Dari
Sondang hingga Tragedi Mesuji
Endang Suryadinata, ALUMNUS ERASMUS UNIVERSITEIT ROTTERDAM, BELANDA
Sumber
: KORAN
TEMPO, 20
Desember 2011
Aktivis hak asasi manusia Sondang Hutagalung, 22 tahun, mahasiswa Fakultas
Hukum Universitas Bung Karno, yang telah melakukan aksi bakar diri di depan
Istana Negara pada 7 Desember, akhirnya meninggal pada 10 Desember, bertepatan
dengan peringatan Deklarasi Hak Asasi Manusia PBB.
Jika menilik aksi bakar yang dilakukan di depan Istana Negara,
jelas almarhum
punya pesan untuk rezim ini. Berdasar cerita dari teman-teman
dekatnya, Sondang mulai kecewa berat sejak Presiden SBY tidak merespons puluhan amplop berisi surat para korban pelanggaran hak asasi manusia dari
Aceh hingga Papua yang disampaikan ke Istana pada Agustus silam. Padahal, ketika
Nazaruddin kirim surat saja, Presiden membalas. Sondang kecewa Presiden tidak
segera merespons surat para korban pelanggaran HAM. Padahal Presiden atau
pemerintah mempunyai tanggung jawab dalam penegakan hak asasi. Pasal 28 I ayat
(4) UUD 1945 menyebutkan bahwa penegakan HAM merupakan salah satu kewajiban
konstitusional pemerintah.
Tapi apa yang bisa dilakukan pemerintah SBY? Hanya melakukan
pembiaran.
Seperti diketahui, hingga kini banyak kasus pelanggaran HAM berat masa
silam dibiarkan menggantung. Simak misalnya janji Presiden SBY yang akan mengungkap
kasus pembunuhan pejuang HAM, Munir, yang terbunuh pada 7 September 2004. Dalam
kasus Munir, yang juga amat dikenal masyarakat Belanda, Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono hanya pandai membuat retorika, tapi mengecewakan istri Munir, para
sahabat Munir seperti Sondang, dan para aktivis HAM di mana pun. Sebab,
ternyata dalang pembunuhan Munir hingga kini tidak diadili.
Impunitas
Sementara pada awal 2011 para tokoh lintas agama kita menuding
Presiden SBY melakukan pembohongan, kebohongan ini paling tampak jelas terjadi di
ranah HAM, karena ternyata pemerintah SBY membiarkan banyak kebohongan
terus dilanggengkan. Ini bukan hanya kasus Munir, tetapi juga
melibatkan puluhan kasus pelanggaran HAM di masa lalu, mulai peristiwa 1965 yang
korbannya mencapai jutaan hingga kasus orang hilang menjelang reformasi 1998
atau Tragedi Mei 1998 yang hingga saat ini masih menyisakan kepiluan
bagi para korban atau keluarga korban.
Padahal sebenarnya pemerintah SBY bisa membuat gebrakan baru
dengan menyingkap siapa dalang sesungguhnya dari pelanggaran HAM berat masa
silam. Sayang, pemerintah saat ini tampaknya lebih suka meneruskan tradisi melestarikan
impunitas, yang tetap dinikmati orang-orang kuat yang ditengarai
sebagai pelanggar HAM. Sedangkan harapan untuk mendapatkan
keadilan tak dirasakan para korban dan keluarganya. Pemerintah SBY seharusnya
bisa mengadili orang-orang kuat. Tapi hanya pembiaran yang dilakukan. (Baca
penelitian berjudul Shadows and Clouds: Human Rights in Indonesia, Shady
Legacy, Uncertain Future, 2010.)
Akibatnya, negeri kita tidak bisa menjadi negeri yang kuat, karena
ternyata pemerintah tidak berani mengadili orang-orang kuat, khususnya para pelaku
pelanggaran HAM berat. Indonesia kalah dibanding Filipina, Korea Selatan, atau
Taiwan yang berani mengadili para mantan presiden yang notabene adalah
orang-orang kuat. Karena tidak berani mengadili orang kuat dan para kroninya,
akibatnya hukum kita tetap penuh dengan rekayasa dan sandiwara, sementara
aparat hukum kita seperti jaksa, hakim, dan polisi lebih suka memihak
kepentingan orang-orang kuat, seperti penguasa atau pengusaha dan siapa pun
yang bisa menyuap.
Tiap minggu para anggota keluarga korban pelanggaran HAM berunjuk
rasa
di depan Istana Negara. Tapi pernahkah Presiden memberi perhatian
atau
sekadar membuka kaca mobilnya? Presiden agaknya sudah jatuh dalam
pragmatisme bahwa isu HAM tidak memberi keuntungan politis apa pun bagi
pemerintahnya. Akibatnya, dengan mudah Presiden SBY menulikan telinga terhadap teriakan
keluarga para korban HAM.
Padahal payung hukum untuk penegakan HAM sudah disediakan, seperti
Undang-Undang No. 39/1999 tentang HAM, UU No. 26/2000 tentang Pengadilan
HAM, UU No. 12/2005 tentang Ratifikasi Kovenan Internasional untuk
Hak-hak Sipil dan Politik, serta UU No. 40/2008 tentang Penghapusan
Diskriminasi Ras dan Etnis. Komnas HAM juga sudah ada, tapi Komnas ini tak
lebih daripada macan kertas karena sudah keder ketika harus menghadapi orang-orang
kuat yang kebetulan jadi pelanggar HAM.
Instrumen hukum tentang HAM itu tampaknya hanya menjadi pemanis
bagi bangsa ini dalam pergaulan masyarakat internasional yang kian menghargai
HAM. Kita hanya ingin dinilai Indonesia sudah beradab, meskipun
dalam kenyataannya masih terjadi cukup banyak pelanggaran hak asasi, dari
kebebasan beragama, beribadat atau mendirikan tempat ibadah, hingga konflik
tanah warga dengan aparat.
Tragedi Mesuji
Memprihatinkan bahwa masalah hak asasi atau yang menyangkut
martabat
manusia di negeri ini tidak pernah menjadi prioritas utama. Nyawa
warga sipil
biasa dikorbankan oleh aparat entah di Sidoarjo, Aceh, atau Papua
hingga detik
ini. Repetisi pelanggaran HAM masih terus berlangsung hingga
sekarang. Akibatnya, negeri kita seolah-olah kian terseok-seok menanggung beban
sejarah
pelanggaran HAM. Menurut filsuf Amerika berdarah Spanyol, George Santayana
(1863-1952), negeri yang tak mau belajar dari sejarah memang akan terus dikutuk
mengulangi kesalahan yang sama.
Simak saja, kita baru dikejutkan oleh laporan pembantaian 30-an
petani di Mesuji Lampung dan Sumatera Selatan, yang berlangsung sejak 2008
hingga 11 November 2011. Bayangkan, sekitar 20 ribu warga sudah lama menempati tanah
warisan para leluhur. Tiba-tiba mereka dipaksa memberikan tanahnya kepada
perusahaan kelapa sawit atau karet. Kini sudah 9.000 hektare tanah warisan leluhur
(adat) dicaplok, 100 orang lebih masih dipenjara, dan ribuan orang mengungsi
serta terusir dari rumah dan tanahnya. Ini mirip Israel yang mengusir warga
Palestina sebelum 1948.
Aparat keamanan, yang seharusnya berpihak pada warga, malah lebih
suka menjadi “centeng” perusahaan. Sebagaimana polisi dan TNI AD yang lebih
suka
menjadi “satpam” bagi Freeport di Papua. Presiden SBY harus turun
tangan menangani kasus di Mesuji. Jangan ada birokrasi lagi dalam penuntasan
kasus
pelanggaran hak asasi di Mesuji. Tak perlu dibentuk tim ini-tim
itu. Segera cabut izin perusahaan sawit. Izin itu dikeluarkan pemerintah. Ini
solusi yang mendesak untuk diambil. Nyawa manusia atau HAM harus didahulukan.
Para korban sudah lelah dan capek.
Teman saya, mantan Asisten Teritorial Kepala Staf Angkatan Darat
Mayor Jenderal TNI (Purn) Saurip Kadi, yang mendampingi para korban Mesuji di DPR,
sudah mengancam akan membawa kasus Mesuji ke Mahkamah Internasional di Den Haag
jika tidak ada solusi yang berpihak kepada HAM warga Mesuji. Begitulah negeri
ini akan terus terjebak dalam kesalahan yang sama, karena tidak mau belajar
dari sejarah, dari kesalahan masa silam. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar