Medsos
dan Kebebasan Berkomunikasi
Suko Widodo ; Dosen
Ilmu Komunikasi Universitas Airlangga Surabaya
|
JAWA POS, 04 Januari
2017
POLA
komunikasi sosial masyarakat Indonesia telah mengalami pergeseran luar biasa
dalam lima tahun terakhir. Setidaknya, indikasi itu bisa dilihat dari praktik
komunikasi tatap muka (face-to-face)
di sekitar kita. Kini tak heran jika kelas-kelas kuliah, rapat penting,
ataupun pertemuan yang semestinya membutuhkan suasana fokus dan interaksi
antarorang dalam ruangan itu terasa ”tidak utuh lagi”. Fisiknya hadir, tetapi
pikirannya tidak bisa melepaskan diri dari smartphone.
Dalam
telaah akhir 2016, Ikatan Sarjana Komunikasi Indonesia (ISKI) Jatim mencatat
terjadinya transformasi media komunikasi. Ditengarai medsos telah menjelma
menjadi kekuatan komunal (kelompok) baru dan sejajar eksistensinya dengan
media massa. Dampaknya, medsos yang kini menjadi ”ruang publik” baru.
Ruang
publik medsos sedemikian bebasnya. Dengan leluasa, orang bebas membagi
informasi apa saja. Mulai menyebar gambar lucu, pesan moral, pesan mengimbau
dan memaksa, hingga mencaci maki dan memuji. Kegelisahan akan membanjir (
overload)- nya informasi itulah yang kini membuat banyak gelisah. Tak kurang
negara pun menerapkan tegas Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik
(UU ITE) sebagai ”katup” pengaman negara. Kenaikan Perangkat Komunikasi
Survei yang dilakukan Asosiasi Penyelenggara Jaringan Internet Indonesia
(APJII) mengungkap bahwa lebih dari setengah penduduk Indonesia kini telah
terhubung ke internet. Survei yang dilakukan sepanjang 2016 itu menemukan
bahwa 132,7 juta orang Indonesia telah terhubung ke internet. Jika pada 2016
total penduduk sebanyak 256,2 juta orang, artinya sekitar 51,8 persen
penduduk sudah berinternet.
Dibanding
lima tahun sebelumnya, penetrasi internet di Indonesia cukup pesat. Pada
2011, berdasar Internet World Statistic (IWS), pengguna internet baru sekitar
39,6 juta atau 16,1 persen dari total populasi 245,6 juta jiwa. Pada 2014
APJII mencatat terdapat 88 juta pengguna internet di Indonesia.
Jika
di awal perkembangannya ruang publik virtual terkonsentrasi dari perangkat
komputer, kini mereka bisa memanfaatkan smartphone. Perkembangan
infrastruktur dan mudahnya mendapatkan smartphone telah mendorong
meningkatnya perangkat komunikasi. Implikasinya, jika sebelumnya lebih pasif
menjadi sekadar penerima ( receiver) informasi, kini orang dengan mudah bisa
mengolah sendiri dan mendistribusikannya dengan perangkat yang digenggamnya.
Menata Budaya Media Sosial Teknologi informasi yang digunakan untuk medsos
sesungguhnya bersifat netral. Namun, dalam praktik berkomunikasinya, medsos
sebagai media baru (new medium) memungkinkan orang untuk ”meracik” informasi
sesuka hati.
Karakter
utama media baru ini adalah interaktif, simulasi, dan hipertekstual. Dengan
smartphone, orang bisa berinteraksi bukan hanya dengan seseorang, tetapi
dengan banyak orang (komunal). Teknologi media baru ini memungkinkan orang
meniru ( copy-paste) dan juga hipertekstual (bisa menambah teks baru dari
pesan orang lain).
Bahkan,
dalam sebaran informasi, struktur sosial tak diperhatikan karena semua
pengguna medsos dianggap sama (egaliter). Karakter media baru inilah yang
kemudian menjadikan seseorang dengan leluasa mengolah ulang informasi
orisinalnya. Di sinilah masalah utamanya. Karena kepentingan subjektifnya,
orang mengorup dan memanipulasi informasi.
Praktik-praktik
komunikasi dengan medsos yang penuh informasi sampah (hoax), maraknya sikap
subjektivitas serta keyakinan kelompok, serta permusuhan dan kebencian di
masa mendatang akan kian menonjol.
Setiap
warga memang berhak berkomunikasi, berhak memperoleh dan sekaligus membagi
informasi. Negara menjamin hak seseorang untuk berkomunikasi sebagaimana
tersurat dalam pasal 28F UUD 1945.
Tetapi,
sejatinya tidak serta-merta hak itu berdiri sendiri. Berdasar instrumen HAM,
restriksi atau pengurangan hak dibolehkan sepanjang diatur hukum, dilakukan
demi kepentingan dan tujuan objektif yang sah, serta dilakukan dengan produk
yang sah dan bukan dengan cara sewenang-wenang. Sejauh ini, praktik
komunikasi di medsos berlangsung secara bebas. Sebebasbebasnya. Padahal sudah
jelas, ada restriksi sebagaimana yang tertuang dalam sejumlah pasal dalam UU
ITE.
Penerapan
UU ITE kiranya belum cukup mampu untuk membendung maraknya peluang persebaran
informasi permusuhan. Juga, imbauan tidak akan membuat sadar praktik
komunikasi yang negatif.
Jika
itu terus berlangsung, potensi perpecahan akan melebar. Karena itu,
diperlukan tindakan bersama, baik dari sisi hukum maupun sisi lainnya.
Melihat maraknya perkembangan medsos, tentu tidak cukup peran negara dalam
mengatasinya. Masyarakat kiranya bisa dilibatkan dalam proses berbudaya
medsos.
Ini
zaman komunikasi yang oleh Jean Baudrillard, seorang pemikir kebudayaan,
filsuf, dan sosiolog asal Prancis, disebut sebagai zaman hiperealitas. Zaman
yang antara ilusi dan realitas bercampur aduk dan kita merasa kesulitan
mencari titik kebenarannya. Kini di zaman yang overload informasi, semua
membutuhkan titik temu kebenaran itu. Atau setidaknya titik kesepakatan dalam
mengatur medsos. Bahkan, mungkin diperlukan kelembagaan masyarakat yang bisa
mengelolanya.
Jika
ada dewan kesenian, jika ada dewan lingkungan, dewan pendidikan, dan
sebagainya, tidakkah kita perlu menginisiatori dewan komunikasi? Tugasnya,
menjaga kebebasan berkomunikasi (dari interferensi negara) dan menjaga
berkembangnya praktik-praktik persebaran informasi secara ”liar” serta
mengembangkan etika bermedia sosial. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar