Ketegangan
setelah Ahok Tersangka
Abdul Syukkur ; Alumnus
Al Azhar, Mesir; Dosen Tafsir Tematik
di Sekolah Tinggi Ilmu Ushuluddin (STIU) Al-Mujtama’ Pamekasan, Madura
|
JAWA POS, 17 November
2016
SETELAH menghabiskan banyak tenaga, pikiran, waktu, materi,
konsentrasi, dan banyak lagi yang lain, Rabu (16/11) Mabes Polri resmi
menetapkan Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok sebagai tersangka penistaan
agama. Banyak pihak, terutama yang ikut berdemo pada 4 November 2016,
menyambut gembira keputusan tersebut. Mereka menganggap penetapan tersangka
itu sebagai sebuah kemenangan awal perjuangan mereka.
Anggapan seperti itu sangat beralasan. Sebab, untuk sampai pada
keputusan menjadikan Ahok sebagai tersangka, berbagai perjuangan yang
memerlukan sangat banyak pengorbanan harus dilalui.
Beberapa pengorbanan yang harus dikerahkan rakyat Indonesia
adalah hilangnya kepercayaan rakyat kepada pemerintahan Jokowi. Tidak semua
rakyat memang, tapi jumlahnya lumayan besar. Pemerintah Jokowi dianggap
hendak melindungi Ahok. Anggapan itu didasarkan pada lambannya gerak awal
pihak kepolisian untuk mengusut kasus penistaan agama.
Kecurigaan tersebut sampai sekarang memang tidak mendapat
pembenaran. Bahkan, jika melihat keputusan akhir pihak kepolisian yang
menetapkan Ahok sebagai tersangka, kecurigaan itu tak ubahnya hanyalah isapan
jempol belaka.
Namun, kecurigaan masyarakat kepada pemerintahan Jokowi tidak
hanya sampai di sini. Mereka akan terus mencurigai semua proses hukum yang
dilalui Ahok seperti praperadilan maupun pengadilan nanti. Mereka tidak akan
berhenti curiga sampai Ahok benar-benar dinyatakan bersalah oleh pengadilan.
Hilangnya kepercayaan rakyat kepada pemerintah jelas akan
berpengaruh pada sukses tidaknya program-program yang telah dicanangkan
pemerintah. Karena itu, kerugian akan dirasakan bersama oleh seluruh anak
bangsa Indonesia.
Salah satu yang juga harus dikorbankan untuk kasus Ahok ini
adalah timbulnya perselisihan antar sesama warga negara Indonesia yang
mengarah pada perpecahan. Gara-gara kasus Ahok tersebut, anak bangsa terbelah
minimal menjadi tiga golongan. Pertama, golongan pendukung yang menganggap
Ahok tidak bersalah dengan pernyataannya di Kepulauan Seribu atau menganggap
bersalah, tapi karena Ahok sudah meminta maaf, statusnya sama dengan orang
yang tidak bersalah.
Kedua, golongan penentang. Golongan inilah yang menuntut
pemerintah atau penegak hukum untuk menghukum Ahok. Sebab, bagi mereka, Ahok
dianggap menistakan Alquran dan atau dianggap menistakan para ahli tafsir
yang menafsirkan Almaidah ayat 51 dengan larangan menjadikan orang-orang
Yahudi dan Kristen sebagai pemimpin bagi kaum muslim.
Ketiga, golongan yang netral, tidak mendukung dan tidak
menentang. Golongan ini lebih cenderung menjadi penengah dari kedua golongan
yang saling bertikai. Orang-orang yang cuek dengan kasus Ahok dan tidak mau
ambil pusing atas penafsiran pernyataan Ahok, apakah termasuk menistakan
Alquran dan mufassirnya atau tidak, juga masuk dalam golongan ini.
Tiga golongan itu, lebih-lebih golongan pertama dan kedua,
bertarung argumen di berbagai mimbar pernyataan seperti media elektronik
serta media cetak dan pertarungan yang lebih sengit di media sosial seperti
Facebook, Twitter, dan WhatsApp.
Adu argumen mereka tidak sebatas membahas substansi pernyataan Ahok
atau perdebatan apakah Ahok bersalah atau tidak, tapi merembet pada
labelisasi masing-masing golongan. Misalnya, golongan pertama melabeli
golongan kedua sebagai fundamentalis, wahabis, ekstrimis, barbaris, pemecah
belah kesatuan bangsa, atau orang-orang bodoh yang tidak paham tafsir, tidak
pandai bahasa Indonesia, dan sebagainya.
Sebaliknya, golongan kedua melabeli golongan pertama sebagai
orang-orang munafik, liberal, sekuler, orang-orang yang menjual agamanya demi
kepentingan duniawi atau orang-orang bayaran, orang-orang fasik, orang-orang
yang tidak pantas mengaku umat beragama karena tidak marah ketika kitab
sucinya dihina orang, dan berbagai labelisasi negatif lainnya.
Sementara itu, golongan ketiga lebih sering mengingatkan bahwa
semua bersaudara, sama-sama warga Indonesia, sama-sama bangsa Indonesia,
sama-sama tinggal di negara Indonesia. Karena itu, nasihat mereka untuk kedua
golongan, tidak boleh saling mencurigai, tidak boleh saling mengklaim
kebenaran di pihaknya, tidak boleh saling melabeli pihak lain dengan label
negatif, dan berbagai wejangan lainnya.
Akibat kasus Ahok ini pula, umat Islam mulai berani berkomentar
miring dan berlaku tidak sopan kepada para ulama yang tidak sepaham dengan
mereka, menuduh para tokoh agama sebagai orang-orang bayaran, menyangsikan
kepakaran mereka, menyangsikan ketakwaan mereka, dan berbagai komentar miring
lainnya. Alhasil, penghormatan terhadap para tokoh agama mulai berkurang.
Yang lebih mengkhawatirkan, mereka akan memahami agama sesuai
dengan kepentingan mereka. Jika pemahaman agama tidak sesuai dengan
kepentingan atau hasrat mereka, mereka akan menolaknya, walaupun penjelasan
itu datang dari ulama yang kredibel.
Berbagai pengorbanan anak bangsa ini mudah-mudahan tidak sia-sia
dan justru menambah kedewasaan kita semua dalam menghadapi berbagai macam
perbedaan. Dalam menyikapi dan menunggu ending kasus Ahok ini, kita tentu
berharap kasus tersebut bisa diselesaikan sesuai dengan nilai-nilai keadilan
yang universal. Kita tidak ingin membiarkan orang yang bersalah bebas tanpa
dihukum, sebagaimana kita juga tidak ingin menghukum orang yang tidak
bersalah. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar