Menelisik
Akar Korupsi di Daerah
W Riawan Tjandra ; Pengajar Hukum Administrasi Negara
Fakultas Hukum Universitas Atma
Jaya Yogyakarta;
Wakil Sekjen Pengurus Pusat
Asosiasi Pengajar HTN-HAN
|
KOMPAS, 20 Januari
2017
Deretan
kepala daerah yang terjerat berbagai kasus korupsi yang diproses hukum oleh
KPK dan penegak hukum lain menjadi indikasi tidak wajarnya tata kelola
pemerintahan yang baik di aras otonomi daerah.
Berita
terakhir, tertangkap tangannya Bupati Klaten Sri Hartini telah menggenapkan
jumlah 11 kepala daerah yang terkena operasi tangkap tangan (OTT) Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) sepanjang 2016.
Sampai
Maret 2016, dari 541 kepala daerah, ada 360 kepala daerah yang terjerat kasus
tindak pidana korupsi (tipikor) di berbagai tingkatan, mulai dari penyidikan,
penuntutan, hingga yang sudah diputus oleh pengadilan tipikor sebagai
terpidana. Jumlah itu ditambah dengan 11 kepala daerah yang terkena OTT KPK
2016.
Berbagai
modus korupsi yang lazimnya menjerat kepala daerah selama ini tercatat,
antara lain, di ranah perizinan, kewenangan di bidang sumber daya alam,
pengadaan barang dan jasa pemerintah, dan gratifikasi/suap. Berbagai modus
korupsi tersebut berakar pada penyalahgunaan wewenang (abuse of power) dan tindakan sewenang-wenang yang dilakukan para
kepala daerah tersebut. Tak jarang modus itu berkelindan dengan
persekongkolan politik antara kepala daerah dan elite birokrat daerah dengan
aktor-aktor politik di DPRD.
Banyak
faktor yang menjadi pendorong perilaku koruptif yang dilakukan di daerah.
Salah satu faktor penting untuk dicatat adalah tingginya biaya politik dalam
kontestasi pilkada. Hal ini telah membuat banyak elite politik lokal jadi
”gelap mata” mencari sumber-sumber pembiayaan untuk menutup ”utang politik”
yang digunakan dalam kontestasi politik lokal tersebut.
Mahar
politik seorang calon kepala daerah yang akan maju dalam kontestasi pilkada
mencapai Rp 100 miliar sampai Rp200 miliar. Padahal, gaji kepala daerah hanya
sekitar Rp 6 juta setiap bulan. Di samping gaji, seorang kepala daerah
lazimnya juga menerima pendapatan sah berupa honor-honor. Jika ditotal,
setiap bulan pendapatan sah seorang kepala daerah tidak lebih dari Rp 50
juta. Bandingkan dengan mahar politik yang harus dikeluarkan seorang calon
kepala daerah yang berniat mengikuti kontestasi politik di pilkada.
Besarnya
kewenangan yang dimiliki daerah melalui aliran kewenangan otonomi daerah
melalui desentralisasi politik, yang seharusnya menghasilkan pelayanan publik
yang lebih baik dan meningkatnya kesejahteraan rakyat, ternyata justru lebih
banyak menghasilkan ”bosisme” lokal dalam pembangunan lokal yang cenderung
elitis. Dalam kondisi demikian, amat sulit mengharapkan kian meningkatnya
kesejahteraan rakyat yang berjalan seiring dengan meningkatnya kewenangan
daerah.
Monster-monster politik
UU
Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari
KKN, yang telah menempatkan status kedudukan kepala daerah sebagai
penyelenggara negara, seharusnya menyadarkan para elite daerah tersebut mengenai
kedudukannya sebagai representasi negara di daerah yang bertanggung jawab
atas penyelenggaraan kesejahteraan rakyat di daerah. Kepala daerah adalah
”wajah negara” di daerah yang mewujudkan kehadiran negara bagi rakyatnya di
daerah.
Siklus
korupsi di daerah sebenarnya tak terlalu sulit untuk diurai.Mahalnya biaya
politik yang harus ditanggung calon kepala daerah berujung pada ”kebutuhan”
sebagian oknum kepala daerah untuk menggali ”sumber pembiayaan politik”. Dan
itu diperoleh melalui berbagai modus, seperti gratifikasi dalam perizinan
serta pengadaan barang dan jasa pemerintah. Sangat sedikit kepala daerah yang
benar-benar ”bersih” dari siklus koruptif di daerah ini.
Di
sinilah seharusnya rakyat pemilih memiliki kepekaan politik untuk memutuskan calon-
calon kepala daerah yang akan dipilihnya saat pilkada digelar. Siklus
koruptif di daerah pada ujungnya menguras kekayaan rakyat di daerah karena
menggerogoti uang APBD. Uang itu seharusnya mengalir untuk biaya
kesejahteraan rakyat di sektor pendidikan, kesehatan, pelayanan publik, dan
infrastruktur.
Dengan
demikian, pintu masuk untuk memperbaiki sistem pemerintahan daerah terletak
pada ranah politik dan administratif (menata sistem birokrasi pelayanan
publik) serta integritas pribadi para (calon) kepala daerah. Hal inilah yang
menjadi moralitas politik dalam menata pemerintahan daerah. Tanpa itu semua
otonomi daerah hanya membesarkan ”monster-monster politik lokal” yang haus
terhadap darah rakyatnya sendiri meski bertopeng senyum dan janji-janji manis
politik. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar