Intan
dan Sejarah Bocah
Heri Priyatmoko ; Dosen
Sejarah Fakultas Sastra Universitas Sanata Dharma
|
KOMPAS, 19 November
2016
Bocah kecil bernama Intan Olivia br Banjarnahor (2,5) itu
akhirnya terbang ke surga. Ia dengan Anita Sihotang (2), Triniti Hutahaean
(4), dan Alvaro Sinaga (4) menjadi korban ledakan bom di Gereja Oikumene,
Samarinda, 13 November lalu.
Sungguh keji aksi pengeboman tempat ibadah jemaat HKBP yang
merenggut nyawa anak dan menyebabkan luka cukup serius itu. Betapa rasa kamanungsan
telah longgor dari hati pelaku, rasa welas asih tak menyelinap dalam dirinya.
Nafsu membunuh bengis kejam melumuri mereka.
Acap kalah
Merujuk kepada kategori Huck dkk (1987), yang disebut anak itu
berumur 1 tahun hingga 12 tahun. Sayangnya, anak-anak acap kalah dan dianggap
lemah dalam kehidupan sosial ataupun realitas sejarah. Sejauh ini belum ada
riset sejarah soal anak, apalagi anak yang lahir dari rahim wong cilik yang
nasibnya kurang beruntung dalam panggung sejarah.
Masih lumayan bocah yang tumbuh di lingkungan bangsawan dan
priayi, seperti disuratkan Darsiti Soeratman (1989) dan Sartono Kartodirdjo
dkk (1987) guna menggenapi studi kehidupan para bendoro. Namun, yang dijumpai
bukan cerita kemandirian dan tempaan keras pada si bocah, melainkan mekarnya
sifat manja berkat adanya pelayan dan kungkungan budaya Jawa yang
feodalistis.
Sebetulnya terdapat sepucuk kisah menarik yang perlu dikabarkan
kepada publik tentang bocah di Jawa, khususnya Praja Mangkunegaran Surakarta.
Para bocah terwadahi dalam Javaansche Padvinders Organisatie (JPO) yang
dibentuk pada 1916. Orangtua bocah yang bermukim di wilayah Mangkunegaran
disadarkan akan pentingnya pembangunan karakter dan kemandirian anak. Maka,
tanpa ragu diturunkan artikel berjudul ”Seruan kepada Iboe Bapak” yang
termaktub dalam majalah Kepandoean, Februari 1936. Ditulis secara gamblang,
tempat pendidikan anak ada tiga macam: di dalam rumah tangga, di dalam
sekolah, dan di luar sekolah dengan memanggul kewajibannya masing-masing.
Lantas mereka diajari lincah berbaris, berkemah, bermain, dan
sikap tolong-menolong. Data sezaman berjudul Bocah Mangkunagaran garapan
pengarang sastra Jawa, Yasawidagda, melukiskan kegiatan baris-berbaris: ”Aku dolan menyang Pamedan. Dina ngahad
wingi... wiwit jam pitu esuk katon pating baleber saka kidul, kulon, wetan.
Padpinder wadon ana plataran pandhapa gedhe. Ana bocahe cilik-cilik, umuran
pitu-wolu tahun... nganggo kathok ireng cekak, blus kuning, ana sing nganggo
sepatu, ana sing ora, topine kabeh epring... Klumpukan para padpinder, gedhe
cilik watara ana rong atus... Sing cilik-cilik ajar baris, ana sing
lumpat-lumpatan kaya dolanan.”
Kegiatan anak-anak ini bukan tanpa energi, tidak melupakan aspek
kekompakan dan kedisiplinan. Dengan memperhatikan aspek itu, mereka ingin
jadi yang terbaik karena dalam waktu tertentu ditunjuk turut memeriahkan
acara resmi istana. Semisal merayakan jumenengan dalem dengan baris-berbaris
dan menampilkan rupa-rupa atraksi menarik. Beberapa foto hitam putih yang
tersimpan di Perpustakaan Reksapustaka memperlihatkan anak-anak bersama
remaja JPO berseragam serius sedang berbaris di halaman Mangkunegaran saat
kerajaan menggelar acara resmi. Mereka unjuk gigi disaksikan orang banyak,
termasuk para prajurit.
Menghargai
eksistensi
Dari kacamata anak, penunjukan mereka untuk berpartisipasi dalam
kegiatan formal kerajaan ini dimaknai sebagai bentuk penghargaan dan
pengakuan eksistensi diri. Penghargaan dan pengakuan inilah yang disenangi
dan didamba seorang anak, terlepas dari kepentingan politis kerajaan untuk
membuktikan atau pamer kepada pihak luar akan kesetiaan dan kepatuhan kawula
Mangkunegaran, tanpa kecuali rombongan anak-anak.
Pergulatan bocah dalam lembaga ini juga menumbuhkan rasa cinta,
gemar tolong-menolong, bersatu hati, dan bekerja bersama-sama. Buahnya, bocah
kepanduan ringan tangan membantu orang yang kesusahan.
Berikut ini dinukilkan fakta yang terpotret dalam buku Bocah
Mangkunagaran (hal 53): ”Wis tau jam
siji awan ana omah kobongan, rame swaraning titir. Para padpinder lagi wae
budhal saka pamulangan, lali luwe, padha mlayu tandang panggon sing kobongan
ngrewangi golek banyu sapapadhane. Ana padpinder esuk-esuk mangkat sekolah.
nalika kuwi mentas udan, blumbang-blumbang kebak banyu. Padpinder mau weruh
bocah kecemplung, glagepen ana blumbang, gek kalelep, gek mancungul. Ora
saranta padpinder mau banjur nggebyur ing blumbang nglangeni bocah mau.
Klakon bocahe slamet, andadekaki bungahe wong tuwane.”
Kepiawaian anak tak berhenti dalam dolanan dan berbaris. Saat
itu bocah ternyata diajari pula olah bahasa, permainan rima dan irama dalam
sebuah pantun. Pantun yang dialamatkan untuk bocah ini memuat keindahan
dikarenakan ada perpaduan yang harmonis antara penggambaran realitas yang
begitu dekat dengan anak dan bunyinya. Saya kutipkan pantun yang
terdokumentasi dalam majalah Kepandoean edisi Agustus 1936: Sinar biroe
boenga selasih/Tjahaja merah boenga machota/Pandoe J.P.O. itu kekasih/Kepada
Toehan semata-mata. Sastra ini setidaknya alat yang canggih untuk melembutkan
hati para bocah di kemudian hari.
Bocah yang digarap dalam kepanduan menyangkut urusan kemanusiaan
dan yang berpangkal pada rasa tepa slira. Rasa tepa slira berhasil ditiupkan
dan mereka mempraktikannya dalam hidup sehari-hari. Terlebih mereka adalah
manusia Jawa yang dituntut menjunjung perikemanusiaan setinggi mungkin.
Menyitir pernyataan budayawan Sindhunata, tepa slira merupakan
jaringan rasa yang dapat menajamkan empati akan penderitaan orang lain.
Dengan tepa slira, orang akan tolong-menolong dalam menghadapi krisis. Setiap
orang tahu, hubungan baik dengan orang lain bergantung pada kadar empati
kita. Empati terhadap masalah orang lain, kesulitannya, penderitaan, dan
keterbatasannya. Ya, bibit-bibit teroris subur karena kita abai pada
penanaman benih tepa slira dan rasa kamanungsan sedari dini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar