Di
Ambang Krisis Energi dan Re-Inventing
Rhenald Kasali ;
Pendiri Rumah Perubahan
|
KORAN SINDO, 17 November
2016
Usai melantik Ignasius Jonan
sebagai menteri ESDM, dan ArcandraTahar sebagai wakilnya, Presiden Jokowi
berseloroh. Katanya, keduanya dikenal sebagai sosok yang keras kepala.
Mungkin benar juga keduanya
sama-sama keras kepala maka sampai sekarang belum terlihat jelas gebrakan
yang berarti. Buat orang-orang yang keras kepala, kadang agak sulit mencapai
kesepakatan. Apalagi mereka benar-benar pandai. Prestasi mereka juga sederet.
Tapi, saya berharap ini sehat.
Sebab dengan begitu sebelum
kebijakan diluncurkan ke masyarakat, ia sudah melewati proses diskusi yang
alot dan tajam. Kebijakan semacam ini tentu lebih berkualitas, bukan sekadar
asal jadi. Hanya, publik tentu berharap prosesnya jangan terlalu lama. Sebab
banyak permasalahan terkait sektor energi dan sumber daya yang sudah
menunggu. Salah satunya adalah soal tenaga listrik.
Dan terhadap soal ini sorotan
publik sudah melebar ke PLN. Anda tahu ada dua masalah besar di sini.
Pertama, soal target pembangunan pembangkit listrik 35.000 megawatt (MW) yang
bisa sulit tercapai. Seperti kita baca, ada juga yang ”mendoakan” agar
pemerintah tak berhasil mencapai sasarannya.
Misalnya, ada yang mengatakan,
sampai dengan tahun 2019, pasokan listrik bisa mencapai 19.700 MW, atau
sedikit di atas separuhnya. Ini sekaligus membuat target rasio elektrifikasi
2019 yang 97,4% tak bakal tercapai. Kedua, ternyata banyak proyek listrik
masa lalu yang mangkrak. Jumlahnya 34 proyek dan nilainya mencapai triliunan
rupiah. Proyek-proyek ini sudah mangkrak selama delapan tahun.
Re-inventing
Sejak dulu saya sudah
mengingatkan bahwa kita tengah berada di ambang krisis energi. Hanya mungkin
kita tak terlalu merasakan. Mengapa? Buat kita yang berada di Jawa dan Bali,
listrik mungkin hanya sesekali padam. Lalu, untuk BBM, baru belakangan ini
saja kita merasa aman-aman saja.
Tapi, cobalah tanya kepada
mereka yang berada di luar Jawa. Di Sumatera saja, listrik dalam sehari bisa
beberapa kali padam. Beberapa waktu lalu di Medan, kami sampai terjebak di
dalam lift selama beberapa lama. Itu akibat listrik mati. Hal serupa pernah
saya alami di Balikpapan, Kalimantan Timur —provinsi yang dikenal sebagai
lumbung energi nasional. Kondisi semacam ini tibatiba mengingatkan saya akan
pentingnya re-inventing energy.
Apa itu? Mungkin saya akan
mulai dengan pengertian re-inventing terlebih dahulu. Supaya mudah, saya
pakai ilustrasi kisah dua perusahaan. Pada masanya Circuit City adalah
perusahaan ritel elektronik dan alat-alat rumah tangga terbesar ke-2 di
Amerika Serikat (AS). Perusahaan ini memiliki lebih dari 560 gerai.
Pada 1984, Circuit City masuk
bursa. Sejak itu sampai 1995, Circuit City tumbuh lebih dari 10 kali lipat.
Pertumbuhan ini menggoda Circuit City untuk masuk ke bisnis yang lain, yakni
penjualan mobil bekas, CarMax. Pada tahun 2000, Circuit City mengambil
keputusan yang mengejutkan. Mereka menghentikan penjualan alat-alat rumah
tangga ukuran besar, seperti kulkas dan mesin cuci.
Akibatnya ketika penjualan
rumah di AS booming pada 2000-2006, Circuit City tidak mendapatkan apa-apa.
Sementara pesaingnya, Best Buy, justru panen. Best Buy, yang mulai beroperasi
pada 1992, konsisten di bisnis barang elektronik konsumsi. Mereka
mengembangkan bisnisnya dengan berbagai konsep.
Misalnya, konsep gerai ukuran
besar, mengembangkan budaya pelayanan hingga menyajikan alatalat peraga
interaktif, seperti sistem touchscreen, model interior mobil yang dilengkapi
peralatan sound system yang canggih, dan seterusnya. Mereka terus
mengembangkan konsepkonsep baru. Apa yang dilakukan Best Buy dengan konsep-konsepnya
merupakan gambaran dari fungsi kurva Sigmoid.
Siklusnya biasanya diawali
dengan perkenalan (introduction), pertumbuhan, kestabilan atau maturity, dan
akhirnya mulai menurun (decline). Best Buy melakukannya dengan sangat baik.
Apa yang dilakukan Best Buy, dengan menciptakan kurva Sigmoid baru dengan konsep-konsepnya,
itulah yang saya maksud dengan re-invention atau penciptaan ulang.
Bagaimana dengan nasib Circuit
City? Masuk ke bisnis CarMax memang merupakan reinvention, tetapi tidak
sejalan dengan bisnis awalnya. Akibatnya terjadi ketidak sinambungan. Anda
tahu, pada November 2008, Circuit City menyatakan dirinya bangkrut.
Perusahaan dilikuidasi dan 30.000-an karyawannya kehilangan pekerjaan.
Hard Resources, Soft Resources
Dunia di ambang krisis energi.
Banyak negara melakukan reinvention. Presiden Barack Obama di AS mengaitkan
re-invention- nya dengan isu lingkungan hidup. Jadilah biofuel . Masih di AS,
First Solar bekerja sama dengan Apple. Keduanya membangun ladang panel surya
seluas 1.300 hektare di Monterey, California.
Listrik dari tenaga surya ini
dipakai untuk memasok energi bagi kantor Apple, kampus dan gerai-gerai Apple
di California. Di Australia, 15% dari penduduk di sana sudah memasang panel
surya di atap-atap rumahnya. Selain itu, rumah-rumah juga sudah memasang
insulasi yang bagus dan hemat energi. Mereka kemudian menyimpan energinya di
baterai buatan Tesla Power.
Ingat Tesla, ingat Elon Musk.
Elon adalah pengusaha yang tengah mengembangkan mobil listrik berbasis
baterai. Anda tahu, baterai merupakan masalah utama dari mobil listrik.
Pengisiannya membutuhkan waktu yang lama. Maka, Tesla menggandeng Panasonic.
Perusahaan asal Jepang ini memasok lithium-ion , sel-sel yang dipakai dalam
baterai mobil listrik tersebut.
Saya memaparkan ilustrasi
tersebut untuk menggambarkan bahwa dunia tak pernah berhenti mencari cara
untuk mengembangkan Energi Baru Terbarukan (EBT). Dulu, EBT dinilai tak layak
dikembangkan jika harga minyak mentah di pasaran internasional kurang dari
USD100 per barel. Mengapa? Sebab mengembangkan EBT mahal biayanya. Tapi, itu
paradigma lama.
Kini buang jauh-jauh mindset
tersebut. Sampai kapan kita menunggu harga minyak mentah menembus USD100 per
barel. Dunia terus bergerak mengembangkan EBT, tak peduli berapa pun harga
minyak mentah. Apakah kita akan terus menunggu? Jadi Pak Jonan dan Pak
Arcandra, segeralah bergerak. Bicara energi, sebetulnya kita punya banyak
sumber daya lainnya. Ia bisa hard resources dan soft resources.
Di sini yang saya maksud hard
resources, antara lain, cadangan migas dan sumber daya energi lainnya, serta
perusahaan-perusahaan yang terlibat dalam bisnis ini. Misalnya belum lama ini
saya diundang mendengarkan pemaparan ahli nuklir dari UGM yang berhasil
melakukan pemurnian nuklir.
Tidak hanya itu, mereka juga
berhasil memisahkan Torium dan menjadikannya energi yang penting dan aman.
Bahkan tambangnya sudah ada di sini, di Pulau Bangka dan Belitung. Tapi
masalahnya apakah masyarakat bisa dibuat mengerti dan apakah politiknya
mendukung? Siapkah kita melakukan investasinya?
Yang saya dengar ilmuwan kita
itu malah dikontrak negeri tetangga untuk membangun pembangkit
berbahanbakarTorium. Bukanapaapa, keribetan masih menjadi milik kita.
Baiklah, biasanya hard resources ini jadi masalah. Padahal, ada soft
resources yang juga mesti kita kelola.
Apa itu soft resources? Dia
bisa berupa mindset, budaya, perilaku hemat energi, konsepkonsep bisnis, tata
kelola, inovasi dan sebagainya. Semua ini mesti bisa kita konversi menjadi
sumber daya. Saya melihat sumber daya ini belum dikelola dengan baik. Contohnya,
bukankah perilaku kita yang masih sangat boros energi.
Padahal, kita sedang di ambang
krisis energi—kalau masih enggan mengakui bahwa kita sebenarnya sudah berada
di dalamnya. Kalau soft resources ini diurus dengan benar, saya rasa kita
akan banyak menghemat konsumsi energi. Sementara, itulah dua usul saya untuk
Kementerian ESDM. Mudah-mudahan membantu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar