Hoax
yang Merusak Umat
Lukman Hakim Saifuddin ; Menteri
Agama RI
|
REPUBLIKA, 04 Januari
2017
Pertengahan
November 2016 silam, saya meminta maaf dan meralat sebuah informasi yang saya
kirim ke Twitter tentang pembatalan biaya visa umrah.
Kata
maaf dan ralat segera saya sampaikan sebagai penebus kesalahan lantaran
gegabah mencuit ulang informasi yang masih sumir substansi ataupun sumbernya.
Segera pula saya sampaikan konfirmasi yang valid dari Kementerian Haji Arab
Saudi.
Sejak
itu, saya lebih berhati-hati dalam menerima, memilah, dan menebar informasi.
Teringat
sebuah hadis Nabi SAW yang diriwayatkan Imam Muslim: "Sesungguhnya Allah
meridhai bagi kalian tiga perkara dan membenci kalian tiga perkara. Dia
meridhai kalian agar beribadah kepada-Nya dan tidak mempersekutukannya dengan
sesuatu pun, kalian berpegang teguh dengan tali Allah, dan agar kalian tidak
berpecah belah. Dan dia membenci bagi kalian qiila wa qaala, banyak bertanya,
dan membuang-buang harta.
Di
antara deretan kalimat di atas, ada satu istilah yang mungkin perlu
penjelasan tersendiri. Yakni, kata qiila wa qaala. Karena itu, beberapa ulama
memberikan keterangan khusus ihwal istilah itu dalam hadis tersebut.
Imam
Nawawi dalam "Syarah Sahih Muslim" mendefinisikan qiila wa qaala
sebagai berikut; turut campur dalam kabar orang lain, menyampaikan informasi
yang tak diketahui sendiri, dan menceritakan semua yang ia dengar.
Secara
teknis, istilah itu dapat diartikan mengabarkan informasi tanpa verifikasi
atau menyebarkan desas-desus yang sumir. Pada akhir penjelasannya, Imam
Nawawi menambahkan peringatan dari sebuah hadis yang berbunyi: "Cukuplah
seseorang itu dikatakan berdusta tatkala menceritakan semua yang ia
dengarkan."
Penjelasan
hadis ini perlu diingat kembali dalam situasi sekarang ketika informasi hoax
betebaran tak keruan. Terdapat sedikitnya empat macam hoax.
Pertama,
mitos atau cerita berlatar masa lampau yang boleh jadi salah, tapi dianggap
benar karena diceritakan secara turun-temurun. Kedua, glorifikasi dan
demonisasi. Glorifikasi adalah melebih-lebihkan sesuatu agar tampak hebat,
mulia, dan sempurna.
Sebaliknya,
demonisasi adalah mempersepsikan sesuatu seburuk mungkin seolah tanpa ada
kebaikannya sedikit pun. Ketiga, kabar bohong atau informasi yang
diada-adakan atau sama sekali tidak mengandung kebenaran.
Keempat,
info sesat, yaitu informasi yang faktanya dicampuradukkan, dipelintir, dan
dikemas sedemikian rupa hingga menjadi seolah-olah benar. Di dunia
komunikasi, ada istilah spin doctor untuk menyebut ahli pemelintiran
komunikasi.
Informasi-informasi
hoax menyalakan sinyal bahaya kerusakan umat. Sebabnya adalah hoax dapat
memicu emosi tinggi yang berujung ketidakmampuan mengendalikan diri sehingga
rentan bicara ngawur penuh caci maki.
Dari
hoax pula bermulanya kerusakan akhlak berupa fitnah yang merajalela, ujaran
kebencian sarat makian, dan olok-olok yang menohok. Sederet kalimat bisa
menjadi bencana jika menyayat hati, seperti sembilu yang lebih perih
ketimbang tusukan belati.
Hoax
merupakan ramuan perusak otak yang menurunkan kemampuan nalar. Diciptakan
pihak tertentu sebagai pengeruk keuntungan, racikan dan dosisnya bisa
disesuaikan dengan keperluan.
Glorifikasi
dan demonisasi, misalnya, biasanya digunakan secara berpasangan dengan
sasaran ganda. Tujuannya, menciptakan loyalitas pada seseorang atau kelompok
yang diglorifikasikan, dan pada saat yang sama menumbuhkan ketidakpercayaan
terhadap pihak yang dikesankan busuk.
Kalangan
politisi suka menggunakan model ini untuk memperkuat pengaruh terhadap
simpatisannya, sekaligus menggerus basis konstituen lawannya. Bagi kalangan
bisnis, model ini kadang digunakan untuk memantik konflik demi meningkatkan
lalu lintas komunikasi yang dapat dikapitalisasi.
Sebagai
produk komunikasi yang bertujuan mengubah perilaku, sebagian hoax berasal
dari virus hiperealitas, sebagai gejala pengaburan realitas sehingga sering
kali citra lebih dipercaya ketimbang fakta.
Publik
terbuai pada simulasi-simulasi yang diciptakan media sehingga mudah menerima
sesuatu sebagai kebenaran tanpa sempat mengujinya. Atau terpaksa menelan
kepalsuan karena ketidakmampuan menangkap realitas.
Memasuki
era digital, hiperealitas yang terus berulang berangsur memicu hipermoralitas
atau hilangnya daya nalar dan batas moral. Penyebabnya adalah fatalitas komunikasi
tiada henti: informasi-informasi tak penting dan serbatidak jelas berkembang
biak cepat menyebar ke arah ekstrem, langsung menjejali otak.
Akibatnya,
orang mudah mengumpat, menghujat, menyumpah serapah, bahkan membunuh dengan
kata-kata.Hoax tumbuh subur dalam masyarakat yang gegar budaya teknologi
informasi. Mereka menjadi sasaran empuk para produsen hoax karena doyan
mengonsumsi informasi apa saja.
Pada
masyarakat Indonesia yang guyub, hoax mudah menjamur karena ada kecenderungan
diperbincangkan ulang. Hal ini disemai kurangnya sikap kritis. Publik mudah
terpengaruh opini yang direkonstruksi dari sentimen emosi dan bukan fakta
atau logika.
Sentimen
itu pula yang menyebabkan sesama anak bangsa terjebak dalam peran sebagai
netizen (warganet) yang saling mengancam. Musababnya banyak, tetapi
didominasi kondisi internal kita sendiri. Selama ini kita kurang cepat
beranjak ketika zaman telah jauh bergerak.
Dengan
kata lain, kita telat mengantisipasi perkembangan zaman. Laju teknologi dan
banjir informasi tak terbendung regulasi dan edukasi. Padahal, dua hal itulah
sumber ketahanan budaya. Kita terlalu lama miskin literasi sehingga
terkaget-kaget dengan air bah informasi.
Kita
juga terlalu abai mengelola kekayaan negara sehingga hanya bisa marah ketika
semua komoditas telah berpindah. Kita tak maju-maju karena tak kunjung
mengejar standar mutu. Kita alpa meningkatkan kualitas religi untuk membentuk
generasi yang berbudi.
Dan,
kita lupa mengajarkan keanekaragaman sehingga gegar budaya ketika berhadapan dengan
kelompok berbeda. Namun, perlu diingat, sejatinya hoax bukanlah semata produk
zaman digital.
Pada
akhir 1980-an, pernah beredar surat berantai yang diklaim berasal dari Habib
Syekh, si penjaga makam Nabi. Isinya memperingatkan Muslimin yang menerima
selebaran itu agar menyalin dan membaginya ke 10 orang lain.
Pada
era 2000-an, surat ini beredar lagi lewat ponsel sebelum ramai SMS "mama
minta pulsa." Jauh ke masa awal Islam sepeninggal Nabi SAW, kabar hoax
telah menjadi sumber peristiwa yang dalam sejarah disebut Fitnah Besar
(Al-Fitnatul Kubra) – aksi unjuk rasa yang dipicu fitnah politik.
Khalifah
Utsman bin Affan tewas ditikam seorang penghafal Alquran yang termakan fitnah
bahwa sang khalifah melakukan korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Kemudian,
Ali bin Abi Thalib dibunuh kelompok Khawarij, yang memfitnahnya sebagai
penista hukum Alquran karena ingin damai dengan Muawiyah bin Abi Sufyan.
Terbunuhnya
Sayidina Utsman yang dermawan dan Sayidina Ali yang ilmuwan itu menyisakan
ironi. Kedua tokoh yang notabene aset besar bagi umat Islam justru meregang
nyawa di tangan sesama Muslim. Sejak itu pula, umat Islam terpecah belah.
Pada
era berikutnya, terjadi kesimpangsiuran informasi yang makin mencerai-berai
umat dalam berbagai kelompok. Marak kabar hoax berupa cerita-cerita
Israiliyat, yang mengaburkan sejarah serta orang-orang yang mengaku mewarisi
hadis Nabi.
Beruntunglah
ada ulama seperti Imam Bukhari yang rajin memverifikasi hadis dan berhasil
memilahnya dalam beberapa kategori: sahih, hasan, dhaif, hingga maudhu'.
Saking
cermatnya dalam memverifikasi konten sekaligus kredibilitas sumber pembawa
informasi, Imam Bukhari sampai mengeluarkan seorang ulama dari daftar perawi
hadis karena hal yang mungkin sepele bagi sebagian orang.
Ulama
itu, ia nilai punya cela karena berbohong kepada hewan ketika memperdaya
hewan untuk masuk kandang dengan iming-iming makanan.
Langkah
Imam Bukhari dalam mengelola informasi demi menyelamatkan umat dari kerusakan
akibat tersedak hoax jelas luar biasa. Agaknya mustahil dapat ditiru pada era
digital ini. Tapi setidaknya, saya berusaha bermedsos dengan lebih cermat.
Kata
maaf dan ralat sebagaimana saya singgung di atas adalah upaya saya membonsai
hoax agar tak tumbuh liar.
Pikiran
saya sederhana saja. Kalaupun sulit menghindarinya, janganlah sampai turut
menebar kemudaratannya. Kalaulah belum sanggup berbuat baik, setidaknya
jangan berbuat kerusakan. Walaupun kecil, siapa tahu langkah itu menjadi
catatan amal baik.
Dalam
salah satu hadis riwayat Imam Bukhari, Nabi berkata, "Seorang Muslim
adalah seorang yang orang lain merasa aman dari (kejahatan) lisan dan
tangannya."
Catatan
ini adalah sekadar introspeksi saya selama aktif sebagai warganet pada tahun
lalu. Sengaja saya bermawas diri karena sadar segala tingkah laku di jagat
maya akan terekam jelas sekali. Jika dianggap baik, silakan diikuti.
Jika
perlu dikoreksi, akan saya terima sebagai bahan perbaikan diri. Mengawali
tahun ini, semoga kita dapat lebih beradab di jagat medsos yang makin tak
pernah sepi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar