terjadi adalah benturan antara kaum fundamentalis dari satu tradisi tertentu
dengan kaum fundamentalis dari tradisi lain – fundamentalisme Usamah bin Ladin
di satu pihak, dan fundamentalisme George W. Bush di pihak lain.
“Permusuhan” juga biasa terjadi antara kaum
puritan dan ekumenis dalam peradaban (atau agama) tertentu; sementara kaum
ekumenis dari pelbagai peradaban yang berbeda-beda biasanya akan mudah untuk
saling berjumpa satu dengan yang lain. Kaum ekumenis yang biasanya pro-dialog
dari agama tertentu, misalnya, juga akan dengan mudah bertemu serta
berkomunikasi dengan kaum ekumenis dari agama lain.
Jumlah kaum ekumenis dalam setiap peradaban
biasanya jauh lebih banyak ketimbang kaum puritan. Salah satu penjelasannya
sederhana: wahana peradaban yang paling kongkrit adalah kehidupan sehari-hari
yang dihuni oleh masyarakat pada umumnya. Watak kehidupan semacam itu biasanya
terbuka, cair, dan akomodatif. Dalam arena kehidupan sehari-hari inilah
perjumpaan dan saling-pengaruh antar peradaban dan kebudayaan biasa berlangsung
secara diam-diam. Proses saling pengaruh itu kerap berlangsung di luar
pengawasan kaum “literati” atau “terpelajar” (the learned) yang biasanya
menobatkan dirinya sebagai penjaga kemurnian.
Pengaruh kaum puritan kerap menguat dalam
momen-momen tertentu – misalnya saat terjadi perubahan yang cepat yang
menghancurkan fondasi normatif dan kelembagaan yang lama dalam sebuah
masyarakat, sementara fondasi yang baru belum dirumuskan. Dalam momen-momen
krisis atau adanya ancaman dari “luar”, pengaruh kaum puritan juga biasanya
akan meningkat. Bahaya akan muncul manakala puritanisme itu kemudian
bercampur-aduk dengan unsur “politik” (dalam pengertian perebutan sumber-sumber
daya yang biasanya langka dalam masyarakat). Fundamentalisme muncul persis pada
titik itu: yakni proses politisasi atas “perbedaan” yang ada antar budaya,
peradaban, tradisi, atau agama (politicization of difference, dalam istilah
Thomas Meyer, seorang political theorist dari Jerman).
Sebagaimana ditunjukkan dalam banyak kasus di
negeri-negeri Timur Tengah dan lainnya, peran kaum puritan juga membesar dalam
situasi di mana kekuasaan politik otoriter bercokol untuk waktu yang lama
(Indonesia, Mesir, Tunisia, ds.), menghancurkan kekuatan-kekuatan pengimbang
(oposisi) dalam masyarakat. Dalam situasi semacam itu, biasanya puritanisme
muncul sebagai artikulator kepentingan masyarakat luas yang ditindas oleh
penguasa otoriter.
Begitu kekuasaan otoriter itu tumbang,
digantikan dengan sistem baru yang lebih terbuka, pelan-pelan pengaruh kaum
puritan akan memudar, sementara kecenderugan ekumenis akan menguat. Politisasi
identitas dan perbedaan yang dilakukan oleh kaum puritan biasanya akan mudah
terjadi dalam masyarakat yang tertutup. Dalam masyarakat terbuka (open society
dalam pengertian yang dipahami oleh Karl Popper), di mana informasi,
pengetahuan serta ‘penelaahan kritis’ (critical inquiry) tersedia secara
memadai bagi masyarakat, puritanisme (fundamentalisme) biasanya akan
pelan-pelan melemah, sementara ekumenisme akan mengalami pengukuhan. Masyarakat
pengetahuan tidak bisa lain kecuali akan menjadi masyarakat yang terbuka,
karena watak pengetahuan itu sendiri yang selalu membuka diri pada kritik dan
kontra-kritik (bandingkan dengan ideologi yang biasanya cenderung menutup).
Yang menarik ialah tekanan yang begitu besar
yang diberikan oleh Islam terhadap dimensi pengetahuan (‘ilm). Dalam pandangan
saya, ini menandakan visi sosial yang dikehendaki Islam ialah tegaknya
masyarakat yang terbuka (open society), di mana pertukaran informasi,
pengetahuan dan perbedaan pendapat bisa berlangsung dengan bebas. Masyarakat
yang tertutup (biasanya menjadi ciri khas puritanisme) tidaklah meggambarkan
visi sosial yang dikehendaki oleh Islam.
Masyarakat yang terbuka biasanya juga akan
memperkuat kecenderungan-kecenderungan yang moderat dalam masyarakat, sementara
masyarakat yang tertutup justru mendorong tumbuhnya sejumlah kecenderungan
puritan yang ekstrem. Tentu saja, dalam masyarakat yang terbuka bisa saja
muncul tendensi puritan pada golongan tertentu, biasanya sebagai reaksi atas
lanskap kultural dalam masyarakat yang kian mencair, melemahnya identitas,
serta suasana sosial yang cenderung “serba boleh” (easy-going-ism).
Akan tetapi kecenderungan puritan semacam ini
sulit meluaskan cakupan pengaruhnya karena kleim puritanisme oleh satu kelompok
akan dengan mudah disanggah oleh kleim serupa dari kelompok lain. Dalam
masyarakat yang terbuka, sejumlah kleim yang berbeda-beda tentang puritanisme
bisa muncul secara simultan dan berkompetisi satu dengan yang lain. Dalam
suasana semacam ini, terjadi proses “check and recheck” pada tataran kehidupan
kebudayaan. Inilah yang menjelaskan kenapa moderasi adalah ciri yang selalu
menandai masyarakat yang terbuka.
Jika Islam menghendaki tegaknya masyarakat
yang moderat (ummatan wasathan; QS 2:143), maka cita-cita ini tidak bisa lain
kecuali dicapai dengan bentuk masyarakat yang terbuka. Ada kecenderungan untuk
memahami ide “moderasi” sebagai sesuatu yang sudah ada begitu saja dari awalnya
(given). Moderasi, menutu hemat saya, adalah hasil akhir dari suatu proses, dan
harus diperjuangkan, bukan sesuatu yang sudah ada dan tersedia begitu saja
dalam masyarakat. Proses menuju moderasi tak bisa dicapai kecuali melalui
masyarakat yang terbuka di mana pandangan-pandangan yang “ekstrem” (termasuk
juga yang puritan) dengan bebas bisa dikemukakan, dan pelan-pelan, melalui
proses dialog terus-meneru, dua kecenderungan itu kemudian mengalami proses
“pelunakan”.
Dalam masyarakat yang terbuka, fungsi dialog
adalah persis seperti mesin bubut yang menghaluskan permukaan yang kasar pada
setiap benda. Sebaliknya, dalam masyarakat yang tertutup, “permukaan-permukaan
yang kasar” itu tak mendapatkan kesempatan untuk mengalami proses gesekan
dengan kecenderungan yang beragam dalam masyarakat untuk kemudian, melalui gesekan
itu, mengalami penghalusan (moderasi).
Demikianlah, jika kita menghendaki agar
kecenderungan ekumenistis, dialog, dan moderasi makin menguat dalam masyarakat,
maka tiada jalan lain kecuali kita harus terus berusaha membangun masyarakat
yang terbuka, sekaligus mempunya komitmen yang kuat pada kerangka etis
tertentu. Saya hendak menyebutnya “open and ethical society”.●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar