Trump
dan Kecemasan (Berlebihan) Kita
Rhenald Kasali ; Pendiri
Rumah Perubahan
|
JAWA POS, 15 November
2016
KETIKA Rabu siang (9/11) Donald
Trump dinyatakan sebagai pemenang pilpres Amerika Serikat (AS), sebagian kita
cemas. Lusinan pesan WhatsApp (WA) dan Line masuk ke smartphone saya. Saya
kutipkan beberapa di antaranya yang mungkin juga diterima Anda.
”Website Kedutaan Kanada sampai
hang akibat banyaknya permohonan dari warga AS untuk pindah ke negara itu.”
”For the four next year, avoid
America.”
”Apply visa ke AS sekarang.
Sebentar lagi bakal dipersulit. Apalagi, Indonesia negara muslim terbesar di
dunia.”
”Wah, Amerika bakal kacau.”
”Mengapa negara sebesar AS
mesti dipimpin oleh Donald Duck.”
”Jangan simpan dolar AS.”
”Beberapa staf di Kedubes AS di
Jakarta menangis.”
Oh ya, ada juga pesan berupa
gambar. Di antaranya, gambar tentang Melania Trump sewaktu masih menjadi foto
model. Anda tahulah kira-kira seperti apa gambarnya. Di situ disertai teks:
”Inilah first lady Amerika Serikat yang baru.”
Masih banyak lagi. Semuanya
bernada miring. Saya tersenyum geli ketika menerima pesan-pesan tersebut.
Saya kira Anda, dan juga para pengirim pesan tersebut, masih tidak percaya
dan belum bisa menerima bahwa Trump memenangi pilpres AS. Apalagi, sebelumnya
nyaris semua lembaga survei di AS menyatakan Hillary Clinton bakal menang.
Kita juga pernah punya
pengalaman serupa di negeri ini. Tampaknya, dibutuhkan waktu panjang untuk
mengobati ”luka” di hati saat ”jagoan” dikalahkan. Ada yang mengatakan itu
hasil kecurangan, ada juga yang bilang kelicikan. Setelah itu, pesan berantai
di medsos tak pernah habisnya berisi umpatan.
Tapi, begitulah. Baik itu di
sana maupun di sini, hati manusia tetap sama. Keputusan juga sama. Kita tentu
harus legawa, menerimanya, suka atau tidak suka.
Sosok Pebisnis
Saya tahu, semasa kampanye
pilpres di AS, banyak dari Anda yang terjebak dengan materi dan gaya kampanye
Trump. Dia membangun citra diri sebagai sosok yang kontroversial. Nasional,
tapi sekaligus juga chauvinist. Dia juga rasis dan sangat arogan, pedas dan
menyakitkan. Skandalnya ada di sana-sini. Semua memberikan kesan bahwa Trump
tak layak menjadi presiden AS. Dia bahkan dianggap sebagai public enemy.
Bukan hanya oleh sebagian warga AS, tapi juga masyarakat dunia.
Hanya satu hal yang mungkin
kita lupa, Trump adalah pebisnis, dan pemain watak televisi, bukan politikus.
Kalau sebagai politikus, dia mungkin tak mau tampil dengan citra seperti di
atas. Sebagai pebisnis-kapitalis, dia tampaknya punya sudut pandang yang
lain. Maksud saya, citra diri yang semacam itu –arogan, kontroversial, rasis,
dan lain lain– justru membuatnya jadi terlihat berbeda bila dibandingkan
dengan pesaingnya. Semacam diferensiasi.
Diferensiasi semacam itu sangat
penting. Banyak produk dan brand ingin terlihat berbeda dan menonjol, tetapi
gagal melakukannya. Menjadi terlihat berbeda memang tidak mudah, dan Trump
mampu melakukannya bagi khalayak Amerika, bukan kita. Kalau buat warga kita,
dia pasti disambut dengan amarah dan cemooh.
Lalu, apakah Trump akan
memimpin AS sesuai dengan materi yang dia kampanyekan? Saya tidak begitu
yakin. Sebagai kapitalis sejati, yang ada di benak mereka hanya profit.
Hanya, kali ini Trump mesti mengubah mindset-nya untuk tidak boleh lagi
berpikir profit bagi imperium bisnisnya, melainkan bagi negara dan masyarakat
AS.
Sebagai kapitalis sejati,
selama di situ masih ada profit –hanya bergantung horizonnya, jangka pendek,
menengah, atau panjang– segala sesuatu bisa dirundingkan. Jadi, dalam bisnis,
tidak ada harga mati. Kata orang, bisnis adalah the art of possibility.
Membuat sesuatu yang tidak ada menjadi ada. Membuat sesuatu yang sulit
menjadi mudah. Membuat sesuatu yang tidak mungkin menjadi mungkin. Membuat
pintu yang tadinya tertutup menjadi terbuka. Syaratnya, itu tadi, ada profit
di dalamnya. Semangat itulah yang saya suka dari orang-orang bisnis.
Obama Melembutkannya
Anda yang mengikuti
perkembangan kampanye kedua kubu itu tentu bisa merasakan ”panasnya” iklim
politik. Namun, ada satu hal yang menarik. Kendati ikut menyerang Trump dalam
rangka membela rekan separtainya, Barack Obama segera menyambut kedatangan
presiden terpilih itu di Gedung Putih hanya dua hari setelah pengumuman
kemenangan Trump.
Publik pun menyaksikan gestur
tubuh Trump yang berbeda, jauh lebih kalem dan memiliki rasa hormat kepada
simbol negara.
Oleh Obama, dalam konferensi
pers, dia disebut sebagai sosok ”yang sangat baik”. Mereka tampak berbincang
sangat akrab dan penuh tawa, seperti ingin menunjukkan pada dunia, ”inilah tradisi
berdemokrasi kami: setelah pertempuran selesai, semua harus kembali dalam
kehidupan normal dan saling menghormati, bersatu.”
Wartawan CNN yang mengomentari
peristiwa itu sempat melontarkan keterkejutannya, ”Mereka ternyata bisa
saling mencintai,” ujarnya. Tetapi, pernyataan tersebut segera dikoreksi
rekannya. ”Mereka sesungguhnya tidak saling mencintai, tetapi mereka rela
menaklukkan ego mereka demi negeri yang mereka cintai.”
Ah, andai saja kedewasaan
berpolitik itu juga ada di sini, saya kira damailah negeri ini dan
sejahteralah hidup anak-cucu kita. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar