Islam
dan Ideologi Pancasila
Masduki Baidlowi ; Ketua
Komunikasi dan Informasi MUI Pusat
|
JAWA POS, 11 November
2016
ALMAGHFULLA KH Raden As’ad
Syamsul Arifin akhirnya menerima gelar Pahlawan Nasional. Sesuatu yang pantas
beliau terima sesuai dengan jasa-jasanya yang besar, baik ketika beliau
berjuang pada masa kemerdekaan maupun saat mengisi kemerdekaan negeri ini
dengan aneka amal perbuatannya yang maslahat bagi rakyat dan bangsa ini.
Kiprah beliau untuk mengabdi
kepada bangsa ini meliputi rentang waktu yang sangat panjang di pelbagai
bidang. Pendidikan dengan basis pesantren (Salafiyah Assyafi’iyah di
Sukorejo, Asembagus, Situbondo) adalah bidang juang yang tidak pernah henti
dilakukan sepanjang hayat beliau. Bidang lain adalah karir politik saat Kiai
As’ad muda menjadi anggota Konstituante dari hasil Pemilu 1955. Beliau
berangkat dari Partai NU sebagai pemenang ketiga (setelah PNI dan Masyumi),
mengalahkan PKI di posisi keempat.
Masih banyak lagi bidang
pengabdian yang tidak kalah menarik dari kiprah beliau pada masa hidupnya.
Tulisan ini akan mengambil satu sudut pandang (angle) tentang ’’Hubungan
Nahdlatul Ulama (NU) dan Negara Pancasila’’ yang menjadi momen krusial saat
rezim Orde Baru awal 1980-an hendak melakukan konsolidasi ideologi politik
nasional.
Jasa beliau di masa krusial
tersebut sangat penting, antara lain, karena beliau banyak berperan sebagai
’’jembatan penghubung’’ yang strategis. Dengan komunikasi politiknya yang
santun dan terkadang jenaka, beliau mampu menjadi penghubung yang bisa
meredakan ketegangan antara umat Islam dan rezim Orde Baru.
Era 1970 hingga awal 1980-an
adalah masa pematangan doktrin bagi pemerintahan Orde Baru. Stabilitas
politik, pertumbuhan ekonomi, dan pemerataan hasil-hasil pembangunan yang
dikenal dengan istilah Trilogi Pembangunan merupakan doktrin ekonomi politik
yang harus sukses terlaksana di lapangan.
Asumsi yang menjadi pokok
pikiran di balik doktrin tersebut adalah: a) tidak mungkin pemerintah bisa
membangun ekonomi dan menyejahterakan rakyat jika politik nasional tidak
stabil; b) tidak mungkin politik bisa stabil jika orientasi ideologi nasional
masih berbeda-beda. Berkaca kepada rezim Orde Lama, salah satu sebab utama
mengapa pemerintah Orde Lama tidak bisa membangun untuk menyejahterakan
rakyat tak lain karena cekcok antarpartai politik yang berlatar belakang
ideologi.
Itulah sebabnya, konsolidasi
ideologi nasional –berupa Asas Tunggal Pancasila– harus dilaksanakan. Itu
mesti berhasil dengan cara apa pun. Siapa yang melawan harus ditundukkan.
Ibaratnya, kalau ada tembok di depan, ya harus digusur dan jika ada gunung,
harus diterobos untuk menyukseskan program asas tunggal Pancasila.
Sebagai penguasa rezim militer,
Soeharto sudah punya pengalaman yang efektif menekuk para lawannya, baik itu
partai politik yang mesti dihadapi lewat pemilu (dengan cara curang
sekalipun), para jenderal, maupun tokoh politik yang berseberangan dengan
Presiden Soeharto.
Gelagat akan ke mana politik
Orde Baru, terkait Asas Tunggal Pancasila, mulai terbaca oleh Almaghfurlah
Kiai As’ad. Penyatuan ideologi ini pasti akan menghadapi penentangan keras
dari kalangan aktivis Islam. Kiai As’ad dengan feeling politik dan mata
batinnya yang tajam menyimpulkan: penyatuan ideologi lambat atau cepat pasti
terjadi. Soalnya adalah: bagaimana menghindari tabrakan antara umat Islam dan
rezim Orde Baru, tanpa mencederai akidah Islam.
Sebab, pada umumnya, anggapan
para tokoh dan aktivis Islam saat itu bahwa ideologi Pancasila jelas
bertentangan dengan akidah Islam. Atas dasar itu, program pemerintah tersebut
harus ditolak karena negara dianggap telah mencampuri terlalu jauh urusan
agama. Apalagi, hal itu berurusan dengan masalah pokok agama: akidah.
Itulah agenda penting Kiai
As’ad untuk memainkan momen-momen bersejarah itu. Tidak jarang untuk
kepentingan itu, dengan tubuh rentanya, dia rela bersusah payah menemui
Presiden Soeharto di Istana Negara, bahkan terkadang di kediamannya, Jalan
Cendana.
As’ad banyak menyerap informasi
politik dari pertemuan-pertemuan penting itu. Ta? jarang beliau juga
berhubungan akrab dengan sejumlah petinggi militer yang saat itu punya posisi
strategis, mulai Komandan Korem yang membawahkan wilayah Karesidenan Besuki
Kolonel Basofi Sudirman hingga Panglima ABRI Jenderal LB Moerdani.
Solusi untuk menghindari
tabrakan antara rezim Orde Baru dan umat Islam saat itu, Kiai As'ad mengambil
cara sederhana, namun cerdas. Caranya, sila pertama (Ketuhanan Yang Maha Esa)
dari Pancasila dijadikan argumentasi untuk menerima Asas Tunggal Pancasila.
Sebab, secara esensial, sila pertama itu adalah: pengesaan Allah (tauhid).
Sila itu juga secara historis merupakan kependekan sila yang terpotong dari
Piagam Jakarta: ’’Ketuhanan, Dengan Kewajiban Menjalankan Syari’ah Islam Bagi
Pemeluk Pemeluknya.’’
Argumentasi itu kemudian
dielaborasi secara lebih filosofis oleh Almaghfurlah KH Achmad Siddiq,
termasuk penetapan NKRI sebagai bentuk negara yang sudah final untuk umat
Islam Indonesia. Semua itu ditetapkan dalam Munas NU 1983 serta Muktamar
Ke-28 NU pada 1984 di Pesantren Salafiyah Assyafi’iyah Sukorejo, Asembagus,
Situbondo –kediaman KH Raden Asad Syamsul Arifin.
Menghindari kerusakan yang
lebih besar (tabrakan antara Rezim Orde Baru dan umat Islam) merupakan
prioritas utama yang beliau perjuangkan. Itulah kenangan sejarah dari salah
satu jasa penting sang pahlawan nasional dari Asembagus itu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar