Menebak
Safari Politik Jokowi
Adi Prayitno ;
Dosen Politik UIN Jakarta; Peneliti The Political Literacy Institute
|
KORAN SINDO, 17 November
2016
Beberapa waktu belakangan
Presiden Joko Widodo (Jokowi) terlihat sibuk melakukan safari politik dengan
mendatangi sejumlah tokoh Islam dan blusukan ke institusi keamanan negara.
Setelah menyambangi Kantor NU, Muhammadiyah, dan pertemuan dengan para ulama,
Jokowi kemudian melakukan kunjungan ke markas Kopassus, Mirinir, dan Brimob.
Sulit dipungkiri, safari politik Jokowi itu sekadar silaturahmi biasa. Pasti
ada agenda serius yang dibahas. Terutama menyangkut situasi politik mutakhir
di jantung Ibu Kota. Setidaknya ada dua hal yang bisa ditebak.
Pertama, safari politik Jokowi
jelas untuk membahas situasi terkini pascademonstrasi 4 November lalu. Meski
isu utama aksi yang dilakukan Gerakan Nasional Pengawal Fatwa Majelis Ulama
Indonesia (GNPF MUI) itu soal penistaan agama, gelembung isunya dikhawatirkan
bisa merembet menjadi isu SARA yang mengancam keutuhan NKRI.
Tak mengherankan jika Jokowi
kemudian melakukan kunjungan ke markas Kopassus, Brimob, dan Marinir. Mantan
wali Kota Solo itu hanya ingin memastikan pasukan elite tersebut bisa
disiagakan setiap saat. Mengantisipasi gerakan massa yang tak terkendali.
Pada titik ini, Jokowi patut khawatir meski tidak harus berlebihan.
Dengan safari politik, Jokowi
berharap tokoh NU, Muhammadiyah, dan ormas lain turun tangan mendinginkan
suasana gaduh tak menentu. Meski begitu, sejatinya demonstrasi dimaknai
sebagai aktivitas politik sukarela warga negara biasa untuk menyalurkan
aspirasi politik mereka. Tak perlu direspons berlebihan.
Apalagi aksi demonstrasi
dilakukan dengan damai dan tertib. Gabriel A Almond dalam Comparative Politics Today (2008)
menyebut demonstrasi sebagai bagian dari partisipasi nonkonvensional warga
negara guna menyuarakan hak politik. Sementara partisipasi konvensional
berupa pemberian suara (voting)
dalam pemilu.
Meski demonstrasi merupakan hak
setiap warga negara (citizen),
pesan politik yang disampaikan harus elegan dan beradab. Tindakan anarkistis,
chaos, dan serupa kekerasan lain hanya akan mereduksi makna substansial
partisipasi politik yang demokratis. Dalam dunia aktivis, banyak pilihan
menentukan strategi berdemonstrasi.
Para aktivis “kiri” yang
terinspirasi perjuangan Karl Max dalam memperjuangkan kaum proletar kerap
menjadikan kekerasan sebagai pilihan utama menyalurkan aspirasi. Revolusi
dengan kekerasan sangat dianjurkan bagi penganut mazhab ini. Di luar itu,
kalangan aktivis lain menyampaikan pesan aksinya dengan damai.
Bagi aktivis pengikut aliran
ini, tokoh India, Mahatma Ghandi, menjadi panutan utama yang menghindari
kekerasan. Revolusi tak harus anarkistis. Kedua, terkait dengan pilkada di
DKI Jakarta. Sebagai presiden, Jokowi berkepentingan perhelatan pilkada di
DKI Jakarta berlangsung damai dan jurdil.
Selain sebagai barometer
politik nasional, Pilkada DKI melibatkan para elite politik dominan yang
mampu memengaruhi konstelasi politik nasional dewasa ini. Dalam konteks ini
menjadi penting membaca arah komunikasi politik Jokowi dengan sejumlah tokoh
Islam sebagai upaya mendinginkan tensi pilkada yang terus memanas.
Sementara satuan keamanan
sengaja dipersiapkan jika terjadi perubahan situasi yang tak terkendali. Pada
saat bersamaan, bukan hanya pada Prabowo Subianto, publik juga berharap
Jokowi mampu membangun harmoni politik dengan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)
yang menjadi aktor utama pasangan Agus Harimutri Yuhoyono dan Sylviana Murni.
Apa pun itu, ketika bicara soal keberlangsungan Pilkada DKI Jakarta, tak bisa
dilepaskan dari sosok mantan presiden keenam ini.
Merawat Kebinekaan
Safari politik Jokowi harus
diletakkan dalam konteks meredam situasi politik kekinian yang bergerak liar.
Terutama soal situasi politik pascademonstrasi 4 November yang berpotensi
bergulir menjadi isu SARA. Apa pun motif pesan yang disampaikan, sebagai implementasi
dari nilai demokratis, demonstrasi mesti disampaikan dengan cara persuasif.
Apalagi, kran kebebasan berpendapat cukup terbuka bebas.
Semua kalangan sepakat bahwa
hukum harus ditegakkan menjangkau semua lapisan sosial. Jika isu utama adalah
mengusut pelaku penista agama yang dilakukan Ahok, biarkanlah aparat
kepolisian bekerja tanpa intervensi kekuasaan politik mana pun. Hukum harus
jadi panglima.
Karena itu, untuk menghindari
terjadi gelombang massa besar yang berpotensi makar, kepolisian harus bekerja
profesional. Jangan ada kesan melindungi salah satu kekuatan politik
tertentu. Sebab, jika keliatan berpihak, gerakan massa aksi bisa berujung
keributan. Pada titik ini, penting kiranya meneguhkan kembali bahwa fokus
isunya adalah penegakan hukum bagi penista agama.
Bukan malah dialihkan menjadi
isu yang justru merusak fondasi kebinekaan yang sudah kokoh. Demonstrasi 4
November dan suasana Pilkada Jakarta yang rentan dengan isu SARA sesungguhnya
membangkitkan trauma masa lalu soal berbagai peristiwa yang mengancam
kekokohan fondasi Pancasila dan keutuhan NKRI.
Sebut saja misalnya maraknya
kekerasan dan tindakan radikal bernuansa agama cukup mengkhawatirkan. Betapa
tidak, negara yang dibangun di atas heterogenitas SARA ini digoyang oleh
semangat primordialisme sempit. Sebagai implikasi dari pengakuan terhadap
Pancasila, sejatinya setiap warga melaksanakan harmoni terutama dengan memupuk
rasa persaudaraan antarsesama golongan guna membangun Indonesia beradab.
Ucapan-ucapan yang menyinggung
agama lain harus dihindari. Meski begitu, sikap arogan, superior,
rasialistik, dan pengotak- kotakan manusia berdasarkan dugaan keunggulan ras,
bangsa, keturunan, bahkan agama seringkali terjadi. Banyak kekerasan dan
pertikaian disebabkan oleh perasaan lebih unggul dari yang lain.
Tak terkecuali di Indonesia,
sejumlah tragedi kemanusiaan masa lalu terjadi akibat perasaan superior dan
rasialistik atas kelompok lain. Konflik antara etnis Madura dan Dayak di
Kalimantan; konflik agama di Ambon, Maluku, dan Poso; kerusuhan antietnis
China di Jakarta, Solo, dan Medan; serta diskriminasi terhadap penganut agama
minoritas menjadi bukti betapa perasaan superior masih menjadi pemicu terjadi
tragedi kemanusiaan. Dalam konteks ini, penting menginternalisasi nilai-nilai
kebinekaan.
Yaitu, semangat menghapus
mental model dan sikap rasialisitik memandang rendah kelompok lain yang
didasarkan suku, agama, ras, dan keturunan. Agama mana pun pastinya
mengajarkan kesetaraan, yakni memosisikan manusia setara memiliki harkat dan
martabat sama. Sebab itu, segala tindakan diskriminatif harus dimusnahkan.
Agama memberikan legitimasi moral etis untuk membangun masyarakat yang egaliter.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar