Menangkis
Isu ”Rush Money”
Paul Sutaryono ;
Pengamat Perbankan; Mantan Assistant Vice President BNI
|
KOMPAS, 21 Januari
2017
Pada
minggu ketiga November 2016, industri perbankan nasional digegerkan oleh isu
(kabar burung) suatu ajakan agar mengambil uang di bank secara besar-besaran
(rush money) pada 25 November 2016. Isu itu beredar luas di media sosial.
Bagaimana
menangkis isu yang merupakan potensi risiko bagi perbankan itu?
Isu
itu sempat menyentak. Tak kurang dari Menteri Koordinator Perekonomian,
Menteri Keuangan, Gubernur Bank Indonesia (BI), dan Ketua Otoritas Jasa
Keuangan (OJK) bergegas memberikan penjelasan bahwa isu tersebut tidak benar
sama sekali. Penjelasan itu amat penting dan mendesak untuk mencegah potensi
risiko yang lebih luas lagi.
Sejatinya,
teknologi informasi (TI)—mengingat isu itu disebarkan melalui media sosial
(medsos)—bagai pedang bermata dua. Di satu sisi, TI sangat bermanfaat untuk
meningkatkan nilai tambah produk dan jasa perbankan. Misalnya, internet
banking, SMS banking, mobile banking,dan phone banking yang berguna untuk
memanjakan nasabah bank dalam melakukan transaksi perbankan tanpa pergi ke
kantor bank terdekat.
Akan
tetapi, di sisi lain, TI juga bisa dimanfaatkan untuk tujuan negatif yang
bisa merugikan masyarakat umum, bahkan negara. Sungguh, isu itu hanya nebeng
rencana demo jilid dua pada 25 November 2016, menyusul demo 4 November 2016.
Memang
benar otoritas moneter (BI) dan otoritas fiskal (Kementerian Keuangan) serta
penjaga gawang lembaga keuangan perbankan dan non-perbankan (OJK) sudah
berhasil menepis isu busuk tersebut. Namun, isu semacam itu dikawatirkan akan
kembali merebak dengan menunggangi hiruk-pikuk politik yang tensinya sedang
meninggi menjelang pilkada serentak pada Februari 2017.
Aneka langkah strategis
Lantas,
apa saja langkah strategis yang layak diambil oleh otoritas?
Pertama,
untuk mencegah potensi risiko rush, otoritas moneter telah menjelaskan bahwa
pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai level 5 persen, sementara negara lain di
bawah itu. Laju inflasi terjaga di level 3 persen. Selain itu, defisit
transaksi berjalan menurun ke level 4,5 miliar dollar AS dan neraca
pembayaran surplus 9,6 miliar dollar AS. Cadangan devisa mencapai 115,7
miliar dollar AS, cukup untuk membiayai 8,3 kali impor dan pembayaran utang
luar negeri.
Apakah
penjelasan seperti itu tepat sasaran untuk melakukan mitigasi potensi risiko
rush? Bagi masyarakat yang sudah melek keuangan atau literasi keuangan,
penjelasan itu dapat dimengerti bahwa isu itu tak beralasan sama sekali.
Tapi, masalahnya, sasaran isu adalah masyarakat yang tidak atau belum melek
keuangan.
Akan
lebih jitu ketika pemerintah, otoritas, atau regulator menjelaskan indikator
ekonomi itu dengan membandingkan dengan indikator saat krisis ekonomi
Indonesia pada 1997/1998. Terlebih menyangkut indikator perbankan, mengingat
isu itu jelas ditujukan kepada perbankan.
Katakanlah,
inflasi saat ini 3,31 persen per akhir Oktober 2016 jauh lebih rendah 11,05
persen pada 1997 dan 77,54 persen pada 1998. Pertumbuhan ekonomi 5,02 persen
per kuartal III/2016 jauh lebih tinggi 4,8 persen (1997) dan bahkan minus
13,3 persen (1998). Suku bunga rata- rata deposito (rupiah) 6,76-8,89 persen
pada September 2016 jauh lebih rendah 27 persen (1997) dan 60 persen (1998).
Semakin tinggi suku bunga deposito, kian menyiratkan bahwa bank mengalami
kekurangan likuiditas.
Apalagi
waktu itu ada 16 bank dilikuidasi per 1 November 1997, yang bertujuan untuk
menyehatkan sistem perbankan. Sebaliknya, saat ini tidak ada bank yang
bernasib demikian. Perbandingan indikator disertai penjelasan secukupnya
seperti itu akan lebih memberikan gambaran terang benderang: ekonomi,
terutama sektor perbankan, dalam kondisi sehat walafiat.
Sejauh
mana tingkat literasi keuangan penduduk Indonesia? Ternyata tingkat literasi
keuangan dalam sektor perbankan baru mencapai 21,84 persen. Bandingkan dengan
Malaysia dan Thailand yang masing-masing telah mencapai 80,67 persen dan
78,13 persen. Dengan bahasa lebih bening, tingkat literasi keuangan Indonesia
masih terbilang rendah; untuk tidak menyebut ketinggalan jauh.
Oleh
karena itu, inilah tugas OJK untuk menaikkan tingkat literasi keuangan dengan
mengadakan sosialisasi sekaligus edukasi. Dalam praktiknya, hal itu bukan
hanya tugas OJK, melainkan juga bank, melalui media elektronik dan cetak,
temu wicara (talk show) langsung di televisi dan radio. Akan lebih jitu jika
sosialisasi dan edukasi itu diadakan pula di kampus dan sekolah sebagai
pelaku transaksi perbankan, termasuk investasi. Upaya tersebut sekaligus
bertujuan mencegah maraknya investasi bodong atau abal-abal yang terus
mencuat di permukaan.
Sebagai
pengingat, inilah deretan investasi bodong mulai 2007 yang berpotensi
merugikan masyarakat miliaran hingga triliunan rupiah. Wahana Bersama Globalindo
(WBG) (valas, Rp 3,5 triliun, 2007), Gama Smart Karya Utama (valas, Rp 12
triliun, 2007), Sarana Perdana Indoglobal (valas, Rp 2,1 triliun, 2007), PT
Gradasi Anak Negeri (MLM, Rp 390 miliar, 2012), Koperasi Langit Biru (bisnis
daging, Rp 6 triliun, 2012), dan PT Gemilang Reksa Jaya (MLM, ratusan miliar
rupiah, 2012). Lalu kasus Koperasi Cipaganti dengan potensi kerugian Rp 3,2
triliun pada 2014 (Kontan, 25 Juli 2012).
Kedua,
jangan lupa bahwa kini medsos sudah menjadi wahana yang begitu bebas seolah-olah
tanpa batas. Di medsos terjadi dikotomi antara lovers dan haters yang begitu
kental, bagai tiada lagi toleransi.
Menurut
pemikir sosial dan kebudayaan Yasraf Amir Piliang, informasi di medsos
mengalir sangat cepat dalam jumlah melimpah dan masif. Kecepatan itu membuat
orang tidak lagi sampai berpikir atau merenung karena mereka akan
ketinggalan. Karena akal sehat tidak bekerja, yang bekerja kemudian emosi,
sentimen, motivasi kepentingan, keyakinan, dan ideologi. Itu yang kemudian
menyulut kebencian. Sebab, kebencian itu disulut emosi, bukan akal sehat
(Kompas 20 November 2016).
Akibatnya,
isu rush semacam itu bisa dianggap sebagai kebenaran. Karena itu, pemerintah
(Kementerian Komunikasi dan Informatika) dituntut mampu mengawal medsos
secara jeli dengan menggunakan UU Informasi dan Transaksi Elektronik. Jangan
sampai otoritas justru kalah sigap dalam bertindak.
Risiko reputasi dan risiko
sistemik
Ketiga,
sekali lagi, isu seperti itu bisa muncul kembali. Akan lebih berisiko tatkala
isu itu kemudian menunjuk ke bank tertentu. Hal itu dapat membuat bank
tersebut menderita risiko reputasi.
Apa
itu risiko reputasi? Risiko reputasi adalah risiko sebagai akibat dari
penurunan tingkat kepercayaan pemangku kepentingan yang bersumber dari
persepsi negatif terhadap bank bersangkutan. Pada awalnya, risiko reputasi
itu tidak terkait langsung dengan kerugian finansial. Akan tetapi, dalam
jangka panjang risiko reputasi itu bisa berubah menjadi kerugian finansial.
Bahkan, risiko reputasi dapat merembet menjadi risiko sistemik bagi bank
lainnya.
Apalagi
tatkala bank yang terkena isu itu sudah go public sehingga hampir semua mata
bisnis akan menatapnya, termasuk ratusan bank koresponden luar negeri. Risiko
reputasi dapat melanda bank apa pun dan di mana pun, terlebih bank yang
sebelumnya pernah terkena deraan kasus perbankan. Jangan sampai konsumen
(nasabah dan investor) jasa perbankan menjadi korban yang tak berdaya.
Itu
semua meneguhkan betapa penting perlindungan konsumen. Untuk itu, OJK perlu
segera mewujudkan Masterplan Jasa Keuangan Indonesia (MPJKI) untuk
menggantikan Arsitektur Perbankan Indonesia (API). API yang terbit 9 Januari
2004 dengan tujuan memperkuat fundamental perbankan itu merupakan suatu
kerangka dasar sistem perbankan Indonesia yang bersifat menyeluruh dan
memberikan arah, bentuk, dan tatanan industri perbankan untuk 5-10 tahun ke
depan.
Pilar
keenam API menitahkan ”mewujudkan pemberdayaan dan perlindungan konsumen jasa
perbankan”. Oleh karena itu, setiap aturan sudah sepatutnya memprioritaskan pemberdayaan
dan perlindungan konsumen jasa keuangan, baik perbankan maupun non-perbankan.
Potensi
risiko sistemik sebagai akibat isu itu pulalah yang patut diwaspadai lebih
lanjut oleh Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK), sebagaimana dititahkan
oleh UU Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (PPKSK). KSSK
terdiri atas Menteri Keuangan sebagai koordinator, sedangkan Gubernur BI dan
Ketua Dewan Komisioner OJK sebagai anggota. Lembaga Penjamin Simpanan (LPS)
hanya memiliki hak bicara, bukan hak suara. KSSK memiliki tugas untuk
memberikan rekomendasi kepada presiden mengenai penetapan kondisi krisis.
UU
PPKSK itu bertujuan untuk menciptakan dan memelihara stabilitas sistem
keuangan melalui pencegahan dan penanganan krisis. Berbeda dari konsep UU
Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK), UU PPKSK itu lebih mengutamakan bail
in daripada bail out (talangan oleh pemerintah). Tegasnya, bail in merupakan
tata cara baru penanganan dan pencegahan krisis keuangan. Sarinya, pemegang
saham bank diharapkan lebih berperan dalam menangani ancaman krisis.
Tengok
saja, Pemerintah Jerman tidak memberikan talangan kepada Deutsche Bank yang
harus membayar denda Departemen Kehakiman AS senilai 14 miliar dollar AS (Rp
189,35 triliun dengan kurs Rp 13.525 pada 25 November 2016). Namun,
kemungkinan besar Kanselir Jerman Angela Merkel akan menalangi bank terbesar
di Eropa itu. Mengapa? Lantaran kasus itu bisa menyetrum lahirnya risiko
sistemik perbankan global. Lebih dari itu, talangan itu sebagai bentuk
kampanye awal karena Merkel mencalonkan kembali sebagai kanselir untuk
periode berikutnya.
Berbekal
aneka langkah strategis demikian, isu rush money yang lebih lazim disebut bank run itu dapat ditangkis dengan
efektif. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar