Jadi
Umat Beragama yang Baik
A Helmy Faishal Zaini ; Sekretaris
Jenderal Pengurus Besar Nahdlatul Ulama
|
KOMPAS, 19 November
2016
Rasanya seperti bermimpi. Di negara yang memiliki semboyan yang
indah Bhinneka Tunggal Ika, masih juga kita melihat tragedi kemanusiaan. Hati
kita semua menangis mendengar kabar bahwa Intan Olivia Banjarnahor,
kanak-kanak berusia belum genap tiga tahun itu, mengembuskan napas terakhir
akibat, maaf, barangkali telah dijadikan "tumbal" oleh mereka yang
mendeklarasikan diri berjihad dan merindukan surga.
Intan menjadi korban dari bom molotov di Gereja Oikumene,
Samarinda, yang dilemparkan secara sengaja oleh Jo, yang belakangan diketahui
masuk dalam jejaring kelompok Pepi Fernando. Setelah kejadian itu, Kompas
(15/11) juga melaporkan bahwa terjadi pelemparan bom molotov di Wihara Budi
Dharma Singkawang, Kalimantan Barat. Kesedihan yang teramat mendalam.
Berulang kali kita harus memeriksa diri kita sendiri, sedemikian kejinya
kita? Sebegitu kejinyakah umat beragama?
KH A Mustofa Bisri (Gus Mus) pernah menulis buku kontemplatif
bertajuk Saleh Sosial Saleh Ritual.
Dalam buku tersebut, Gus Mus, dengan sangat kontemplatif atau bahkan intuitif
menyindir dengan sangat halus dan menusuk perilaku beragama kita yang sering
kali masih sangat kekanak-kanakan-untuk menghindari kata ingusan.
Kita masih primitif dan ndeso
dalam beragama. Cenderung tekstualis dan konservatif. Melihat orang yang
berbeda adalah melihat musuh: yang harus diperangi, yang harus dilawan, yang
harus dibinasakan, yang harus diberangus, yang harus dimusnahkan, bahkan jika
perlu tanpa sisa sama sekali.
Buku tersebut dianggit pada tahun 1990-an dan kenyataannya hari
ini masih relevan dengan keadaan pola keberagamaan kita. Tulisan atau
renungan Gus Mus-kah yang melampaui zaman hingga menembus dimensi ruang dan
waktu ataukah kita memang tak kunjung beranjak dan mendewasa?
Tampaknya pilihan kedua adalah gambaran utuh pola keberagamaan
kita. Kita sampai hari ini masih belum bisa menjadi umat yang dewasa. Umat
yang bisa menghargai perbedaan umat yang menjadikan perbedaan sebagai bahan
baku persatuan: unity in diversity.
Umat yang, pada tingkat adiluhung,
menjadikan perbedaan sebagai rahmat.
Untuk sebaris pertanyaan bukankah Islam adalah agama yang rahmatan lil alamin? Realitasnya tidak
bisa kita jawab dengan tegas. Secara teoretis jawaban itu mudah. Kredo agama
Islam memang rahmatan lil alamin.
Namun, jika kita pindahkan kredo tersebut ke dalam praksis kehidupan
sehari-hari, dengan sangat berat hati kita harus mengatakan bahwa perilaku
kita belum mencerminkan profil yang kehadirannya mengasihi sesama.
Surau yang
roboh
AA Navis dalam Robohnya
Surau Kami menyindir dengan cerdas bahwa kondisi keberagamaan masyarakat
kita memang sangat primitif. Seprimitif Haji Soleh, tokoh utama dalam cerita
tersebut yang memiliki pemahaman bahwa yang penting dalam hidup manusia
adalah kesalehan ritual. Jenis kesalehan yang takarannya bersandar kepada
seberapa taat hamba dalam menjalankan shalat lima waktu, puasa, zakat,
seberapa panjang zikir-zikir sesudah shalat, dan seberapa intens
shalat-shalat sunat ia kerjakan.
Dalam pandangan Haji Soleh, kesalehan itu ditentukan oleh urusan
legal-formal ritualistik. Orang dikatakan beragama dengan baik jika shalat,
zikir, puasa, atau bahkan ibadah hajinya berkali-kali. Cara pandang yang
dalam hemat saya bersifat sangat kuantitatif. Agama dihadirkan sebagai sebuah
entitas yang kalkulatif dan itung-itungan. Pemahaman seperti ini tentu saja
pemahaman yang hitam putih. Pendekatannya selalu transaksional. Kita
menyetorkan apa kepada Tuhan, maka Tuhan akan membalas dengan setimpal.
Demikian gambaran umumnya pendekatan seperti ini.
Pada alas yang paling mengkhawatirkan, kelak cara pandang
beragama seperti ini akan melahirkan sebuah pemahaman yang keliru: ritus
ibadah dijadikan sebagai ukuran atau output dalam menilai tingkat serta
kualitas kesalehan seseorang.
Orang dikatakan saleh jika ia selalu berdiam dan sepanjang hari
berada di masjid meskipun pada saat bersamaan di lingkungannya sedang ada
kerja bakti sosial membersihkan selokan. Orang dikategorikan Muslim yang taat
ketika shalatnya tidak pernah berlubang. Bahkan, pada tingkat yang paling
konyol, bawah sadar masyarakat kita pelan-pelan masuk ke dalam lubang
pemahaman bahwa tanda purnanya kemusliman seseorang terletak pada seberapa
hitam jidatnya. Ini persoalan yang rumit dalam hemat saya.
Pada titik ini, saya ingin mengatakan bahwa akar radikalisme,
eksklusivisme, menolak liyan, dan
terorisme berpangkal dari pandangan beragama yang sebagaimana saya sebutkan
di atas yang tidak kunjung beranjaknya dari kesalehan ritual. Dari sini
sesungguhnya kemudian hari lahir pemahaman-pemahaman keliru lainnya: jihad,
kafir, toghut, dan lain sebagainya. Dan itu semua bermula dari cita-cita
paripurna: menjadi Muslim yang baik.
Redefinisi
kebaikan
Mengutip pandangan Taman Hassan (2008) dalam Al Quran setidaknya
memuat lima istilah yang dalam bahasa kita sama-sama diterjemahkan sebagai
kebaikan. istilah tersebut antara lain: al-khoir,
al-ma'ruf, al-birr, al-ihsan, dan as-sholeh.
Kelima kata atau istilah tersebut semuanya diterjemahkan sebagai kebaikan
dalam bahasa Indonesia. Padahal, pada tingkat aplikatif, masing-masing di
antara satu sama lain memiliki nuansa dan dimensi yang berbeda.
Meminjam istilah Emha Ainun Nadjib, Cak Nun (2011), al-khoir adalah kebaikan yang murni
dari Allah. Al-ma'ruf: kebaikan dalam wilayah sosial. Al-birr: kebaikan pada diri seseorang untuk menjadi lebih baik. Al-ihsan: kebaikan yang sesungguhnya
bukan kewajiban bagi kita, melainkan kita bersedia untuk melakukannya. As-sholeh: kebaikan yang diterapkan
dalam semua aspek kehidupan, meliputi ranah sosial, politik, dan juga budaya.
Pada konteks kehidupan sosial beragama pada masyarakat majemuk
seperti Indonesia saat ini yang kita butuhkan adalah transformasi dari
kebaikan al-khoir, al-ma'ruf, al-birr
menjadi kebaikan al-ihsan dan as-sholeh. Kebaikan yang bersifat
individual menjadi kebaikan yang sosial.
Nabi Muhammad SAW pernah memberi contoh yang baik ketika terjadi
peristiwa fatkhu Makkah (penaklukan kota Mekkah). Pasukan Muslim yang
berhasil mengalahkan kaum kafir dan melucuti senjatanya justru oleh Nabi
tidak disakiti. Nabi justru membebaskan mereka. Dalam konteks ini, yang
dilakukan Nabi Muhammad SAW adalah kebaikan kategori al-ihsan. Kebaikan yang dilakukan, padahal tidak ada tuntutan dan
kewajiban baginya untuk melakukan hal itu.
Di lain waktu, Rasulullah juga memberi contoh bahwa umat Islam
harus menghargai kemajemukan dan pluralitas sebagaimana yang dipraktikkan
ketika mencetuskan piagam Madinah. Piagam Madinah, sebagaimana dikatakan
Robert N Bellah adalah konsensus tertua, kontrak sosial paling purba yang
sangat modern. Piagam kesepakatan yang tidak mungkin dihasilkan jika antara
umat satu dan umat lain tidak sama-sama bersemangat untuk membangun kebaikan.
Muslim yang baik adalah Muslim menjadikan segala ritus ibadahnya sebagai
bahan bakar yang diwujudkan dalam bentuk kebaikan sosialnya.
Alakullihal, dan untuk Intan, tidurlah, tidurlah di sana. Kami akan selalu
bersamamu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar